Rabu, 21 Desember 2016

PPMDI iqbal dan ali jinnah

Pendahuluan
Dalam perspektif islam manusia sebagai pemikir sekaligus pembuat peradaban memiliki kedudukan dan peran inti sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan paling utama. Makalah ini bermaksud menelusuri dan mengungkap beberapa pemikiran-pemikiran M. Iqbal semenjak ia meraih gelar doktor dalam bidang filsafat pada tahun 1907 sampai wafatnya tahun 1938. Mengingat ia adalah seorang pembaharu muslim yang pembaruannya lebih ditekankan pada bidang filsafat, sehingga iqbal lebih dikenal dengan seorang filosof dari pada teolog atau penyair. Karena bidang filsafat yang mendapat penekanan serius, maka pembaharuan pemikiran yang dilakukanya hampir pasti menyentuh semua bidang studi keislaman.
Pemikiran iqbal memang sangatlah konfrehensif, dengan menyentuh semua sendi-sendi kehidupan kaum muslim. Oleh karena itu sangatlah wajar apabila ia mempunyai pengaruh yang sangat signifikan bagi pembaharuan dunia islam kontemporer. Bahkan menurut Nourouzzaman shiddiqi, pemikiran fazlur rohman sendiri mendapat pengaruh dari pemikiran filsafat islam yang berkosentrasi pada rekonstruksi pemikiran. M. Iqbal menurut Mukti Ali, merupakan pemikir yang kuat dan lebih menghadap kedepan dari pada kebelakang.
Berbicara masalah Islam dan pemikiran tokoh-tokohnya, seberapapun lamanya tidaklah cukup untuk membahasnya. Mengingat begitu banyak sekali kajian-kajian Islam berikut pemikiran-pemikiran para tokohnya yang telah berhasil mengukir sejarah dan melahirkan peradaban baru bagi umat islam.
Dalam kajian ini penulis akan membahas tentang tokoh yang monumental diabad kedua puluh, yaitu Muhammad Iqbal (selanjutnya ditulis; Iqbal). Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan diskusi dan dapat diambil ibrah bagi kalangan intelektual dan cendikiawan muda yang haus akan ilmu pengetahuan.
B.       Biografi Singkat
Iqbal dilahirkan di Sialkot-India (suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir) pada tanggal 9 November 1877/ 2 Dzulqa'dah 1294 ([1]) dan wafat pada tanggal 21 April 1938. Ia terlahir dari keluarga miskin, tetapi berkat bantuan beasiswa yang diperlolehnya dari sekolah menengah dan perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan yang bagus. Setelah pendidikan dasarnya selesai di Sialkot ia masuk Government College (sekolah tinggi pemerintah) Lahore. Iqbal menjadi murid kesayangan dari Sir Thomas Arnold.  Iqbal lulus  pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa serta dua medali emas karena baiknya bahasa inggris dan arab, dan pada tahun 1909 ia mendapatkan gelar M.A dalam bidang filsafat.([2])
Ia lahir dari kalangan keluarga yang taat beribadah sehingga sejak masa kecilnya telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah Syekh Mohammad Noor dan Muhammad Rafiq kakeknya.([3]) Pendidikan dasar sampai tingkat menengah ia selesaikan di Sialkot untuk kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Lahore, di Cambridge-Inggris dan terakhir di Munich-Jerman dengan mengajukan tesis dengan judul The Development Of Metaphysics in Persia. Sekembalinya dari Eropa tahun 1909 ia diangkat menjadi Guru Besar di Lahore dan sempat menjadi pengacara.( [4])
Adapun karya-karya Iqbal diantaranya adalah:
Bang-i-dara (Genta Lonceng), Payam-i-Mashriq (Pesan Dari Timur), Asrar-i-Khudi (Rahasia-rahasia Diri), Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia-rahasia Peniadaan Diri), Jawaid Nama (Kitab Keabadian), Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat Nabi Musa), Pas Cheh Bayad Kard Aye Aqwam-i-Sharq (Apakah Yang Akan Kau Lakukan Wahai Rakyat Timur?), Musafir Nama, Bal-i-Jibril (Sayap Jibril), Armughan-i-Hejaz (Hadiah Dari Hijaz), Devlopment of Metaphyiscs in Persia, Lectures on the Reconstruction of Religius Thought in Islam Ilm al Iqtishad, , A Contibution to the History of Muslim Philosopy, Zabur-i-'Ajam (Taman Rahasia Baru), Khusal Khan Khattak, dan Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia Peniadaan Diri).([5] )
Sebagai seorang pemikir, tentu tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa gagasan-gagasannya tersebut tanpa dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Iqbal hidup pada masa kekuasaan kolonial Inggris. Pada masa ini pemikiran kaum muslimin di anak benua India sangat dipengaruhi oleh seorang tokoh religius yaitu Syah Waliyullah Ad-Dahlawi dan Sayyid Ahmad Khan. Syah Ad-Dahlawi adalah Ahmad bin Abdurrahim bin Wajiduddin bin Mu'azzam bin Ahmad bin Muhammad bin Qawanuddin al-Dahlan. Ia lahir di Kota dekat Delhi pada tanggal 21 Pebruari 1703 M/ 4 Syawal 1114 H dan wafat pada tanggal 29 Muharram 1176 H/ 10 gustus 1762 dalam usia 61 tahun. Karya tulisnya yang monumental adalah Hujjatullah al-Balighah.([6] ) Dan Sayyid Ahmad Khan adalah seorang penulis, pemikir dan aktivis politik modernis Islam India. Lahir di Delhi tahun 1817 M. Dimasa pemberontakan tahun 1857 ia berusaha mencegah kekerasan yang karenanya banyak orang-orang Inggris tertolong dari pembunuhan. Karena jasanya itu Inggris memberikan gelar kepadanya dengan sebutan Sir. Selanjutnya ia menggunakan kesempatan itu untuk menjalin hubungan baik dengan Inggris tapi semata-mata untuk kepentingan umat Islam India, karena baginya dengan jalan itulah umat Islam dapat tertolong. Dan akhirnya setelah kejadian tahun 1857 itu ia menjalankan tiga proyek besar yaitu: memprakarsai dialog untuk menciptakan saling pegertian antara kaum muslim dan Kristen, mendirikan organisasi ilmiah yang membantu kaum muslim untuk memahami kunci keberhasilan Barat dan menganalisis secara objektif penyebab pemberontakan 1857.([7]) Keduanya adalah sebagai para pemikir muslim pertama yang menyadari bahwa kaum muslimin tengah menghadapi zaman modern yang didalamnya pemahaman Islam mendapat tantangan serius dari Inggris. Terlebih ketika Dinasti Mughal terakhir di India ini mengalami kekalahan saat melawan Inggris pada tahun 1857, juga sangat mempengaruhi 41 tahun kekuasaan Imperium Inggris ([8]) dan bahkan pada tahun 1858 British East India Company dihapus dan Raja Inggris bertanggungjawab atas pemerintah imperium India.([9] )
 Pemikiran Muhammad Iqbal
pemikiran-pemikirannya yang fundamental (intuisi, diri, dunia dan Tuhan) itulah yang menggerakkan dirinya untuk berperan di India pada khususnya dan dibelahan dunia timur ataupun barat pada umumnya baik sebagai negarawan maupun sebagai agamawan. Karena itulah ia disebut sebagai Tokoh Multidimensional. ([10])
gagasan-gagasan Iqbal dalam dua hal yaitu: pemikirannya tentang politik dan tentang Islam.
1.       Pemikiran Politik
Sepulangnya dari Eropa, Iqbal kemudian terjun kedunia politik dan bahkan menjadi tulang punggung Partai Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi anggota legistalif Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga Muslim. Karir Iqbal semakin bersinar dan namanya pun semakin harum ketika dirinya diberi gelar ‘Sir’ oleh pemerintah kerajaan Inggris di London atas usulan seorang wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak terjang Iqbal ([11])di bidang intelektual dan politiknya. Gelar ini menunjukan pengakuan dari kerajaan inggris atas kemampuan intelektualitas dan memperkuat bargening position politik perjuangan umat Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan sebagai Bapak Pakistan yang pada setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan sebutan Iqbal Day.([12] )
Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan sejak terpilih menjadi Presidaen Liga Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa tidaklah mungkin umat Islam dapat bersatu dengan penuh persaudaraan dengan warga India yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya ia berfikir bahwa kaum muslimin harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia lontarkan keberbagai pihak melalui Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat dari seorang politikus muslim yang sangat berpengaruh yaitu Muhammad Ali Jinnah (yang mengakui bahwa gagasan Negara Pakistan adalah dari Iqbal), bahkan didukung pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang dalam posisi terdesak saat menghadapi front melawan Inggris.([13]) Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk menurutnya adalah salah satu republik itu ([14])
Sebagai seorang negarawan yang matang tentu pandangan-pandangannya terhadap ancaman luar juga sangat tajam. Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya imperialisme, materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat menentang pengaruh buruk budaya Barat. Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi reformasi dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan pemahaman seperti itu yang ia landasi diatas ajaran Islam maka ia berjuang menumbuhkan rasa percaya diri terhadap umat Islam dan identitas keislamannya. Umat Islam tidak boleh merasa rendah diri menghadapi budaya Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat melepaskan diri dari belenggu imperialis.
Paham Iqbal yang mampu mambangunkan kaum muslimin dari tidurnya adalah “dinamisme Islam” yaitu dorongannya terhadap umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah menciptakan, maka Iqbal menyeeru kepada umat Islam agar bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa seolah-lah orang kafir yang aktif kreatif "lebih baik" dari pada muslim yang "suka tidur".([15])
Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas yaitu; gigih menentang nasionalisme yang mengedepankan sentiment etnis dan kesukuan (ras). Bagi dia, kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di lingkungan yang bebas dan jauh dari sentiment nasionalisme.
M. Natsir menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang berjudul Structure of Islam, Iqbal menunjukkan asas-asas suatu negara dengan ungkapannya:
Didalam agama Islam spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah yang terpisah, dan fitrah suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam kesannya ditentukan oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhir-akhirnya latar belakang ruhani yang tak kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan watak dan sifat amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi, jika amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang tak terbatas. Dalam agama islam yang demikian itu adalah seperti yang disebut orang "gereja" kalau dilihat dari satu sisi dan sebagai "negara" kalau dilihat dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar kalau gereja dan negara disebut sebagai dua faset atau dua belahan dari barang yang satu. Agama Islam adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan seperti itu.([16] ) Demikian tegas Iqbal berpandangan bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan yang tidak terpisah.
Dengan gerakan membangkitkan Khudi (pribadi; kepercayaan diri) inilah Iqbal dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami dewasa ini. Ia kembalikan semangat sebagaimana yang dulu dapat dirasakan kejayaannya oleh ummat Islam. Ujung dari konsep kedirian inilah yang pada akhirnya membawa Pakistan merdeka dan ia disebut sebagai Bapak Pakistan.
2.       Pemikirannya Tentang Landasan Islam
a.        Pemikiran Tentang Al-Qur’an
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa Al-Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The Qur’an Is a book which emphazhise  deed rather than idea (Al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat  bahwa penafsiran Al-Qur’an dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Al-Qur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang ditutntut untuk mengembangkannya. Dalam istilah fiqih hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal sebagai prinsif gerak dalam struktur Islam. Disamping itu Al-Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun Al-Qur’an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya.([17] )
b.      Perspektif Tentang Al-Hadits
Sejak dulu hadist memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran Islam itu sendiri.
Iqbal memandang bahwa umat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadits, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan  sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan social bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan, dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah  lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadits-hadits pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadits daripada koleksi belaka.
c.        Perspektif Tentang Ijtihad
Menurut Iqbal ijtihad adalah “Exert with view to form an independent judgment on legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadits maupun Al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping ijtihad pribadi hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul. Sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazhab). Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad kedalam tiga tingkatan yaitu ([18])
1)      Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri mazhab-mazhab saja.
2)      Otoritas relative yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab
3)      Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl-al-sunnah tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhab-mazhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkun dipenuhi. Sikap ini adalah sangat ganjil dalam suatu system hukum Al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibatnya ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang.([19] )Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konsekwensinya, hukum Islam pun statis tidak berkembang selama beberapa abad.

Syair Muhammad iqbal:
Apakah kamu berada dalam tingkat "kehidupan", "kematian", atau "kematian dalam kehidupan"?
Memanggil tiga saksi untuk memberitahu dimana tempat "perhentianmu".
Saksi pertama adalah kesadaran batinmu sendiri-
Lihat dirimu sendiri dengan cahayamu sendiri.
Saksi kedua adalah kesadaran ego yang lain-
Lihat dirimu, lalu sinar ego yang lain daripada milikmu
Saksi ketiga adalah kesadaran Tuhan-
Lihat dirimu, lalu dengan cahaya Tuhan,
Jika kamu berdiri tidak bergerak di depan cahaya ini,
Anggaplah dirimu sendiri seperti hidup dan abadi layaknya Tuhan!
Bahwa manusia sendiri adalah sejati yang berani-
Berani untuk melihat Tuhan berhadapan muka!
Apakah "Mi'raj"? Hanya pencarian seorang saksi
Yang akhirnya dapat menegaskan realitasmu-
Seorang saksi yang dengan kesaksiannya membuatmu abadi.
Tak seorangpun dapat berdiri tanpa bergerak oleh keberadaannya;
Dan dia yang dapat, sesungguhnya, dia emas murni.
Apakah engkau hanya butiran debu semata?
Ketatkan simpul egomu;
Dan pegang cepat makhlukmu yang kecil!
Betapa cemerlangnya memancarkan ego kita
Dan menguji kilauan ini dari keberadaan Matahari!
Bersihkan ragamu yang lama;
Dan membangun makhluk baru.
Suatu makhluk yang sesungguhnya;
Atau egomu hanyalah gumpalan asap semata!([20])

Riwayat Hidup Muhammad Ali Jinnah
Muhammad Ali Jinnah, dilahirkan pada hari Ahad, 25 Desember 1876 di Karachi. (Esiklopedi Islam di Indonesia. 1992/1993: 756) orang tuanya termasuk masyarakat pedagang dari Kathiavar. Kecerdasan yang ia miliki dan kemampuan materi orang tuanya. Memungkinkan ia mendapatkan fasilitas yang besar untuk kepentingan pendidikannya. (Jamil Ahmad:1996:290) ketika ia masih berumur enam belas tahun, ia menuju ke Inggris atas nasihat teman ayahnya untuk belajar ilmu hukum pada tahun 1892. selanjutnya kembali ke India pada tahun 1896, dan mulai praktik advokat di Bombay.[21]
Pada awal karirnya dibidang hukum, Jinnah banyak mengalami beberapa tahun yang sangat sulit.[22] namun karena kecemerlangan otaknya ia memperoleh jangkauan yang lebih luas bagi keahlianya dengan melakukan kontak dengan para intelektual India yang pada akhirnya membentuk pandangan- pandangan politiknya yang anti penjajah atau anti Inggris. Dengan demikian ia menentukan pilihannya untuk aktif dalam partai kongres India dan menjauhi liga muslim yang dipandangnya pro Inggris.[23]
Karir politik Muhammad Ali dimulainya sejak tahun 1906 setelah ia menghadiri sidang All India National Congress di Calcutta.[24]  ketika itu ia terpilih sebagai sekertaris pribadi Peresiden Dadabhay Naoroji yang amat terkenal itu.

Tampaknya Jinnah sangat mendukung dan berpegang teguh kepada All India National Congress. Hal ini tampak ketika ia menyatakan diri “bangga tergolong” pada partai kongres. Namun ketika ia diangkat menjadi anggota dewan legislative kerajaan, ia mendukung pengesahaan undang-undang wakaf yang membawanya dekat dengan pemimpin-pemimpin Muslim.[25] Jinnah juga bergabung dengan liga Muslim namun masih menolak untuk didaftar menjadi anggota karena menurutnya tujuan organisasi tersebut tidak cukup tinggi. Namun setelah anggaran dasar organisasi ini berubah, yaitu berusaha untuk memperoleh “suatu bentuk pemerintahan yang cocok” sebagai tujuannya barulah ia bergabung dengan liga muslim. [26]
Pada tahun 1913 ia diangkat menjadi Presiden liga Muslim.[27]. Dengan demikian, sangat memungkinkan baginya memainkan peran aktif dalam semua kegiatan politik dan mewujudkan cita-citanya bagi pemerintahan sendiri di India yang merupaka persatuan Hindu-Muslim, di bawah kepemimpinan Jinnah, liga muslim menjadi gerakan rakyat yang kuat.

Dengan kepemimpinanya di liga muslim semakin muncul kepermukaan, melalui sidang di Lahore yang dipimnpin langsung oleh Ali jinnah, berhasil dicetuskan resolisi yang terkenal dengan”resolusi Lahore “ atau “resolusi Pakistan”. Salah seorang pelopornya ialah Maulvi Fazlu Haque digelari Singa Bangli. Resolusi berbunyi: umat Islam India merupakan suatu bangsa umat Islam harus mempunyai tanah air sendiri yang terpisah dari umat Hindu dan tidak akan menerima konstitusi yang tidak menyebutkan tuntutan dasar ini.[28].

Namun cita-cita yang mulia itu tidak dapat diwujudkan pada waktu itu, karena dia meninggalkkan India menuju London. Setelah mengalami kekecewaan dan kekasalan atas kegagalan politiknya pada konverensi meja bundar antara pemerintah Inggris dengan wakil-wakil dari partai politik India. Ide dan perjuangannya untuk terbentuknya persatuan Hindu Islam merdeka di tolak, terutama pemimpin partai kongres yang menghendaki penghapusan eksistensi Islam dalam peran politik.[29]. Dengan demikian ia mengundurkan diri dari politik praktis dan kembali pada profesi semula.
Antara 1928 – 1935 dapat dianggap sebagai periode belantara politik bagi Jinnah, sangat muak terhadap politik sejumlah politisi India, Jinnah menetap di Inggris dan berpraktek sebagai pengacara swasta. Tetapi meninggalnya Maulana Muhammad Ali, kaum muslimin India ditinggalkan tanpa ada pimpinan yang efektif, sehingga Jinnah di bujuk kembali ke India pada tahun 1935. [30].
Dengan kepemimpinannya itu umat Islam berhasil memperoleh kemerdekaannya sebagai Negara Pakistan. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 15 agustus 1947 yang di dahului dengan di bukannya secara resmi dewan konstitusi Pakistan. Apa yang dia dambangkan terwujud dalam kenyataan, sebelum ia wafat tanggal 11 september 1948 dalam usia 72 tahun. Ia sempat memimpin Negara Pakistan selama satu tahun.[31]

Pemikiran Muhammad Ali Jinnah
Pemikiran pembaharuan Mohammad Ali Jinnah sebenarnya lebih pada ranah politik. Diantaranya adalah gagasan tentang nasionalisme India, dengan perjuangan yang dilakukan :
1.      Persatuan umat Islam dan Hindu
2.      Kemerdekaan India dari cekreraman penjajah (Inggris)
3.      Nasionalisme

Mohammad Ali Jinnah mengatakan bahwa: ”India tidak akan diperintah oleh umat Hindu dan tidak pula oleh umat Islam, tetapi India harus diperintah oleh rakyat India dalam arti diperintah oleh umat Islam dan Hindu secara bersama-sama. Tuntutan kita adalah memindahkan kekuasaan ke tengah-tengah rakyat India dalam waktu yang tidak begitu lama, dan merupakan prinsip pembaharuan kita. (semangat nasionalisme).”

Terbentuknya negara Pakistan, pemikiran pembaharuan Ali Jinnah sebenarnya lebih pada ranah politik, pada awalnya ia beranggapan dan menganjurkan adanya nasionalisme India, untuk melepaskan diri dari jajahan Inggris, akan tetapi dari hasil realitas dan pengalaman yang ia rasakan membuatnya merubah haluan politiknya sejak ia menemukan kekecewaan bersama partai kongres. sejak itulah ia beranggapan bahwa kepentingan umat Islam di India tidak bisa lagi dijamin melalui perundingan dan terbentuknya sebuah undang-undang dasar India secara keseluruhan. Tetapi kepentingan umat Islam akan terjamin hanya melalui pembentukan negara tersendiri yang terpisah dari negara umat Hindu di India.

Ali Jinnah mulai membahas masalah pembentukan negara Islam di rapat tahunan Liga Muslimin yang diadakan di Lahore pada tahun 1940, yang kemudian menghasilkan persetujuan bahwa pembentukan negara tersendiri bagi umat Islam sebagai tujuan perjuangan Liga Muslimin. Sejak itulah Jinnah mulai memperjelas tentang negara Islam yang akan dibentuk (Pakistan). Menurutnya negara tersebut ialah sebuah negara yang berada dibawah kekuasaan umat Islam, tetapi tidak melupakan peran serta non-muslim dalam pemerintahan dengan menyesuaikan jumlah mereka disetiap daerah.

Pembentukan negara Islam (Pakistan) Jinnah dan Liga Muslimin mendapatkan dukungan umat Islam India, hal itu terlihat dari hasil pemilihan 1946, dimana Liga Muslimin memperoleh kemenangan di daerah-daerah yang nantinya masuk Pakistan. Kedudukan Ali Jinnah dalam perundingan dengan Inggris dan Partai Kongres Nasional India mengenai masa depan Islam semakin kuat. Dan pada tahun 1947 Inggris mengeluarkan putusan untuk menyerahkan kedaulatan kepada dua dewan konstitusi, satu untuk Pakistan dan satu untuk India. Pada tanggal 14 Agustus 1947 dewan konstitusi Pakistan dibuka dan pada tanggal 15 Agustus 1947 diresmikan, Ali Jinnah diangkat menjadi Gubernur Jendral atau Pemimpin besar bagi rakyat Pakistan, dan pada hari itulah Pakistan lahir sebagai sebuah Negara umat Islam yang merdeka baik dari inggris ataupun India.


Peran Muhammada Ali Jinnah dalam Pembentukan Pakistan
Setelah bulan maret 1990 jalan perjuangan ali jinnah mulai jelas. Liga muslim telah memutuskan berdirinya Negara Pakistan sebagai tujuannya, dan ia berjuang untuk mencapainya dengan segala kegigihan dalam tujuan dan kesatuan dalam pikiran, yang dengan itu beberapa tahun sebelumya ia pernah memperjuangkan impiannya untuk memperoleh parsatuan hindu-muslim. Semua usahanya sejak waktu itu, wawancarannya, pidatonya, perundiannya, gerakan strategisnya, diilhami oleh suatu cita-cita untuak menegakkan Pakistan.[32]

Tokoh pembaharu India, semisal Sayyed Ahmad Khan dengan idenya tentang ilmu pengetahuan, Sayyed Amir Ali dengan idenya bahwa Islam tidak menentang kemajuan modern, dan Iqbal dengan idenya dinamikanya yang sangat membantu cita-cita ummat Islam India dalam membentuk Negara tersendiri. Untuk membentuk masyarakat tersendiri tersebut, Ali Jinnah lah yang berusaha untuk mewujudkannya, [33]

meskipun pada mulanya Muhammad Ali Jinnah dan liga mislimnya mula-mula berusaha untuk bekerja sama dengan partai kongres dan para pemimpinnya, namun pada tahun 1940 Jinnah bicara tentang dua bangsa di India. Perubahan sikap Jinnah tersebut muncul ketika timbul pemahaman yang sesungguhnya bahwa orang Hindu dan Muslim akan dapat menciptakan ansional bersama Jinnah menilai bahwa pandangan seperti itu hanyalah suatu mimpi. [34] Muhammad Ali Jinnah menilai, bahwa orang Hindu dan Muslim termasuk dalam dua falsafah agama, adapt kebiasaan sosialdan kesusatraan yang berbeda yang mereka tidak pernah saling mengawini dan makan bersama-sama.

Meskipun gagasan pendirian Negara Pakistan masih mendapat penolakan dari pemimpin agama untuk mendukung liga dalam pendirian Negara itu dan menyatakan bahwa nasionalisme dan Islam berlawanan, alasan ketidak sukaan mereka terhadap nasionalisme bermacam-macam, dipengaruhi anti Eropanismepolitik local, serta kepercayaan agama, nasionalisme dianggap sebagai konsep Barat yang partikularisme sempitnya bertentagan dengan nasonalisme Islam. (John L.Esposito:1994:79)

Keberhasilan Ali Jinnah membidani kelahiran Negara Pakistan sebagai Negara ummat Islam bermula dari langkah awal dengan pemikiran pembaharuan seorang tokoh Syah waliullah pada abad ke-18, dikembangkan ileh Sayyed Ahmad Khan dan tokoh gerakan Aligarh pada abad ke-19 dan abad ke-20 dipadu oleh pemikiran-pemikiran Amir Ali, Muhammad Iqbal dll, yang bermuara pada perjuangan ummat Islam yang semakin kuat dibawah pimpinan Ali Jinnah yang berusaha mengelaborasidan mengaplikasikan gagasan Iqbaltersebut kedalam realitas praktis, hingga terwujud cita-cita Negara Pakistan yang mereka dambakan. [35]



[1] Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,Jakarta, Gema Insani, cet.1, th. 2006, hal.237
[2] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung, Mizan 1998, Cet. III hal.174
[3] Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, hal.237
[4] Ensiklopedi Umum, hal. 473 Penerbit Yayasan Kanisius, tahun 1977
[5] Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. 1, th. 2004, hal. 128
[6] Ensiklopedi Umum, hal. 185  Penerbit Yayasan Kanisius, tahun 1977
[7] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, Jakarta, Grasindo, th. 2003, hal. 36
[8] Ensiklopedi Umum, hal. 185  Penerbit Yayasan Kanisius, tahun 1977
[9] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, Jakarta, Grasindo, th. 2003, hal. 51
[10] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, Jakarta, Grasindo, th. 2003, hal. 44

[11] Gunadi & Shoelhi, Khazanah Orang Besar Islam, 163
[12] Robert Gwinn (Et.al), The New Encyclopaedia Britannica, hal. 373
[13] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet. 1, th. 1998, hal. 168-170
[14] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.  2003, cet. XIV, hal 186
[15] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.  2003, cet. XIV, hal 185
[16] Natsir, Kapita Selecta, hal. 147
[17] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.  2003, cet. XIV, hal 185

[18] Muhammad Iqbal, Tajdiid At-Tafkiir Ad-Diinii Fii al-Islam, Kairo, cet. 2, th. 1968, hal. 171
[19] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.  2003, cet. XIV, hal 184


[20] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Jogjakarta, Penerbit Lazuardi, cet. 1, th. 2002, hal. 280-281.
[21] Mukti ali. Alam Pikiran IslamModern di India dan Pakistan (Bandung: Mizan, 1998, hal. 190
[22] ibid.
[23] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 195
[24] Mukti ali. Alam Pikiran IslamModern di India dan Pakistan (Bandung: Mizan, 1998, hal. 191
[25] ibid
[26] ibid
[27] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 195
[28] Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1994) hal. 322
[29] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 196

[30] Jamil Ahmad. Seratus muslim terkemuka (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) hal 295
[31] Abul Hasan Ali al-nadwi. Muslim In India (India: Academy of Islam Research Publication, 1976) hal 221.
[32] Mukti ali. Alam Pikiran IslamModern di India dan Pakistan (Bandung: Mizan, 1998, hal. 211
[33] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 200
[34] Mukti ali. Alam Pikiran IslamModern di India dan Pakistan (Bandung: Mizan, 1998, hal. 199

[35] Ensiklopedi Islam: Ichtiar Baru: 1994 hal. 322

Tidak ada komentar:

Posting Komentar