Sabtu, 05 September 2015

MAKALAH ULUMUL HADITS



MAKALAH ULUMUL HADITS
“PROSES PENERIMAAN DAN PENYEBARAN HADITS
Dosen Pengampuh : Dr. Munzier Suparta, MA


         Trisna Hargi Rahmadianti         11140110000069
         Maula A’ida Anjani                   11140110000070

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA



DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan ­
            Latar Belakang
            Rumusan Masalah ­­
            Tujuan
Bab II Pembahasan
Pengertian Transmisi Hadist­
Tahamulul Hadis
Transmisi Hadist pada Masa Nabi S.AW
Transmisi Transmisi Hadist pada Masa Khulafaurrasyidin
Transmisi Transmisi Hadist pada Masa Sahabat
Hadist pada Masa Tabi’in
Hadist pada Masa Tabi’ Tabi’in
Ketentuan-Ketentuan Periwayatan Hadis
Bab III Penutup
            Kesimpulan
            Saran
Daftar Pustaka




KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan kepada Allah SWT. atas rahmatnya, sehingga niat kami untuk membuat makalah ini terkabul. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammmad SAW. beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini berjudul “ Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist”. Dalam menyusun makalah ini, kami telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyajikan yang terbaik sesuai kemampuan penulis. Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa terutama dalam menyusun makalah selanjutnya yang dapat digunakan sebagai referensi.
            Akhir kata pengantar ini kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Munzier Suparta, MA yang telah membimbing kami dalam proses belajar mengajar, dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
            Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, jika ada kritik dan saran yang bersifat membangun, kami akan menerimanya sebagai bahan acuan mengoreksi diri dan kedepannya dapat menyajikan yang lebih baik lagi.
















BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Dilihat dari segi periwayatannya, hadis berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an, semua periwayatan ayatnya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan hadis Nabi sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Karenanya, al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan qath’iy al-wurud atau qath’iy as-tsubut di mana seluruh ayat telah diakui keasliannya, sedang hadis, terutama yang dikategorikan hadis ahad masih diperlukan pengkajian serius untuk memperoleh kepastian periwayatannya: apakah berasal dari Nabi atau bukan. Hadis dilihat dari segi periwayatannya berkedudukan sebagai zhanniy al-wurud atau zhanniy as-tsubut.
Kajian-kajian yang banyak dilakukan umat islam terhadap al-Qur’an adalah untuk memahami kandungannya dan berusaha mengamalkannya. Terhadap hadis, kajian mereka tidak hanya menyangkut pemahaman kandungan dan pengamalannya, tetapi juga periwayatannya. Karenanya, kajian terhadap periwayatan hadis ini kemudian melahirkan disiplin ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ilmu ad-Dirayah.
Makalah ini membahas aspek transmisi hadist, macam-macam cara penerimaan riwayat hadis, proeses penerimaan dan penyebaran hadist pada masa Rasulullah hingga tabi’tabi’in.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Pengertian Transmisi Hadist
2.      Bagaimana Macam-Macam Cara Penerimaan Riwayat Hadis
3.      Bagaimana Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Masa Rasululullah SAW
4.      Bagaimana Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Masa Khulafaurrasyidin
5.      Bagaimana Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Masa Sahabat
6.       Bagaimana Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Masa Tabi’in
7.       Bagaimana Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Zaman Tabi’ Tabi’in
8.       Bagaimana Ketentuan-Ketentuan Periwayatan Hadis
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana proses penerimaan dan penyebaran hadist sebagai sumber ajaran islam yang kedua. Dan, merupakan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah studi hadist.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Transmisi Hadist
Transmisi adalah penyampaian atau peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadist bisa di artikan yaitu proses peralihan atau perpindahan serta suatu hadist dari sanad ke sanad sampai ke perawi.
Menurut istilah ilmu hadist, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadist itu kepada rangkaian para periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadist itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut orang yang telah melakukan periwayatan hadist. Atau ketika dia menyampaikan hadist kepada orang lain tanpa menyebutkan sanad maka dia juga bukan orang yang melakukan periwayatan hadist.[1]
Proses transmisi hadist pada masa nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi karena 2 hal yaitu:
1.      Cara penyampaian hadist oleh rasulullah secara langsung.
2.      Minat yang besar dari para sahabat.
B.     Macam-Macam Cara Penerimaan Riwayat Hadis (Tahamulul Hadis)[2]
Metode atau cara penerimaan hadis menurut Muhammad Ajaj Khatib, ada delapan, yaitu:
1.      As sima’ (mendengar)
Metode ini dengan cara seorang guru membacakan hadis, sedangkan murid mendengarkannya.
2.      Al qira’ah ‘ala asy syaikh (membaca di hadapan guru
Seorang murid membacakan atau menghafalkan hadis di hadapan gurunya, sedangkan guru memperhatikan dan menyimak hafalan muridnya.
3.      Al ijazah (sertifikasi atau rekomendasi)
Metode ini dengan cara memberikan legalitas kepada murid, karena si murid telah layak untuk meriwayatkan sesuatu.
4.      Al munawalah
Metode ini dilakukan dengan cara  seorang ahli hadis memberikan sebuah hadis, beberapa hadis atau kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkan darinya.
5.      Al mukatabah
Metode ini dilakukan dengan cara seorang guru menulis dengan tangannya sendiri, atau orang lain menulis darinya sebagian hadisnya untuk diberikan kepada muridnya.
6.      I’lam ‘ala Asy Syaikh
Maksudnya adalah seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya yang telah didengar atau diambilnya dari seseorang.
7.      Al wasiyah
Maksudnya adalah seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk menerima dan meriwayatkannya.
8.      Al wijadah (penemuan)
Ialah ilmu yang diambil atau didapat tanpa proses. Misalnya seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu.
C.     Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist Pada Zaman Rasullullah
Periode Rasul saw merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadist. Periode ini terhitung cukup singkat jika dibandingkan dengan masa-masa berikutnya. Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun 13 sebelum hijriah bertepatan dengan  610M sampai dengan tahun 11H bertepatan dengan tahun 632M. Masa ini merupakan kurun waktu turun wahyu (‘ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai masa pertumbuhan hadist.
Menurut riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh dikalangan para sahabat, Rasul saw menyampaikan hadistnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya.[3]
 Ada beberapa teknik atau cara Rasul saw menyampaikan hadist kepada para sahabat, yaitu:
1.      Melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi.
Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadist, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya. Para sahabat begitu antusias untuk tetap bisa mengikuti kegiatan di majlis ini. Ini ditunjukkan dengan banyak upaya. Terkadang diantara mereka bergantian hadir, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab, menurut riwayat al-Bukhari menerangkan:
 كنت أناوجارلي من الأنصارفي أمّيّة بن يزيد وهي من عوالى المدينة وكنانتناوب النزول على عهد رسول الله ص.م ينزل يوماوأنزل يومافإذا أنزلت جئت بخبرذالك اليوم من الوحى وغير، وإذا نزل مثل ذالك…. (رواه البخاري)
Artinya: “Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan Ashor bertempat di kampung Umayyah bin Yazid, sebuah kampung yang jauh dari kota Madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul saw. Kalau ini aku turun, esok tetanggaku yang pergi. Kalau aku yang  apa yang aku dapati Rasul saw. Kalau dai yang pergi demikian juga”. (HR. Bukhari) Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka.[4]
2.      Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah
3.      Perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musyahadah), seperti yang berkaitan dengan praktek ibadah dan muamalah.
4.      Melalui pertanyaan mengenai kondisi yang dialami sahabat, seperti pertanyaan Ali ra mengenai masalah madzi.
5.      Korespondensi dengan beberapa Raja dan Amir.
Tujuan Rasulullah SAW menyampaikan hadist kepada para sahabat  ialah[5]:
1.       Karena beliau bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah saw kepadanya dalam waktu yang cukup panjang.
2.       Karena beliau bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan dialaminya sendiri.
3.       Karena beliau bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang terjadi pada para sahabat yang ditanyakan kepadanya, baik oleh pelaku peristiwa itu maupun melalui orang lain.
4.       Karena beliau bermaksud menjelaskan kepastian hukum yang terjadi pada masyarakat yang disaksikan oleh sahabat.
5.       Karena beliau bermaksud meluruskan aqidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.
Adapun langkah-langkah lain yang dilakukan Rasulullah untuk menyebarkan hadist antara lain:
1.      Mendirikan Sekolah
Sekolah didirikan di Madinah segera sesudah kedatangan beliau. Kebijakan umumnya adalah mengirimkan guru dan khatib ke berbagai wilayah diluar Madinah. Misalnya, sejumlah utusan dikirim ke ‘Adzal dan Qara pada tahun 3H, ke Bir Ma’unah pada tahun 4H, ke Najran, Yaman, dan Hadramaut pada tahun 9H.[6]
2.      Memberikan Perintah
Nabi saw bersabda, dari Ibnu Umar
                             (بلغوني ولو أية (رواه البخاري وأحمد)
Artinya: “Sampaikanlah  pengetahuan dariku, walau hanya satu   ayat”. (HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan at-Turmudzi)
3.      Memberikan Rangsangan bagi Pengajar dan Penuntut Ilmu
Nabi saw tidak hanya memberikan perintah untuk mendidik masyarakat, tetapi juga menyebutkan pahala besar bagi pelajar dan penuntut ilmu. Beliau mengatakan “bahwa belajar dan menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim” sabda Rasulullah saw

D.    Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Zaman Masa KhulafaurRasyidin
Dari segi bahasa, sahabat diambil dari kata الصحابة  dengan makna الصحبة, yang berarti persahabatan, الصحابي dan الصاحب yang berarti yang punya atau yang menyertai. Jamaknya  أصاب وصحب.[7]
Menurut istilah Muhadditsin, sahabat adalah: من لقي النّبّي صلى الله عليه وسلّم و ما ت على الإسلام ولو تخلت ذلك ردة على الأصح Artinya: orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah saw, dalam keadaan beragama Islam dan mati dalam Islam sekalipun dipisah murtad di tengah-tengah menurut pendapat yang benar.[8]
Periode kedua sejarah perkembangan hadist adalah masa Sahabat, khususnya masa Khulafa’ al-rasyidin (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Masa ini terhitung sejak tahun 11 H – 40 H, yang disebut juga dengan masa sahabat besar.
            Pada masa sahabat besar ini, perhatian masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Dengan demikian, maka periwayatan hadist belum begitu berkembang, bahkan mereka berusaha membatasi periwayatan hadist. Oleh karena itu,  masa ini disebut juga oleh para ulama masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketat periwayatan (al-tatsabut wa al-tahdid min al-riwayah).[9]
 Sahabat secara umum tidak mensyaratkan apa-apa dalam menerima hadist dari sesama mereka. Akan tetapi, yang tidak dapat di ingkari bahwa sahabat sangat berhati-hati dalam menerima hadist dalam keterangan beberapa atsar Abu Bakar dan Umar tidak menerima hadist jika tidak di saksikan kebenarannya oleh seseorang yang lain. Menurut keterangan atsar bahwa Ali tidak menerima hadist sebelumnya yang menerima hadist melakukan sumpah. Namun dalam beberapa atsar bahwa beliau-beliau itu menerima hadist-hadist dengan riwayat seseorang saja dan tidak memerlukan seorang saksi dan tidak melakukan sumpah.[10]
E.     Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Zaman Sahabat
Pada masa sahabat, hokum kebolehan menulis hadist terjadi secara berangsur-angsur (at-tadarujj). Pada saat wahyu turun, umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghafal dan menulis Al-Qur’an. Sunnah hanya disimpan dalam dada mereka, disampaikan dari lisan ke lisan dan dipraktikkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat dan mereka dengar dari Nabi Muhammad saw. Kemudian setelah Al-Qur’an terpelihara denganbaik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan sunnah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al-Qur’an, para ulama sepakat bolehnya penulisan dan pengkodifikasian sunnah.[11]
Ada 6 orang diantara sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadist, yaitu sebagai berikut:
1.      Abu Hurairah, 5.374 hadis.
2.      Abdullah bin Umar, 2.635 hadis.
3.      Anas bin Malik, 2.286 hadis.
4.      Aisyah Ummi Al-Mukminin, 2.210 hadis.
5.      Abdullah bin Abbas, 1.660 hadis.
6.      Jabir bi Abdullah, 1.540 hadis.
Pada masa ini terjadinya pergolakan politik, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin. Sehingga terjadinya perpecahan antar umat Islam yang dimana juga akibat dari itu ialah munculnya hadis-hadis palsu, untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan-lawannya.[12]
Pada masa ini, didapatkan catatan atau penulisan hadis sebelum pengkodifikasian secara resmi berdasarkan instruksi seorang khalifah. Di antara dokumentasi penting adalah sebagai berikut:
1.      Ash-Shahifah Ash-Shadiqah, tulisan Abdullah bin Amr bin Al-Ash. Tulisan ini berbentuk lembaran-lembaran yang memuat lebih kurang 1000 hadis.
2.      Ash-Shahifah Jabir bin ‘Abd Allah Al-Anshari, yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat.
3.      Ash-Shahifah Ash-Shahihah, catatan seorang tabi’inHammam bin Munabbih.[13]
F.      Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Zaman Tabi’in
Pada tahun 17 H tentara Islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara Islam sampai di Samarkand. Pada tahun 93 H tentara Islam menaklukan Spanyol. Kota-kota itu kemudian menjadi “perguruan” tempat mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’indalam bidang hadis.[14]
Dalam fase ini, hadist mulai disebarkan dan mulailah perhatian diberikan terhadapnya dengan sempurna. Para tabi’inmulai memberikan perhatian yang sempurna kepada para sahabat, para tabi’inberusaha menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang jauh dan memindahkannya hafalan mereka sebelum mereka meninggal.
Dalam fase ini, terkenal beberapa orang sahabat dengan julukan “bendaharawan hadist”, yakni orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadist. Mereka memperoleh riwayat-riwayatnya yang banyak itu karena:
Pertama, yang paling awal masuk Islam, seperti Khulafa’Rasyidin dan Abdullah bin Mas’ud.
Kedua, terus menerus mendampingi Nabi saw. dan kuat hafalan, seperti Abu Hurairah.
Ketiga, menerima riwayat dari sebagian sahabat selain mendengar dari Nabi saw. dan panjang pula umurnya, seperti Anas ibn Malik.
Keempat, lama menyertai Nabi saw. dan mengetahui keadaan-keadaan Nabi saw. karena bergaul erat dengan Nabi saw. seperti istrinya, Aisyah.
Kelima, berusaha untuk mencatatnya, seperti Abdullah ibn Amr.
Para ahli sejarah dan ulama berpendapat bahwa Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri orang pertama yang mengkodifikasikan hadis pada awal tahun 100 H di bawah khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Kemudian aktivitas peghimpun dan pengodifikasian hadis tersebar di berbagai negeri Islam pada abad ke 2 H, di antaranya Abdullah bin Abdul Aziz bin Juraij di Mekkah, Ibnu Ishak di Mekkah, Abdurahman Abu Amr Al-Auza’I di Syiria, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah, Imam Malik bin Anas di Madinah, Ar-Rabi’ bin Shabih di Basrah.
Pada masa ini hadis sudah dihimpun perbab. Materi hadisnya dihimpun dari yang ditulis oleh para sahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan, baik dari sahabat maupun tabi’in.
Di antara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah sebagai berikut:
1.      Al-Muwaththa’, yang ditulis oleh Imam Malik.
2.      Al-Mushannaf, oleh Abdul Razzaq bin Hammam.
3.      As-Sunnah, oleh Abd bin Manshur.
4.      Al-Mushannaf, dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah.
5.      Musnad As-Syafi’i.[15]
G.    Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Zaman Tabi’ Tabi’in
Periode tabi’ tabi’inartinya periode pengikuttabi’inyaitu pada abad ke-3H. pada periode ini disebut Masa Kejayaan Sunnah (Min ‘Ushur Al-Izdihar) atau Masa Keemasan Sunnah (Min Al-‘Ushur Adz-Dzahabiyah),  karena pada masa ini kegiatan rihlahmencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Maka lahirlah buku induk Hadis Enam (Ummahat Kutub As-Sittah), yaitu buku hadis Sunan Al’ Jami Ash-Shahih yang dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadis Musnad.
Ummahat Kutub As-Sittah:
1.      Al- Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari.
2.      Al-Jami’ Ash-Shahih Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyayri.
3.      Sunan An-Nasa’I.
4.      Sunan Abu Dawud.
5.      Jami’ At-Tirmdzi.
6.      Sunan Ibnu Majah Al-Qazwini.
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, sebab pada masa ini ulama hadis telah berhasil memisahkan dan menyaring hadis-hadis, sehingga dapat dipisahkan antara hadis yang shahih dan hadis yang tidak shahih. Dan yang pertama kali membukukan hadis shahih adalah Al-Bukhari. Oleh karena itu, pada periode ini juga disebut masa Kodifikasi dan Filterisasi (Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih).
Perkembangan pembukuan hadis pada periode tabi’in ada 3 bentuk, yaitu:
1.      Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya, tidak perbab seperti fiqh dan kualitas hadisnya ada yang shahih, hasan dan dha’if.
2.      Al-Jami’, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi sembilan masalah, yaitu aqa’id, hukum, perbudakan, adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifat-sifat akhlak, fitnah, dan sejarah.
3.      Sunan, teknik penghimpun hadis secara bab seperti fiqh, setiap bab memuat beberapa hadis dalam satu topik.[16]
H.    Ketentuan-Ketentuan Periwayatan Hadis
Syarat Penerimaan dan Penyampaian Hadis telah ditetapkan oleh para ahli hadis semata-mata bertujuan untuk memelihara hadis dari tindak pemalsuan. Menurut para ulama, secara umum, terdapat perbedaan antara syarat-syarat penerimaan dan syarat-syarat periwayatan hadis. Mereka pada umumnya memperbolehkan penerimaan hadis dilakukan oleh orang kafir dan anak-anak, asalkan ketika meriawatkannya ia telah masuk Islam dan mukallaf.
Sedangkan syarat-syarat yang telah ditetapkan untuk periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
1.      Islam
2.      Baligh
3.      Berakal
4.      Tidak fasik
5.      Terhindar dari tingkah laku yang mengurangi dan menghilangkan kehormatan
6.      Mampu menyampaikan hadis yang telah dihapalnya
7.      Jika periwayat itu memiliki catatan maka catatannya ini dapat dipercaya
8.      Sangat mengetahui hal-hal yang merusak maksud hadis yang diriwayatkannya secara makna.[17]
Tampak bahwa syarat-syarat yang ditetapkan ulama terhadap periwayat yang melakukan kegiatan periwayatan hadis lebih ketat daripada persyaratan ketika menerima hadis. Namun demikian, menurut Syuhudi Ismail, orang yang menerima hadis paling tidak harus memenuhi dua syarat, yaitu: (1) sehat akal pikirannya, dan (2) secara fisik dan mental orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya.










BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
            Dari penjelasan makalah di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya: Transmisi adalah penyampaian atau peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadist bisa di artikan yaitu proses peralihan atau perpindahan serta suatu hadist dari sanad ke sanad sampai ke perawi.
Proses transmisi hadist pada masa nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi karena 2 hal yaitu:
a.       Cara penyampaian hadist oleh rasulullah secara langsung.
b.      Minat yang besar dari para sahabat.
Metode atau cara penerimaan hadis menurut Muhammad Ajaj Khatib, ada delapan, yaitu:
a.       As sima’ (mendengar)
b.      Al qira’ah ‘ala asy syaikh (membaca di hadapan guru)
c.       Al ijazah (sertifikasi atau rekomendasi)
d.      Al munawalah
e.       Al mukatabah
f.       I’lam ‘ala Asy Syaikh
g.      Al wasiyah
h.      Al wijadah (penemuan).
Periode Rasul saw merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadist. Periode ini terhitung cukup singkat jika dibandingkan dengan masa-masa berikutnya. Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun 13 sebelum hijriah bertepatan dengan  610M sampai dengan tahun 11H bertepatan dengan tahun 632M. Masa ini merupakan kurun waktu turun wahyu (‘ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai masa pertumbuhan hadist.
Ada beberapa teknik atau cara Rasul saw menyampaikan hadist kepada para sahabat, yaitu:
a.       Melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi.
b.      Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.
c.       Perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musyahadah), seperti yang berkaitan dengan praktek ibadah dan muamalah.
d.      Melalui pertanyaan mengenai kondisi yang dialami sahabat, seperti pertanyaan Ali ra mengenai masalah madzi.
e.       Korespondensi dengan beberapa Raja dan Amir.
Periode kedua sejarah perkembangan hadist adalah masa Sahabat, khususnya masa Khulafa’ al-rasyidin (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Masa ini terhitung sejak tahun 11 H – 40 H, yang disebut juga dengan masa sahabat besar.
Pada masa sahabat besar ini, perhatian masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Dengan demikian, maka periwayatan hadist belum begitu berkembang, bahkan mereka berusaha membatasi periwayatan hadist. Oleh karena itu,  masa ini disebut juga oleh para ulama masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketat periwayatan (al-tatsabut wa al-tahdid min al-riwayah).
Dalam fase ini, hadist mulai disebarkan dan mulailah perhatian diberikan terhadapnya dengan sempurna. Para tabi’in mulai memberikan perhatian yang sempurna kepada para sahabat, para tabi’in berusaha menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang jauh dan memindahkannya hafalan mereka sebelum mereka meninggal.
Periode tabi’ tabi’in artinya periode pengikut tabi’in yaitu pada abad ke-3H. pada periode ini disebut Masa Kejayaan Sunnah (Min ‘Ushur Al-Izdihar) atau Masa Keemasan Sunnah (Min Al-‘Ushur Adz-Dzahabiyah).

2.      Saran
Sebagaimana yang kami sadari bahwa makalah yang kami susun ini masih sangatlah jauh dari kata sempurna serta masih perlu diperbaiki kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan kami berharap kepada para pembaca agar dapat memberikan kritik maupun saran yang membangun sehingga kami bias menjadi lebih baik lagi kedepannya nanti.



















DAFTAR PUSTAKA
Al-Din, Jalal, ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthiy. Tadrib al-Rawiyfiy Syarh Taqrib al-Nawawiy. Jilid II.
Alfatih, M, Suryadilaga, dkk. 2010.Ulumul Hadis. Yogyakarta: Perum POLRI Gowok.
Ath-Thahan, Mahmud.Tasyri’ Mushthalah al-Hadist. Beirut: Dar ats- Tsaqafah al-Islamiyah.
Azami, M. 2005.Memahami Ilmu Hadist. Jakarta: Lentera.
Iskandar, Sofwan. 2012. Ilmu Hadis (Untuk Madrasah Aliyah Kelas XI). Jakarta: CV Arya Duta.
Majid, Abdul Khon. 2012.Ulumul Hadist. Jakarta: Amzah. cet. I.
Muhammad, Teungku, Hasbi al-Siddiqie. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Putra. cet. II.
Ranuwijaya, Utang. 2008.Ilmu Hadist. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Suparta, Munzier. 2008.Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suparta, Munzier dan Utang Ranuwijaya.Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Grafindo Persada.



[1]Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthiy, Tadrib al-Rawiyfiy Syarh Taqrib al-Nawawiy jilid II, h 225
[2]Sofwan Iskandar, Ilmu Hadis (Untuk Madrasah Aliyah Kelas XI), (Jakarta: CV Arya Duta, 2012), hal. 11
[3]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadist, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hal. 45

[4]Munzier Suparja, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadist, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm.59
[5]Utang Ranuwijaya, Ibid, hal. 48.
[6]M. Azami, Memahami Ilmu Hadist, (Jakarta: Lentera, 2005), hal. 35
[7]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta: Amzah, 2012), cet. I, hal. 123
[8]Mahmud Ath-Thahan, Tasyri’ Mushthalah al-Hadist, (Beirut: Dar ats- Tsaqafah al-Islamiyah), hal. 164
[9]Utang Ranuwijaya,Ibid, hal. 55
[10]Teungku Muhammad Hasbi al-Siddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, (Semarang:   Pustaka Rizki Putra, 2009), cet. II, hal. 42
[11]Abdul Majid Khon, Ibid, hal. 54
[12]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 88
[13]Ibid, hal. 58
[14]Teungku Muhammad Hasbi, Ibid, hal. 45
[15]Abdul Majid Khon, Ibid, hal. 60
[16]Ibid, hal. 62
[17]M. Alfatih Suryadilaga, dkk,UlumulHadis, (Yogyakarta: Perum POLRI Gowok, 2010), hal. 109

Tidak ada komentar:

Posting Komentar