B. Sadd Adz-Dzariah
1. Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah
Secara bahasa dzari’ah
adalah wasilah (jalan),yang menyampaikan tujuan.Yang dimaksud dengan dzari’ah
disini ialah jalan untuk sampai kepada yang haram atau kepada yang halal.Maka
jalan yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya haram dan jalan yang menyampaikan
kepada yang halal hukumnya pun halal dan apa yang menyampaikan kita pada yang
wajib maka hukumnya pun wajib.[1]
Sedangkan,pengertian Adz-Dzari’ah menurut Imam Asy-Syatabi adalah
:
ا لتو صل بما هو مصلحة ا لى مفسد ة
Artinya: melaksanakan suatu perkerjaan yang semula mengandung
kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).[2]
Menurut menurut Imam Asy-Syatabi, ada kriteria yang menjadikan
suatu perbuatan dilarang yaitu :
a.
Perbuatan
yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
b.
Kemafsadatan
lebih kuat daripada kemaslahatan.
c.
Perbuatan
yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.
2. Macam-macam Dzari’ah
a. Dzari’ah dari segi kualitas kemafsadatannya
Menurut Imam Asy-Syatabi ,dari segi ini
dzari’ah terbagi dalam empat macam[3] :
1.
Perbuatan
yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti.Misalnya menggali sumur
di depan rumah orang lain pada malam hari yang menyebabkan pemilik rumah jatuh
ke dalam sumur tersebut.Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan
tersebut dengan sengaja.
2.
Perbuatan
yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan,misalnya menjual
makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
3.
Perbuatan
yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan.Seperti menjual
senjata pada musuh,yang kemungkinan digunakan untuk membunuh.
4. Perbuatan yang
pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan,tetapi
memungkinkan terjadinya kemafsadatan .Misalnya jual beli yang lebih tinggi dari
harga asal karena tidak kontan membelinya.
b. Dzari’ah dari segi dampak
yang ditimbulkan
Menurut Ibn Qayyim, dari segi dzari’ah ini
terbagi dalam empat macam[4]:
1.
Dzari’ah
yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang
memabukan yang membawa pada kerusakan akal atau mabuk dan perbuatan zina yang
me,bawa pada kerusakan tata keturunan.
2.
Dzari’ah
yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah,namun ditujukan untuk perbuatan buruk
yang merusak,baik dengan sengaja (seperti nikah muhalil) dan tidak sengaja (seperti
mencaci sembahan agama lain).
3.
Dzari’ah
yang semula ditentukan untuk mubah ,tidak ditujukan untuk kerusakan,namun bisa
sampai pada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari
kebaikannya.Seperti berhias perempuan yang baru ditinggal mati suaminya dalam
masa iddah’.
4.
Dzari’ah
yang semula ditentukan untuk mubah,namum terkadang membawa pada
kerusakan,sedangkan kerusakannyanya lebih kecil dibanding kebaikannya.Misalnya halam
hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.
Terlepas
dari permasalahan mana dzari’ah yang dilarang dan mana yang dibolehkan.Namun
yang sangat prinsip adalah dzari’ah digunakan karena untuk memelihara tujuan
syariat hukum yang menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan bagi kehidupan
manusia.[5]
3. Pandangan Ulama tentang Sadd Adz-Dzari’ah
Tidak
ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama
tentang boleh tidaknya menggunakan sadd adz-dzari’ah.Oleh karena itu ,dasar
pengambilannya hanya dengan ijtihad berdasarkan tidakan hati-hati dalam beramal
dan jangan sampai melakukan perbuatan yang menimbulkan kerusakan.Kemudian yang
dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan
mudarat atau baik dan buruk.
Jumhur
ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan mudarat sebagai bahan
pertimbangan dalam menetapkan hukum,pada dasarnya juga menerima metode sadd
adz-dzari’ah itu meskipun ,berbeda dalam kadar penerimaannya.Kalangan ulama
Malikiyah yang dikenal banyak menggunakan faktor maslahat dengan sendirinya
juga banyak menggunakan metode sadd adz-dzari’ah.
C. Mazhab
Sahabi
1. Pengertian Mazhab Sahabi
Mazhab
Sahabi berarti pendapat para sahabat Rasullullah.Yang dimaksud pendapat sahabat
adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama ,baik
berupa fatwa maupun ketetapan hukum,sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan
terhadap hukum kasus yang dihadapi sahabat tersebut.[6]
Imam Ibnu
Qayyim berkata dalam kitabnya’ilmu Muwafiqqin’menyatakan 43 alasan yang
mewajibkan mengikuti pendapat sahabat,akhirnya beliau berkata : fatwa sahabat
tidak keluar dari 6 bentuk[7] :
a.
Fatwa
yang didengar sahabat dari Nabi.
b.
Fatwa
yang didengar dari orang yang mendengarnya dari Nabi.
c.
Fatwa
yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Qur’an yang agak kabur dari ayat
tersebut pemahamannya bagi kita.
d.
Fatwa
yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang sampai kepada kita melalui salah
seorang sahabat.
e.
Fatwa
yang didasarkan pada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah
lakunya,kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya.Ini
adalah hujjah yang wajib diikuti.
f.
Fatwa
yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salah
pemahamannya,maka hal ini tidak jadi hujjah.
2. Keadaan Para Sahabat
Setelah Rasulullah Wafat
Setalah Rasulullah
wafat,tampilan para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal
fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat islam dan membentuk hukum.Hal itu
karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah dan telah memahami
Al-Quran serta hukum-hukumnya.
Dari mereka pula lah keluar fatwa mengenai peristiwa yang
bermacam-macam.Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in telang
memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa meraka.Diantara mereka
ada yang mengodifikasikan nya bersama sunah-sunah Rasul,sehingga fatwa-fatwa
mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan
nash.Bahkan,seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada
mereka sebelum kembali kepada qiyas,kecuali kalua hanya pendapat perseorangan
yang bersifat ijtihadi bukan atas nama orang islam.
3. Kehujjahan
Mazhab Sahabi
Maksud
kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat
islam ,sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebgaiamana berdosanya
meninggalkan perintah Nabi.Pembicaraan mengenai mazhab sahabi itu menyangkut
kepada bebrapa segi pembahasan yaitu:
a.
Pembahasn
dari kehujjahannya terhadap sesama sahabat lain,dan kehujjahannya terhadap
generasi berikutnya atau
oarang yang selain sahabat.
b.
Pembahasan
dari segi bentuk mazhab sahabi,dapat dibedakan anatara kemungkinannya berasala
dariijtihad dari sahabat tersebut atau melalui cara lain.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan pendapatsahabat
bagi orang lainyang selain sahabat seperti tabi’in (generasi sesudah sahabat),tabi’
tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan generasi berikutnya,diantara lain:
1.
Pendapat
para ulama terdiri dari ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah,Imam Syafi’i
dalam satu qaul-nya,Ahmad dalam satu riwayatnya, dan al-Karakhi dari ulama
Malikiyah.Mereka mengatakan bahwa pendapat sahabat yang berasal dari ijtihadnya
tidaklah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya.
2.
Pendapat
kalangan ulama yang terdiri dari: Malik ibn Anas,al-Razi,al-Barza’i dari
sahabat Abu Hanifah,al-Syafi’i dalam salah satu qaulnya(qaul qadim),dan ahmad
dalam salah satu riwayatnya.Mereka berpendapat bahwapendapat sahabat itu
menjadi hujjah secara mutlak.
3.
Pendapat
kalangan ulama yang tidak bersikap secara
mutlak (pasti) dalam menerima atau menolak pendapat sahabat.Disini
berarti meberima dalam bentuk tertentu dan menolak yang lain-lainnya.
[1]
Prof.H.A.Djazuli,Ilmu Fiqih, Jakarta:Kencana Grup,hlm 98
[2]
Prof.DR.Rachmat Syafe’i,MA, Ilmu Ushul Fiqih ,Bandung:Pustaka Setia,hlm
132
[3] Ibid
,hlm 133
[4]
Prof.DR.H.Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih,Jakarta:Kencana Grup,hlm 427-428
[5]
Drs.Safiudin Shidik,M.Ag, Ushul Fiqih,Jakarta:Intimedia.hlm 78
[6]
Prof.DR.H.Nasrun Haroen,M.A ,Ushul Fiqih I, Jakarta:Logos Wacana,hlm 155
[7]
Prof.H.A.Djazuli,Ilmu Fiqih, Jakarta:Kencana Grup,hlm 97-98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar