Pendahuluan
Dalam
perspektif islam manusia sebagai pemikir sekaligus pembuat peradaban memiliki
kedudukan dan peran inti sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan
paling utama. Makalah
ini bermaksud menelusuri dan mengungkap beberapa pemikiran-pemikiran M.
Iqbal semenjak ia meraih gelar doktor dalam bidang filsafat pada tahun 1907
sampai wafatnya tahun 1938. Mengingat ia adalah seorang pembaharu muslim yang
pembaruannya lebih ditekankan pada bidang filsafat, sehingga iqbal lebih
dikenal dengan seorang filosof dari pada teolog atau penyair. Karena bidang filsafat
yang mendapat penekanan serius, maka pembaharuan pemikiran yang dilakukanya
hampir pasti menyentuh semua bidang studi keislaman.
Pemikiran
iqbal memang sangatlah konfrehensif, dengan menyentuh semua sendi-sendi
kehidupan kaum muslim. Oleh karena itu sangatlah wajar apabila ia mempunyai
pengaruh yang sangat signifikan bagi pembaharuan dunia islam kontemporer.
Bahkan menurut Nourouzzaman shiddiqi, pemikiran fazlur rohman sendiri mendapat
pengaruh dari pemikiran filsafat islam yang berkosentrasi pada rekonstruksi
pemikiran. M. Iqbal menurut Mukti Ali, merupakan pemikir yang kuat dan lebih
menghadap kedepan dari pada kebelakang.
Berbicara
masalah Islam dan pemikiran tokoh-tokohnya, seberapapun lamanya tidaklah cukup
untuk membahasnya. Mengingat begitu banyak sekali kajian-kajian Islam berikut
pemikiran-pemikiran para tokohnya yang telah berhasil mengukir sejarah dan
melahirkan peradaban baru bagi umat islam.
Dalam kajian ini penulis
akan membahas tentang tokoh yang monumental diabad kedua puluh, yaitu Muhammad
Iqbal (selanjutnya ditulis; Iqbal). Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan
diskusi dan dapat diambil ibrah bagi kalangan intelektual dan
cendikiawan muda yang haus akan ilmu pengetahuan.
B. Biografi
Singkat
Iqbal
dilahirkan di Sialkot-India (suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab
Barat dan Kashmir) pada tanggal 9 November 1877/ 2 Dzulqa'dah 1294 ([1]) dan wafat pada tanggal 21 April 1938. Ia terlahir dari keluarga
miskin, tetapi berkat bantuan beasiswa yang diperlolehnya dari sekolah menengah
dan perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan yang bagus. Setelah pendidikan
dasarnya selesai di Sialkot ia masuk Government College (sekolah tinggi
pemerintah) Lahore. Iqbal menjadi murid kesayangan dari Sir Thomas
Arnold. Iqbal lulus pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa serta
dua medali emas karena baiknya bahasa inggris dan arab, dan pada tahun 1909 ia
mendapatkan gelar M.A dalam bidang filsafat.([2])
Ia
lahir dari kalangan keluarga yang taat beribadah sehingga sejak masa kecilnya
telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah Syekh Mohammad Noor dan Muhammad Rafiq kakeknya.([3])
Pendidikan dasar sampai
tingkat menengah ia selesaikan di Sialkot untuk kemudian melanjutkan ke
Perguruan Tinggi di Lahore, di Cambridge-Inggris dan terakhir di Munich-Jerman
dengan mengajukan tesis dengan judul The Development Of Metaphysics in
Persia. Sekembalinya dari Eropa tahun 1909 ia diangkat menjadi Guru
Besar di Lahore dan sempat menjadi pengacara.( [4])
Adapun
karya-karya Iqbal diantaranya adalah:
Bang-i-dara (Genta Lonceng),
Payam-i-Mashriq (Pesan Dari Timur), Asrar-i-Khudi (Rahasia-rahasia
Diri), Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia-rahasia Peniadaan Diri), Jawaid
Nama (Kitab Keabadian), Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat Nabi
Musa), Pas Cheh Bayad Kard Aye Aqwam-i-Sharq (Apakah Yang Akan Kau
Lakukan Wahai Rakyat Timur?), Musafir Nama, Bal-i-Jibril (Sayap
Jibril), Armughan-i-Hejaz (Hadiah Dari Hijaz), Devlopment of
Metaphyiscs in Persia, Lectures on the Reconstruction of Religius Thought in
Islam Ilm al Iqtishad, , A Contibution to the History of Muslim Philosopy,
Zabur-i-'Ajam (Taman Rahasia Baru), Khusal Khan Khattak, dan
Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia Peniadaan Diri).([5] )
Sebagai seorang pemikir,
tentu tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa gagasan-gagasannya tersebut tanpa
dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Iqbal hidup pada masa kekuasaan
kolonial Inggris. Pada masa ini pemikiran kaum muslimin di anak benua India
sangat dipengaruhi oleh seorang tokoh religius yaitu Syah Waliyullah Ad-Dahlawi
dan Sayyid Ahmad Khan. Syah Ad-Dahlawi adalah Ahmad bin Abdurrahim bin
Wajiduddin bin Mu'azzam bin Ahmad bin Muhammad bin Qawanuddin al-Dahlan. Ia lahir
di Kota dekat Delhi pada tanggal 21 Pebruari 1703 M/ 4 Syawal 1114 H dan wafat
pada tanggal 29 Muharram 1176 H/ 10 gustus 1762 dalam usia 61 tahun. Karya
tulisnya yang monumental adalah Hujjatullah al-Balighah.([6] ) Dan Sayyid Ahmad Khan adalah
seorang penulis, pemikir dan aktivis politik modernis Islam India. Lahir di
Delhi tahun 1817 M. Dimasa pemberontakan tahun 1857 ia berusaha mencegah
kekerasan yang karenanya banyak orang-orang Inggris tertolong dari pembunuhan.
Karena jasanya itu Inggris memberikan gelar kepadanya dengan sebutan Sir. Selanjutnya
ia menggunakan kesempatan itu untuk menjalin hubungan baik dengan Inggris tapi
semata-mata untuk kepentingan umat Islam India, karena baginya dengan jalan
itulah umat Islam dapat tertolong. Dan akhirnya setelah kejadian tahun 1857 itu
ia menjalankan tiga proyek besar yaitu: memprakarsai dialog untuk menciptakan
saling pegertian antara kaum muslim dan Kristen, mendirikan organisasi ilmiah
yang membantu kaum muslim untuk memahami kunci keberhasilan Barat dan
menganalisis secara objektif penyebab pemberontakan 1857.([7]) Keduanya adalah sebagai para
pemikir muslim pertama yang menyadari bahwa kaum muslimin tengah menghadapi
zaman modern yang didalamnya pemahaman Islam mendapat tantangan serius dari
Inggris. Terlebih ketika Dinasti Mughal terakhir di India ini mengalami
kekalahan saat melawan Inggris pada tahun 1857, juga sangat mempengaruhi 41
tahun kekuasaan Imperium Inggris ([8]) dan bahkan pada tahun
1858 British East India Company dihapus dan Raja Inggris bertanggungjawab
atas pemerintah imperium India.([9] )
Pemikiran Muhammad Iqbal
pemikiran-pemikirannya
yang fundamental (intuisi, diri, dunia dan Tuhan) itulah yang menggerakkan
dirinya untuk berperan di India pada khususnya dan dibelahan dunia timur
ataupun barat pada umumnya baik sebagai negarawan maupun sebagai agamawan.
Karena itulah ia disebut sebagai Tokoh Multidimensional. ([10])
gagasan-gagasan Iqbal
dalam dua hal yaitu: pemikirannya tentang politik dan tentang Islam.
1. Pemikiran Politik
Sepulangnya
dari Eropa, Iqbal kemudian terjun kedunia politik dan bahkan menjadi tulang
punggung Partai Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi anggota legistalif
Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga Muslim. Karir Iqbal
semakin bersinar dan namanya pun semakin harum ketika dirinya diberi
gelar ‘Sir’ oleh pemerintah kerajaan Inggris di London atas
usulan seorang wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak
terjang Iqbal ([11])di bidang intelektual
dan politiknya. Gelar ini menunjukan pengakuan dari kerajaan inggris atas
kemampuan intelektualitas dan memperkuat bargening position politik
perjuangan umat Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan sebagai Bapak
Pakistan yang pada setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan
sebutan Iqbal Day.([12] )
Pemikiran
dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan sejak terpilih
menjadi Presidaen Liga Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa tidaklah mungkin
umat Islam dapat bersatu dengan penuh persaudaraan dengan warga India yang
memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya ia berfikir bahwa kaum muslimin
harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia lontarkan keberbagai pihak melalui
Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat dari seorang politikus muslim yang
sangat berpengaruh yaitu Muhammad Ali Jinnah (yang mengakui bahwa gagasan
Negara Pakistan adalah dari Iqbal), bahkan didukung pula oleh mayoritas Hindu
yang saat itu sedang dalam posisi terdesak saat menghadapi front melawan
Inggris.([13]) Bagi Iqbal dunia Islam
seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan
Pakistan yang akan dibentuk menurutnya adalah salah satu republik itu ([14])
Sebagai
seorang negarawan yang matang tentu pandangan-pandangannya terhadap ancaman
luar juga sangat tajam. Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya imperialisme,
materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat
menentang pengaruh buruk budaya Barat. Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi
reformasi dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan pemahaman seperti itu
yang ia landasi diatas ajaran Islam maka ia berjuang menumbuhkan rasa percaya
diri terhadap umat Islam dan identitas keislamannya. Umat Islam tidak boleh
merasa rendah diri menghadapi budaya Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat
melepaskan diri dari belenggu imperialis.
Paham
Iqbal yang mampu mambangunkan kaum muslimin dari tidurnya adalah “dinamisme
Islam” yaitu dorongannya terhadap umat Islam supaya bergerak dan
jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah
menciptakan, maka Iqbal menyeeru kepada umat Islam agar bangun dan menciptakan
dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa
seolah-lah orang kafir yang aktif kreatif "lebih baik" dari
pada muslim yang "suka tidur".([15])
Iqbal
juga memiliki pandangan politik yang khas yaitu; gigih menentang nasionalisme
yang mengedepankan sentiment etnis dan kesukuan (ras). Bagi dia, kepribadian
manusia akan tumbuh dewasa dan matang di lingkungan yang bebas dan jauh dari
sentiment nasionalisme.
M.
Natsir menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang berjudul Structure of
Islam, Iqbal menunjukkan asas-asas suatu negara dengan ungkapannya:
Didalam
agama Islam spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah yang
terpisah, dan fitrah suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam kesannya
ditentukan oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhir-akhirnya latar belakang ruhani
yang tak kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan watak dan sifat
amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi,
jika amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang
tak terbatas. Dalam agama islam yang demikian itu adalah seperti yang disebut
orang "gereja" kalau dilihat dari satu sisi dan sebagai
"negara" kalau dilihat dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar
kalau gereja dan negara disebut sebagai dua faset atau dua belahan dari barang
yang satu. Agama Islam adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan
seperti itu.([16] )
Demikian tegas Iqbal berpandangan bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan
yang tidak terpisah.
Dengan
gerakan membangkitkan Khudi (pribadi; kepercayaan diri) inilah
Iqbal dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan yang
dialami dewasa ini. Ia kembalikan semangat sebagaimana yang dulu dapat
dirasakan kejayaannya oleh ummat Islam. Ujung dari konsep kedirian inilah yang
pada akhirnya membawa Pakistan merdeka dan ia disebut sebagai Bapak Pakistan.
2. Pemikirannya Tentang
Landasan Islam
a. Pemikiran Tentang
Al-Qur’an
Sebagai
seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini
bahwa Al-Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama
dengan pernyataannya “The Qur’an Is a book which emphazhise deed
rather than idea (Al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal
daripada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah
undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran Al-Qur’an dapat
berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi
dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Al-Qur’an tidak memuatnya
secara detail maka manusialah yang ditutntut untuk mengembangkannya. Dalam
istilah fiqih hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal sebagai
prinsif gerak dalam struktur Islam. Disamping itu Al-Qur’an memandang bahwa
kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya,
walaupun Al-Qur’an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama
terdahulu, namun masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara kreatif
dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Akibat pemahaman
yang kaku terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum
tetap berjalan di tempatnya.([17] )
b. Perspektif Tentang
Al-Hadits
Sejak dulu hadist memang selalu
menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan
orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda
pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap
ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah.
Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran
Islam itu sendiri.
Iqbal
memandang bahwa umat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur
hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang
mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya
dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana
yang dikemukakan al-Qur’an.
Iqbal
sepakat dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadits, yaitu cara Nabi dalam
menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan
keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat
memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam
penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan
social bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi
peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk
generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan, dari
pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak
mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan
kualitasnya. Ini bukan berarti hadits-hadits pada zamannya belum dikumpulkan,
karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun
sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang
tujuan-tujuan universal hadits daripada koleksi belaka.
c. Perspektif Tentang
Ijtihad
Menurut
Iqbal ijtihad adalah “Exert with view to form an independent judgment
on legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan
yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadits
maupun Al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping
ijtihad pribadi hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad
kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi
oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang
muncul. Sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazhab). Sebagaimana
mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad kedalam tiga tingkatan yaitu ([18])
1) Otoritas penuh dalam
menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri
mazhab-mazhab saja.
2) Otoritas relative yang
hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab
3) Otoritas khusus yang
berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak
terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
Iqbal
menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan
derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl-al-sunnah tetapi
dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhab-mazhab. Ide
ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkun
dipenuhi. Sikap ini adalah sangat ganjil dalam suatu system hukum Al-Qur’an
yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibatnya ketentuan ketatnya ijtihad
ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan
tidak mampu berkembang.([19] )Ijtihad
yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati
yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga
ijma hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu
saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma tersebut, hal ini
dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini
hanya tinggal teori saja, konsekwensinya, hukum Islam pun statis tidak
berkembang selama beberapa abad.
Syair Muhammad iqbal:
Apakah kamu berada dalam
tingkat "kehidupan", "kematian", atau "kematian dalam
kehidupan"?
Memanggil tiga saksi
untuk memberitahu dimana tempat "perhentianmu".
Saksi pertama adalah
kesadaran batinmu sendiri-
Lihat dirimu sendiri
dengan cahayamu sendiri.
Saksi kedua adalah
kesadaran ego yang lain-
Lihat dirimu, lalu sinar
ego yang lain daripada milikmu
Saksi ketiga adalah
kesadaran Tuhan-
Lihat dirimu, lalu
dengan cahaya Tuhan,
Jika kamu berdiri tidak
bergerak di depan cahaya ini,
Anggaplah dirimu sendiri
seperti hidup dan abadi layaknya Tuhan!
Bahwa manusia sendiri
adalah sejati yang berani-
Berani untuk melihat
Tuhan berhadapan muka!
Apakah
"Mi'raj"? Hanya pencarian seorang saksi
Yang akhirnya dapat
menegaskan realitasmu-
Seorang saksi yang
dengan kesaksiannya membuatmu abadi.
Tak seorangpun dapat
berdiri tanpa bergerak oleh keberadaannya;
Dan dia yang dapat,
sesungguhnya, dia emas murni.
Apakah engkau hanya
butiran debu semata?
Ketatkan simpul egomu;
Dan pegang cepat
makhlukmu yang kecil!
Betapa cemerlangnya
memancarkan ego kita
Dan menguji kilauan ini
dari keberadaan Matahari!
Bersihkan ragamu yang
lama;
Dan membangun makhluk
baru.
Suatu makhluk yang
sesungguhnya;
Riwayat Hidup Muhammad Ali Jinnah
Muhammad Ali Jinnah, dilahirkan pada hari Ahad, 25 Desember 1876 di Karachi. (Esiklopedi Islam di Indonesia. 1992/1993: 756) orang tuanya termasuk masyarakat pedagang dari Kathiavar. Kecerdasan yang ia miliki dan kemampuan materi orang tuanya. Memungkinkan ia mendapatkan fasilitas yang besar untuk kepentingan pendidikannya. (Jamil Ahmad:1996:290) ketika ia masih berumur enam belas tahun, ia menuju ke Inggris atas nasihat teman ayahnya untuk belajar ilmu hukum pada tahun 1892. selanjutnya kembali ke India pada tahun 1896, dan mulai praktik advokat di Bombay.[21]
Muhammad Ali Jinnah, dilahirkan pada hari Ahad, 25 Desember 1876 di Karachi. (Esiklopedi Islam di Indonesia. 1992/1993: 756) orang tuanya termasuk masyarakat pedagang dari Kathiavar. Kecerdasan yang ia miliki dan kemampuan materi orang tuanya. Memungkinkan ia mendapatkan fasilitas yang besar untuk kepentingan pendidikannya. (Jamil Ahmad:1996:290) ketika ia masih berumur enam belas tahun, ia menuju ke Inggris atas nasihat teman ayahnya untuk belajar ilmu hukum pada tahun 1892. selanjutnya kembali ke India pada tahun 1896, dan mulai praktik advokat di Bombay.[21]
Pada awal karirnya dibidang hukum, Jinnah
banyak mengalami beberapa tahun yang sangat sulit.[22]
namun karena kecemerlangan otaknya ia memperoleh jangkauan yang lebih luas bagi
keahlianya dengan melakukan kontak dengan para intelektual India yang pada
akhirnya membentuk pandangan- pandangan politiknya yang anti penjajah atau anti
Inggris. Dengan demikian ia menentukan pilihannya untuk aktif dalam partai
kongres India dan menjauhi liga muslim yang dipandangnya pro Inggris.[23]
Karir politik Muhammad Ali dimulainya sejak tahun 1906 setelah ia menghadiri sidang All India National Congress di Calcutta.[24] ketika itu ia terpilih sebagai sekertaris pribadi Peresiden Dadabhay Naoroji yang amat terkenal itu.
Tampaknya Jinnah sangat mendukung dan berpegang teguh kepada All India National Congress. Hal ini tampak ketika ia menyatakan diri “bangga tergolong” pada partai kongres. Namun ketika ia diangkat menjadi anggota dewan legislative kerajaan, ia mendukung pengesahaan undang-undang wakaf yang membawanya dekat dengan pemimpin-pemimpin Muslim.[25] Jinnah juga bergabung dengan liga Muslim namun masih menolak untuk didaftar menjadi anggota karena menurutnya tujuan organisasi tersebut tidak cukup tinggi. Namun setelah anggaran dasar organisasi ini berubah, yaitu berusaha untuk memperoleh “suatu bentuk pemerintahan yang cocok” sebagai tujuannya barulah ia bergabung dengan liga muslim. [26]
Karir politik Muhammad Ali dimulainya sejak tahun 1906 setelah ia menghadiri sidang All India National Congress di Calcutta.[24] ketika itu ia terpilih sebagai sekertaris pribadi Peresiden Dadabhay Naoroji yang amat terkenal itu.
Tampaknya Jinnah sangat mendukung dan berpegang teguh kepada All India National Congress. Hal ini tampak ketika ia menyatakan diri “bangga tergolong” pada partai kongres. Namun ketika ia diangkat menjadi anggota dewan legislative kerajaan, ia mendukung pengesahaan undang-undang wakaf yang membawanya dekat dengan pemimpin-pemimpin Muslim.[25] Jinnah juga bergabung dengan liga Muslim namun masih menolak untuk didaftar menjadi anggota karena menurutnya tujuan organisasi tersebut tidak cukup tinggi. Namun setelah anggaran dasar organisasi ini berubah, yaitu berusaha untuk memperoleh “suatu bentuk pemerintahan yang cocok” sebagai tujuannya barulah ia bergabung dengan liga muslim. [26]
Pada tahun 1913 ia diangkat menjadi Presiden liga Muslim.[27]. Dengan demikian, sangat
memungkinkan baginya memainkan peran aktif dalam semua kegiatan politik dan
mewujudkan cita-citanya bagi pemerintahan sendiri di India yang merupaka
persatuan Hindu-Muslim, di bawah kepemimpinan Jinnah, liga muslim menjadi
gerakan rakyat yang kuat.
Dengan kepemimpinanya di liga muslim semakin muncul kepermukaan, melalui sidang di Lahore yang dipimnpin langsung oleh Ali jinnah, berhasil dicetuskan resolisi yang terkenal dengan”resolusi Lahore “ atau “resolusi Pakistan”. Salah seorang pelopornya ialah Maulvi Fazlu Haque digelari Singa Bangli. Resolusi berbunyi: umat Islam India merupakan suatu bangsa umat Islam harus mempunyai tanah air sendiri yang terpisah dari umat Hindu dan tidak akan menerima konstitusi yang tidak menyebutkan tuntutan dasar ini.[28].
Namun cita-cita yang mulia itu tidak dapat diwujudkan pada waktu itu, karena dia meninggalkkan India menuju London. Setelah mengalami kekecewaan dan kekasalan atas kegagalan politiknya pada konverensi meja bundar antara pemerintah Inggris dengan wakil-wakil dari partai politik India. Ide dan perjuangannya untuk terbentuknya persatuan Hindu Islam merdeka di tolak, terutama pemimpin partai kongres yang menghendaki penghapusan eksistensi Islam dalam peran politik.[29]. Dengan demikian ia mengundurkan diri dari politik praktis dan kembali pada profesi semula.
Antara 1928 – 1935 dapat dianggap sebagai periode belantara politik bagi Jinnah, sangat muak terhadap politik sejumlah politisi India, Jinnah menetap di Inggris dan berpraktek sebagai pengacara swasta. Tetapi meninggalnya Maulana Muhammad Ali, kaum muslimin India ditinggalkan tanpa ada pimpinan yang efektif, sehingga Jinnah di bujuk kembali ke India pada tahun 1935. [30].
Dengan kepemimpinannya itu umat Islam berhasil memperoleh kemerdekaannya sebagai Negara Pakistan. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 15 agustus 1947 yang di dahului dengan di bukannya secara resmi dewan konstitusi Pakistan. Apa yang dia dambangkan terwujud dalam kenyataan, sebelum ia wafat tanggal 11 september 1948 dalam usia 72 tahun. Ia sempat memimpin Negara Pakistan selama satu tahun.[31]
Dengan kepemimpinanya di liga muslim semakin muncul kepermukaan, melalui sidang di Lahore yang dipimnpin langsung oleh Ali jinnah, berhasil dicetuskan resolisi yang terkenal dengan”resolusi Lahore “ atau “resolusi Pakistan”. Salah seorang pelopornya ialah Maulvi Fazlu Haque digelari Singa Bangli. Resolusi berbunyi: umat Islam India merupakan suatu bangsa umat Islam harus mempunyai tanah air sendiri yang terpisah dari umat Hindu dan tidak akan menerima konstitusi yang tidak menyebutkan tuntutan dasar ini.[28].
Namun cita-cita yang mulia itu tidak dapat diwujudkan pada waktu itu, karena dia meninggalkkan India menuju London. Setelah mengalami kekecewaan dan kekasalan atas kegagalan politiknya pada konverensi meja bundar antara pemerintah Inggris dengan wakil-wakil dari partai politik India. Ide dan perjuangannya untuk terbentuknya persatuan Hindu Islam merdeka di tolak, terutama pemimpin partai kongres yang menghendaki penghapusan eksistensi Islam dalam peran politik.[29]. Dengan demikian ia mengundurkan diri dari politik praktis dan kembali pada profesi semula.
Antara 1928 – 1935 dapat dianggap sebagai periode belantara politik bagi Jinnah, sangat muak terhadap politik sejumlah politisi India, Jinnah menetap di Inggris dan berpraktek sebagai pengacara swasta. Tetapi meninggalnya Maulana Muhammad Ali, kaum muslimin India ditinggalkan tanpa ada pimpinan yang efektif, sehingga Jinnah di bujuk kembali ke India pada tahun 1935. [30].
Dengan kepemimpinannya itu umat Islam berhasil memperoleh kemerdekaannya sebagai Negara Pakistan. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 15 agustus 1947 yang di dahului dengan di bukannya secara resmi dewan konstitusi Pakistan. Apa yang dia dambangkan terwujud dalam kenyataan, sebelum ia wafat tanggal 11 september 1948 dalam usia 72 tahun. Ia sempat memimpin Negara Pakistan selama satu tahun.[31]
Pemikiran
Muhammad Ali Jinnah
Pemikiran
pembaharuan Mohammad Ali Jinnah sebenarnya lebih pada ranah politik.
Diantaranya adalah gagasan tentang nasionalisme India, dengan perjuangan yang
dilakukan :
1.
Persatuan umat Islam dan Hindu
2.
Kemerdekaan India dari cekreraman penjajah (Inggris)
3.
Nasionalisme
Mohammad
Ali Jinnah mengatakan bahwa: ”India tidak akan diperintah oleh umat Hindu
dan tidak pula oleh umat Islam, tetapi India harus diperintah oleh rakyat India
dalam arti diperintah oleh umat Islam dan Hindu secara bersama-sama. Tuntutan
kita adalah memindahkan kekuasaan ke tengah-tengah rakyat India dalam waktu
yang tidak begitu lama, dan merupakan prinsip pembaharuan kita. (semangat
nasionalisme).”
Terbentuknya
negara Pakistan, pemikiran pembaharuan Ali Jinnah sebenarnya lebih pada ranah
politik, pada awalnya ia beranggapan dan menganjurkan adanya nasionalisme
India, untuk melepaskan diri dari jajahan Inggris, akan tetapi dari hasil
realitas dan pengalaman yang ia rasakan membuatnya merubah haluan politiknya
sejak ia menemukan kekecewaan bersama partai kongres. sejak itulah ia
beranggapan bahwa kepentingan umat Islam di India tidak bisa lagi dijamin
melalui perundingan dan terbentuknya sebuah undang-undang dasar India secara
keseluruhan. Tetapi kepentingan umat Islam akan terjamin hanya melalui
pembentukan negara tersendiri yang terpisah dari negara umat Hindu di India.
Ali
Jinnah mulai membahas masalah pembentukan negara Islam di rapat tahunan Liga
Muslimin yang diadakan di Lahore pada tahun 1940, yang kemudian menghasilkan
persetujuan bahwa pembentukan negara tersendiri bagi umat Islam sebagai tujuan
perjuangan Liga Muslimin. Sejak itulah Jinnah mulai memperjelas tentang negara
Islam yang akan dibentuk (Pakistan). Menurutnya negara tersebut ialah sebuah
negara yang berada dibawah kekuasaan umat Islam, tetapi tidak melupakan peran
serta non-muslim dalam pemerintahan dengan menyesuaikan jumlah mereka disetiap
daerah.
Pembentukan
negara Islam (Pakistan) Jinnah dan Liga Muslimin mendapatkan dukungan umat
Islam India, hal itu terlihat dari hasil pemilihan 1946, dimana Liga Muslimin
memperoleh kemenangan di daerah-daerah yang nantinya masuk Pakistan. Kedudukan
Ali Jinnah dalam perundingan dengan Inggris dan Partai Kongres Nasional India
mengenai masa depan Islam semakin kuat. Dan pada tahun 1947 Inggris
mengeluarkan putusan untuk menyerahkan kedaulatan kepada dua dewan konstitusi,
satu untuk Pakistan dan satu untuk India. Pada tanggal 14 Agustus 1947 dewan
konstitusi Pakistan dibuka dan pada tanggal 15 Agustus 1947 diresmikan, Ali
Jinnah diangkat menjadi Gubernur Jendral atau Pemimpin besar bagi rakyat
Pakistan, dan pada hari itulah Pakistan lahir sebagai sebuah Negara umat Islam
yang merdeka baik dari inggris ataupun India.
Peran Muhammada Ali Jinnah dalam Pembentukan Pakistan
Setelah bulan maret 1990 jalan perjuangan ali jinnah mulai jelas. Liga muslim telah memutuskan berdirinya Negara Pakistan sebagai tujuannya, dan ia berjuang untuk mencapainya dengan segala kegigihan dalam tujuan dan kesatuan dalam pikiran, yang dengan itu beberapa tahun sebelumya ia pernah memperjuangkan impiannya untuk memperoleh parsatuan hindu-muslim. Semua usahanya sejak waktu itu, wawancarannya, pidatonya, perundiannya, gerakan strategisnya, diilhami oleh suatu cita-cita untuak menegakkan Pakistan.[32]
Tokoh pembaharu India, semisal Sayyed Ahmad Khan dengan idenya tentang ilmu pengetahuan, Sayyed Amir Ali dengan idenya bahwa Islam tidak menentang kemajuan modern, dan Iqbal dengan idenya dinamikanya yang sangat membantu cita-cita ummat Islam India dalam membentuk Negara tersendiri. Untuk membentuk masyarakat tersendiri tersebut, Ali Jinnah lah yang berusaha untuk mewujudkannya, [33]
meskipun pada mulanya Muhammad Ali Jinnah dan liga mislimnya mula-mula berusaha untuk bekerja sama dengan partai kongres dan para pemimpinnya, namun pada tahun 1940 Jinnah bicara tentang dua bangsa di India. Perubahan sikap Jinnah tersebut muncul ketika timbul pemahaman yang sesungguhnya bahwa orang Hindu dan Muslim akan dapat menciptakan ansional bersama Jinnah menilai bahwa pandangan seperti itu hanyalah suatu mimpi. [34] Muhammad Ali Jinnah menilai, bahwa orang Hindu dan Muslim termasuk dalam dua falsafah agama, adapt kebiasaan sosialdan kesusatraan yang berbeda yang mereka tidak pernah saling mengawini dan makan bersama-sama.
Meskipun gagasan pendirian Negara Pakistan masih mendapat penolakan dari pemimpin agama untuk mendukung liga dalam pendirian Negara itu dan menyatakan bahwa nasionalisme dan Islam berlawanan, alasan ketidak sukaan mereka terhadap nasionalisme bermacam-macam, dipengaruhi anti Eropanismepolitik local, serta kepercayaan agama, nasionalisme dianggap sebagai konsep Barat yang partikularisme sempitnya bertentagan dengan nasonalisme Islam. (John L.Esposito:1994:79)
Keberhasilan Ali Jinnah membidani kelahiran Negara Pakistan sebagai Negara ummat Islam bermula dari langkah awal dengan pemikiran pembaharuan seorang tokoh Syah waliullah pada abad ke-18, dikembangkan ileh Sayyed Ahmad Khan dan tokoh gerakan Aligarh pada abad ke-19 dan abad ke-20 dipadu oleh pemikiran-pemikiran Amir Ali, Muhammad Iqbal dll, yang bermuara pada perjuangan ummat Islam yang semakin kuat dibawah pimpinan Ali Jinnah yang berusaha mengelaborasidan mengaplikasikan gagasan Iqbaltersebut kedalam realitas praktis, hingga terwujud cita-cita Negara Pakistan yang mereka dambakan. [35]
[1] Herry
Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,Jakarta,
Gema Insani, cet.1, th. 2006, hal.237
[2] H.A
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung,
Mizan 1998, Cet. III hal.174
[13] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan
Modern Dalam Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet. 1, th.
1998, hal. 168-170
[20] Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Jogjakarta,
Penerbit Lazuardi, cet. 1, th. 2002, hal. 280-281.
[21] Mukti ali. Alam Pikiran IslamModern di India dan Pakistan (Bandung:
Mizan, 1998, hal. 190
[22] ibid.
[23] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan
Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 195
[24] Mukti ali. Alam Pikiran IslamModern di India dan Pakistan (Bandung:
Mizan, 1998, hal. 191
[25] ibid
[26] ibid
[27] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan
Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 195
[28] Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1994) hal. 322
[29] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan
Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 196
[30] Jamil Ahmad. Seratus muslim terkemuka (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1996) hal 295
[31] Abul Hasan Ali al-nadwi. Muslim In India (India: Academy of Islam
Research Publication, 1976) hal 221.
[32] Mukti ali. Alam Pikiran IslamModern di India dan Pakistan (Bandung:
Mizan, 1998, hal. 211
[33] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan
Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 200
[34] Mukti ali. Alam Pikiran IslamModern di India dan Pakistan (Bandung:
Mizan, 1998, hal. 199
[35] Ensiklopedi Islam: Ichtiar Baru: 1994 hal. 322
Tidak ada komentar:
Posting Komentar