Sabtu, 26 September 2015

ushul fiqih : Sadd Adz-Dzariah



B. Sadd Adz-Dzariah
1.  Pengertian  Sadd Adz-Dzari’ah
             Secara bahasa dzari’ah adalah wasilah (jalan),yang menyampaikan tujuan.Yang dimaksud dengan dzari’ah disini ialah jalan untuk sampai kepada yang haram atau kepada yang halal.Maka jalan yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya haram dan jalan yang menyampaikan kepada yang halal hukumnya pun halal dan apa yang menyampaikan kita pada yang wajib maka hukumnya pun wajib.[1]
            Sedangkan,pengertian  Adz-Dzari’ah menurut Imam Asy-Syatabi adalah :
ا لتو صل بما هو مصلحة ا لى مفسد ة
Artinya: melaksanakan suatu perkerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).[2]
Menurut menurut Imam Asy-Syatabi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan dilarang yaitu :
a.       Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
b.      Kemafsadatan lebih kuat daripada kemaslahatan.
c.       Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.
2. Macam-macam Dzari’ah
            a.  Dzari’ah dari segi kualitas kemafsadatannya
                 Menurut Imam Asy-Syatabi ,dari segi ini dzari’ah terbagi dalam empat macam[3] :
1.      Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti.Misalnya menggali sumur di depan rumah orang lain pada malam hari yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut.Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.
2.      Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan,misalnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
3.      Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan.Seperti menjual senjata pada musuh,yang kemungkinan digunakan untuk membunuh.
4.      Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan,tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan .Misalnya jual beli yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan membelinya.

b.  Dzari’ah dari segi dampak yang ditimbulkan
 Menurut Ibn Qayyim, dari segi dzari’ah ini terbagi dalam empat macam[4]:
1.         Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukan yang membawa pada kerusakan akal atau mabuk dan perbuatan zina yang me,bawa pada kerusakan tata keturunan.
2.         Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah,namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak,baik dengan sengaja (seperti nikah muhalil) dan tidak sengaja (seperti mencaci sembahan agama lain).
3.         Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah ,tidak ditujukan untuk kerusakan,namun bisa sampai pada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya.Seperti berhias perempuan yang baru ditinggal mati suaminya dalam masa iddah’.
4.         Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah,namum terkadang membawa pada kerusakan,sedangkan kerusakannyanya lebih kecil dibanding kebaikannya.Misalnya halam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.
                                    Terlepas dari permasalahan mana dzari’ah yang dilarang dan mana yang dibolehkan.Namun yang sangat prinsip adalah dzari’ah digunakan karena untuk memelihara tujuan syariat hukum yang menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan bagi kehidupan manusia.[5]
3. Pandangan Ulama tentang Sadd Adz-Dzari’ah
                        Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama tentang boleh tidaknya menggunakan sadd adz-dzari’ah.Oleh karena itu ,dasar pengambilannya hanya dengan ijtihad berdasarkan tidakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang menimbulkan kerusakan.Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudarat atau baik dan buruk.
                        Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum,pada dasarnya juga menerima metode sadd adz-dzari’ah itu meskipun ,berbeda dalam kadar penerimaannya.Kalangan ulama Malikiyah yang dikenal banyak menggunakan faktor maslahat dengan sendirinya juga banyak menggunakan metode sadd adz-dzari’ah.
C. Mazhab Sahabi
            1. Pengertian Mazhab Sahabi
                                    Mazhab Sahabi berarti pendapat para sahabat Rasullullah.Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama ,baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum,sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan terhadap hukum kasus yang dihadapi sahabat tersebut.[6]
                                    Imam Ibnu Qayyim berkata dalam kitabnya’ilmu Muwafiqqin’menyatakan 43 alasan yang mewajibkan mengikuti pendapat sahabat,akhirnya beliau berkata : fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk[7] :
a.       Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi.
b.      Fatwa yang didengar dari orang yang mendengarnya dari Nabi.
c.       Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Qur’an yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita.
d.      Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
e.       Fatwa yang didasarkan pada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya,kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya.Ini adalah hujjah yang wajib diikuti.
f.       Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya,maka hal ini tidak jadi hujjah.


2.  Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
            Setalah Rasulullah wafat,tampilan para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat islam dan membentuk hukum.Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah dan telah memahami Al-Quran serta hukum-hukumnya.
Dari mereka pula lah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam.Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in telang memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa meraka.Diantara mereka ada yang mengodifikasikan nya bersama sunah-sunah Rasul,sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash.Bahkan,seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada mereka sebelum kembali kepada qiyas,kecuali kalua hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama orang islam.
            3. Kehujjahan Mazhab Sahabi
Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat islam ,sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebgaiamana berdosanya meninggalkan perintah Nabi.Pembicaraan mengenai mazhab sahabi itu menyangkut kepada bebrapa segi pembahasan yaitu:
a.    Pembahasn dari kehujjahannya terhadap sesama sahabat lain,dan kehujjahannya terhadap generasi berikutnya  atau oarang yang selain sahabat.
b.    Pembahasan dari segi bentuk mazhab sahabi,dapat dibedakan anatara kemungkinannya berasala dariijtihad dari sahabat tersebut atau melalui cara lain.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan pendapatsahabat bagi orang lainyang selain sahabat seperti tabi’in (generasi sesudah sahabat),tabi’ tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan generasi berikutnya,diantara lain:
1.      Pendapat para ulama terdiri dari ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah,Imam Syafi’i dalam satu qaul-nya,Ahmad dalam satu riwayatnya, dan al-Karakhi dari ulama Malikiyah.Mereka mengatakan bahwa pendapat sahabat yang berasal dari ijtihadnya tidaklah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya.
2.      Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari: Malik ibn Anas,al-Razi,al-Barza’i dari sahabat Abu Hanifah,al-Syafi’i dalam salah satu qaulnya(qaul qadim),dan ahmad dalam salah satu riwayatnya.Mereka berpendapat bahwapendapat sahabat itu menjadi hujjah secara mutlak.
3.      Pendapat kalangan ulama yang tidak bersikap secara  mutlak (pasti) dalam menerima atau menolak pendapat sahabat.Disini berarti meberima dalam bentuk tertentu dan menolak yang lain-lainnya.


[1] Prof.H.A.Djazuli,Ilmu Fiqih, Jakarta:Kencana Grup,hlm 98
[2] Prof.DR.Rachmat Syafe’i,MA, Ilmu Ushul Fiqih ,Bandung:Pustaka Setia,hlm 132
[3] Ibid ,hlm 133
[4] Prof.DR.H.Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih,Jakarta:Kencana Grup,hlm 427-428
[5] Drs.Safiudin Shidik,M.Ag, Ushul Fiqih,Jakarta:Intimedia.hlm 78
[6] Prof.DR.H.Nasrun Haroen,M.A ,Ushul Fiqih I, Jakarta:Logos Wacana,hlm 155
[7] Prof.H.A.Djazuli,Ilmu Fiqih, Jakarta:Kencana Grup,hlm 97-98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar