Rabu, 21 Desember 2016

masail fiqhiyah:POLIGAMI dan POLIANDRI

PENDAHULUAN
Berpasangan merupakan hukum alam yang diciptakan Allah swt pada makhluknya.Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya yang diciptakan Allah swt secara serasi dan masing-masing memiliki pasangan.Seperti firman Allah dalam surat Yasin ayat 36:
سُبْحَانَ الَّذِيْ خَلَقَ الأزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُالأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَ مِمَّا لاَ يَعْلَمُونَ
“Maha Suci Tuhan  yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah swt.Manusia memiliki jasad, ruhani dan akal.Dengan anugrah tersebut manusia berpotensi untuk menerima dan menjalankan syariat agama.Diantara syariat agama adalah nikah.Manusia diciptakan oleh Allah berpasangan yaitu, laki-laki dan perempuan.Keduanya disyariatkan untuk menjalin hubungan yang mulia, mengembangan keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara keduanya.Untuk itu Allah tidak menciptakan manusia seperti makhluk lainnya, seperti binatang yang mengumbar nafsunya tanpa ada aturan.Allah menurunkan aturan untuk menjaga harkat dan martabat serta kehormatan manusia yang disebut dengan nikah.

Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, polus yang artinya banyak, gemein, yang artinya kawin.Jadi poligami artinya kawin banyak atau suami beristri banyak pada saat yang sama.Secara terminologi, poligami dibagi dua, yakni poligini dan poliandri.Poligini ialah sebutan untuk suami yang mempunyai istri lebih dari satu poliandri ialah sebutan untuk istri yang mempunyai suami lebih dari satu.[1]Poligami terdiri dari kata poli dan gami.Secara etimologis, poli artinya banyak, gami artinya istri.Jadi, poligami artinya beristri banyak.Secara terminologis, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri.[2]
Syarat Poligami
1.      Jumlah istri yang boleh dipoligami paling banyak empat orang wanita.
2.      Laki-laki itu dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.[3]


Faktor-faktor yang mendorong perlunya poligami[4]:
1.      Penyebab yang ada pada istri, misalnya sakit keras yang menyebabkan dirinya tidak mempu memenuhi kewajiban atau mandul, kurang setia, menyombongkan diri terhadap suaminya atau tidak berlaku baik kepada suaminya.
2.      Penyebab yang ada pada suami, misalnya memiliki keinginan seks yang sangat kuat sehingga tidak cukup hanya seorang istri, memilki keinginan yang besar untuk memperbanyak keturunan atau ia sangat mencintai wanita lain.
3.      Penyebab yang bersifat sosial, misalnya adanya krisis yang menimpa umat sehingga memerlukan banyak laki-laki, krisis yang menyebabkan bertambahnya wanita dibanding laki-laki.
4.      Penyebab yang berupa kejadian dan sifatnya pribadi yang menimpa keluarga seseorang, misalnya seorang mempunyai kerabat yang menjanda dengan membawa tanggungan anak yang banyak.

Tujuan dan hikmahnya[5]:
1.      Nafsu seks merupakan yang terkuat dan selalu meliputi kehidupan manusia.Ketika tidak ada jalan keluar untuk melampiaskan, maka manusia dirundung kegelisahan dan dikhawatirkan melakukan prostitusi (perzinaan).Maka pernikahan merupakan aturan yang paling baik dan jalan keluar yang menyejukan untuk memuaskan seks manusia.Dengan nikah, maka jasad menjadi segar, jiwa menjadi tentram dan penglihatan akan menutupi sesuatu yang diharamkan.
2.      Pernikahan merupakan jalan terbaikuntuk melahirkan anak, memperbanyak kelahiran dan melestarikan kehidupan dengan selalu menjaga keturunan.
3.      Naluri kebapaan dan keiibuan akan tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak masa kanak-kanak.Serta tumbuhnya kasih sayang.Semua kelebihan itu tidak akan sempurna tanpa adanya tali pernikahan.
4.      Rasa tanggung jawab dari pernikahan serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat dan mencurahkan segala kemampuandalam memperkuat potensi diri.
5.      Membagi-bagi pekerjaan dan membatasi tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan istri.Istri mengurus rumah hingga rapih dan mendidik anak.



[1] Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung:Pustaka Setia, 2011), Hal.235
[2] Rahmat Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta:Grafindo), Hal.129
[3] Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta:Rajawali Press, 2010), Hal.358
[4] Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasullullah SAW, (Jakarta:CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Hal.57
[5] Sapiudin Shidik, Hukun Islam tentang Berbagai Persoalan Kontemporer, (Jakarta:Inti Media Nusantara,2004), Hal.76-77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar