PENDAHULUAN
Berpasangan merupakan hukum alam yang diciptakan Allah swt pada
makhluknya.Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya yang
diciptakan Allah swt secara serasi dan masing-masing memiliki pasangan.Seperti
firman Allah dalam surat Yasin ayat 36:
سُبْحَانَ الَّذِيْ خَلَقَ الأزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا
تُنْبِتُالأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَ مِمَّا لاَ يَعْلَمُونَ
“Maha
Suci Tuhan yang telah menciptakan
pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh
Allah swt.Manusia memiliki jasad, ruhani dan akal.Dengan anugrah tersebut
manusia berpotensi untuk menerima dan menjalankan syariat agama.Diantara
syariat agama adalah nikah.Manusia diciptakan oleh Allah berpasangan yaitu,
laki-laki dan perempuan.Keduanya disyariatkan untuk menjalin hubungan yang
mulia, mengembangan keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara
keduanya.Untuk itu Allah tidak menciptakan manusia seperti makhluk lainnya,
seperti binatang yang mengumbar nafsunya tanpa ada aturan.Allah menurunkan
aturan untuk menjaga harkat dan martabat serta kehormatan manusia yang disebut
dengan nikah.
Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, polus yang artinya
banyak, gemein, yang artinya kawin.Jadi poligami artinya kawin banyak atau
suami beristri banyak pada saat yang sama.Secara terminologi, poligami dibagi
dua, yakni poligini dan poliandri.Poligini ialah sebutan untuk suami
yang mempunyai istri lebih dari satu poliandri ialah sebutan untuk istri
yang mempunyai suami lebih dari satu.[1]Poligami
terdiri dari kata poli dan gami.Secara etimologis, poli artinya
banyak, gami artinya istri.Jadi, poligami artinya beristri banyak.Secara
terminologis, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri.[2]
Syarat
Poligami
1.
Jumlah istri
yang boleh dipoligami paling banyak empat orang wanita.
2.
Laki-laki itu
dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.[3]
Faktor-faktor
yang mendorong perlunya poligami[4]:
1.
Penyebab yang
ada pada istri, misalnya sakit keras yang menyebabkan dirinya tidak mempu
memenuhi kewajiban atau mandul, kurang setia, menyombongkan diri terhadap
suaminya atau tidak berlaku baik kepada suaminya.
2.
Penyebab yang
ada pada suami, misalnya memiliki keinginan seks yang sangat kuat sehingga
tidak cukup hanya seorang istri, memilki keinginan yang besar untuk
memperbanyak keturunan atau ia sangat mencintai wanita lain.
3.
Penyebab yang
bersifat sosial, misalnya adanya krisis yang menimpa umat sehingga memerlukan
banyak laki-laki, krisis yang menyebabkan bertambahnya wanita dibanding
laki-laki.
4.
Penyebab yang
berupa kejadian dan sifatnya pribadi yang menimpa keluarga seseorang, misalnya seorang
mempunyai kerabat yang menjanda dengan membawa tanggungan anak yang banyak.
Tujuan dan hikmahnya[5]:
1.
Nafsu seks
merupakan yang terkuat dan selalu meliputi kehidupan manusia.Ketika tidak ada
jalan keluar untuk melampiaskan, maka manusia dirundung kegelisahan dan
dikhawatirkan melakukan prostitusi (perzinaan).Maka pernikahan merupakan aturan
yang paling baik dan jalan keluar yang menyejukan untuk memuaskan seks
manusia.Dengan nikah, maka jasad menjadi segar, jiwa menjadi tentram dan
penglihatan akan menutupi sesuatu yang diharamkan.
2.
Pernikahan
merupakan jalan terbaikuntuk melahirkan anak, memperbanyak kelahiran dan
melestarikan kehidupan dengan selalu menjaga keturunan.
3.
Naluri kebapaan
dan keiibuan akan tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak masa kanak-kanak.Serta
tumbuhnya kasih sayang.Semua kelebihan itu tidak akan sempurna tanpa adanya
tali pernikahan.
4.
Rasa tanggung
jawab dari pernikahan serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat dan
mencurahkan segala kemampuandalam memperkuat potensi diri.
5.
Membagi-bagi
pekerjaan dan membatasi tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan istri.Istri
mengurus rumah hingga rapih dan mendidik anak.
[1] Mustofa
Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung:Pustaka Setia, 2011), Hal.235
[2] Rahmat
Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta:Grafindo), Hal.129
[3] Tihami,
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta:Rajawali Press, 2010), Hal.358
[4] Abduttawab
Haikal, Rahasia Perkawinan Rasullullah SAW, (Jakarta:CV Pedoman Ilmu
Jaya, 1993), Hal.57
[5] Sapiudin
Shidik, Hukun Islam tentang Berbagai Persoalan Kontemporer, (Jakarta:Inti
Media Nusantara,2004), Hal.76-77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar