MAKALAH ULUMUL
HADITS
Dosen Pengampuh : Dr. Munzier Suparta, MA
•
Trisna Hargi Rahmadianti 11140110000069
•
Maula A’ida Anjani 11140110000070
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
Latar
Belakang
Rumusan
Masalah
Tujuan
Bab II Pembahasan
Pengertian Transmisi Hadist
Tahamulul
Hadis
Transmisi Hadist pada Masa Nabi S.AW
Transmisi Transmisi Hadist pada Masa
Khulafaurrasyidin
Transmisi Transmisi Hadist pada Masa
Sahabat
Hadist pada Masa Tabi’in
Hadist pada
Masa Tabi’ Tabi’in
Ketentuan-Ketentuan Periwayatan
Hadis
Bab III Penutup
Kesimpulan
Saran
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan kepada Allah SWT. atas
rahmatnya, sehingga niat kami untuk membuat makalah ini terkabul. Shalawat dan
salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammmad SAW.
beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini berjudul “ Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist”. Dalam
menyusun makalah ini, kami telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyajikan
yang terbaik sesuai kemampuan penulis. Harapannya, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa terutama dalam menyusun
makalah selanjutnya yang dapat digunakan sebagai referensi.
Akhir kata pengantar ini kami mengucapkan
terima kasih kepada Dr. Munzier Suparta, MA yang telah membimbing kami dalam
proses belajar mengajar, dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Tak ada gading yang tak retak. Oleh
karena itu, jika ada kritik dan saran yang bersifat membangun, kami akan
menerimanya sebagai bahan acuan mengoreksi diri dan kedepannya dapat menyajikan
yang lebih baik lagi.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Dilihat dari
segi periwayatannya, hadis berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an, semua
periwayatan ayatnya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan hadis Nabi sebagian
periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung
secara ahad. Karenanya, al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai
kedudukan qath’iy al-wurud atau qath’iy as-tsubut di mana seluruh ayat telah
diakui keasliannya, sedang hadis, terutama yang dikategorikan hadis ahad masih
diperlukan pengkajian serius untuk memperoleh kepastian periwayatannya: apakah
berasal dari Nabi atau bukan. Hadis dilihat dari segi periwayatannya
berkedudukan sebagai zhanniy al-wurud atau zhanniy as-tsubut.
Kajian-kajian yang banyak dilakukan umat islam terhadap al-Qur’an
adalah untuk memahami kandungannya dan berusaha mengamalkannya. Terhadap hadis,
kajian mereka tidak hanya menyangkut pemahaman kandungan dan pengamalannya,
tetapi juga periwayatannya. Karenanya, kajian terhadap periwayatan hadis ini
kemudian melahirkan disiplin ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ilmu
ad-Dirayah.
Makalah ini membahas aspek transmisi hadist, macam-macam cara
penerimaan riwayat hadis, proeses penerimaan dan penyebaran hadist pada masa
Rasulullah hingga tabi’tabi’in.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Transmisi Hadist
2.
Bagaimana Macam-Macam
Cara Penerimaan Riwayat Hadis
3.
Bagaimana Proses Penerimaan dan
Penyebaran Hadist pada Masa Rasululullah SAW
4.
Bagaimana Proses Penerimaan dan
Penyebaran Hadist pada Masa Khulafaurrasyidin
5.
Bagaimana Proses Penerimaan dan
Penyebaran Hadist pada Masa Sahabat
6.
Bagaimana Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist
pada Masa Tabi’in
7.
Bagaimana
Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Zaman Tabi’ Tabi’in
8.
Bagaimana
Ketentuan-Ketentuan Periwayatan Hadis
1.3 Tujuan
Untuk
mengetahui bagaimana proses penerimaan dan penyebaran hadist sebagai sumber ajaran islam yang kedua. Dan, merupakan
tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah studi hadist.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Transmisi Hadist
Transmisi adalah
penyampaian atau peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadist bisa di
artikan yaitu proses peralihan atau perpindahan serta suatu hadist dari sanad
ke sanad sampai ke perawi.
Menurut istilah
ilmu hadist, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan
penyampaian hadist, serta penyandaran hadist itu kepada rangkaian para
periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadist
dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadist itu kepada orang
lain, maka dia tidak dapat disebut orang yang telah melakukan periwayatan hadist.
Atau ketika dia menyampaikan hadist kepada orang lain tanpa menyebutkan sanad
maka dia juga bukan orang yang melakukan periwayatan hadist.[1]
Proses
transmisi hadist pada masa nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi
karena 2 hal yaitu:
1.
Cara penyampaian hadist oleh rasulullah secara
langsung.
2. Minat yang besar
dari para sahabat.
B.
Macam-Macam Cara Penerimaan Riwayat Hadis (Tahamulul
Hadis)[2]
Metode atau cara penerimaan hadis menurut Muhammad
Ajaj Khatib, ada delapan, yaitu:
1.
As sima’ (mendengar)
Metode ini dengan cara seorang guru membacakan hadis, sedangkan murid
mendengarkannya.
2.
Al qira’ah ‘ala asy syaikh (membaca di hadapan guru
Seorang murid membacakan atau menghafalkan hadis di hadapan gurunya,
sedangkan guru memperhatikan dan menyimak hafalan muridnya.
3.
Al ijazah (sertifikasi atau rekomendasi)
Metode ini dengan cara memberikan legalitas kepada murid, karena si
murid telah layak untuk meriwayatkan sesuatu.
4.
Al munawalah
Metode ini dilakukan dengan cara
seorang ahli hadis memberikan sebuah hadis, beberapa hadis atau kitab
kepada muridnya agar sang murid meriwayatkan darinya.
5.
Al mukatabah
Metode ini dilakukan dengan cara seorang guru menulis dengan tangannya sendiri,
atau orang lain menulis darinya sebagian hadisnya untuk diberikan kepada muridnya.
6.
I’lam ‘ala Asy Syaikh
Maksudnya adalah seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis
atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya yang telah
didengar atau diambilnya dari seseorang.
7.
Al wasiyah
Maksudnya adalah seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau
sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk
menerima dan meriwayatkannya.
8.
Al wijadah (penemuan)
Ialah ilmu yang diambil atau didapat tanpa proses. Misalnya seseorang menemukan
kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya
itu.
C.
Proses
Penerimaan dan Penyebaran Hadist Pada Zaman Rasullullah
Periode Rasul saw merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hadist. Periode ini terhitung cukup singkat jika dibandingkan
dengan masa-masa berikutnya. Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun
13 sebelum hijriah bertepatan dengan 610M sampai dengan tahun 11H
bertepatan dengan tahun 632M. Masa ini merupakan kurun waktu turun wahyu (‘ashr
al-wahyi) dan sekaligus sebagai masa pertumbuhan hadist.
Menurut
riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan
rasa jenuh dikalangan para sahabat, Rasul saw menyampaikan hadistnya dengan
berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti
pengajiannya.[3]
Ada beberapa teknik atau cara Rasul saw
menyampaikan hadist kepada para sahabat, yaitu:
1. Melalui para
jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi.
Melalui
majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadist,
sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti
kegiatannya. Para sahabat begitu antusias untuk tetap bisa mengikuti kegiatan
di majlis ini. Ini ditunjukkan dengan banyak upaya. Terkadang diantara mereka
bergantian hadir, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab, menurut riwayat
al-Bukhari menerangkan:
كنت أناوجارلي من الأنصارفي أمّيّة بن يزيد وهي
من عوالى المدينة وكنانتناوب النزول على عهد رسول الله ص.م ينزل يوماوأنزل
يومافإذا أنزلت جئت بخبرذالك اليوم من الوحى وغير، وإذا نزل مثل ذالك….
(رواه البخاري)
Artinya: “Aku
dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan Ashor bertempat di kampung
Umayyah bin Yazid, sebuah kampung yang jauh dari kota Madinah. Kami
berganti-ganti datang kepada Rasul saw. Kalau ini aku turun, esok tetanggaku
yang pergi. Kalau aku yang apa yang aku dapati Rasul saw. Kalau dai yang
pergi demikian juga”. (HR. Bukhari) Terkadang kepala-kepala suku yang jauh
dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya
kepada suku mereka.[4]
2.
Melalui ceramah atau pidato di
tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah
3. Perbuatan
langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musyahadah), seperti yang
berkaitan dengan praktek ibadah dan muamalah.
4. Melalui
pertanyaan mengenai kondisi yang dialami sahabat, seperti pertanyaan Ali ra
mengenai masalah madzi.
5. Korespondensi
dengan beberapa Raja dan Amir.
Tujuan Rasulullah
SAW menyampaikan hadist kepada para sahabat ialah[5]:
1.
Karena beliau bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah saw kepadanya dalam waktu yang cukup
panjang.
2.
Karena beliau bermaksud menjelaskan
kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan dialaminya sendiri.
3.
Karena beliau bermaksud menjelaskan
kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang terjadi pada para sahabat yang
ditanyakan kepadanya, baik oleh pelaku peristiwa itu maupun melalui orang lain.
4.
Karena beliau bermaksud menjelaskan
kepastian hukum yang terjadi pada masyarakat yang disaksikan oleh sahabat.
5.
Karena beliau bermaksud meluruskan
aqidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.
Adapun
langkah-langkah lain yang dilakukan Rasulullah untuk menyebarkan hadist antara
lain:
1.
Mendirikan Sekolah
Sekolah
didirikan di Madinah segera sesudah kedatangan beliau. Kebijakan umumnya adalah
mengirimkan guru dan khatib ke berbagai wilayah diluar Madinah. Misalnya,
sejumlah utusan dikirim ke ‘Adzal dan Qara pada tahun 3H, ke Bir Ma’unah pada
tahun 4H, ke Najran, Yaman, dan Hadramaut pada tahun 9H.[6]
2.
Memberikan Perintah
Nabi saw
bersabda, dari Ibnu Umar
(بلغوني ولو أية (رواه البخاري
وأحمد)
Artinya: “Sampaikanlah
pengetahuan dariku, walau hanya satu
ayat”. (HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan at-Turmudzi)
3.
Memberikan Rangsangan bagi Pengajar
dan Penuntut Ilmu
Nabi saw
tidak hanya memberikan perintah untuk mendidik masyarakat, tetapi juga
menyebutkan pahala besar bagi pelajar dan penuntut ilmu. Beliau mengatakan “bahwa
belajar dan menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim” sabda Rasulullah
saw
D. Proses
Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Zaman Masa KhulafaurRasyidin
Dari segi
bahasa, sahabat diambil dari kata الصحابة dengan
makna الصحبة, yang berarti persahabatan, الصحابي dan الصاحب yang
berarti yang punya atau yang menyertai. Jamaknya أصاب وصحب.[7]
Menurut
istilah Muhadditsin, sahabat adalah: من لقي النّبّي
صلى الله عليه وسلّم و ما ت على الإسلام ولو تخلت ذلك ردة على الأصح Artinya:
orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah saw, dalam keadaan beragama
Islam dan mati dalam Islam sekalipun dipisah murtad di tengah-tengah menurut
pendapat yang benar.[8]
Periode
kedua sejarah perkembangan hadist adalah masa Sahabat, khususnya masa Khulafa’
al-rasyidin (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib). Masa ini terhitung sejak tahun 11 H – 40 H, yang
disebut juga dengan masa sahabat besar.
Pada masa sahabat besar ini,
perhatian masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Dengan
demikian, maka periwayatan hadist belum begitu berkembang, bahkan mereka
berusaha membatasi periwayatan hadist. Oleh karena itu, masa ini disebut
juga oleh para ulama masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketat
periwayatan (al-tatsabut wa al-tahdid min al-riwayah).[9]
Sahabat secara umum tidak mensyaratkan apa-apa
dalam menerima hadist dari sesama mereka. Akan tetapi, yang tidak dapat di
ingkari bahwa sahabat sangat berhati-hati dalam menerima hadist dalam
keterangan beberapa atsar Abu Bakar dan Umar tidak menerima hadist jika tidak
di saksikan kebenarannya oleh seseorang yang lain. Menurut keterangan atsar
bahwa Ali tidak menerima hadist sebelumnya yang menerima hadist melakukan
sumpah. Namun dalam beberapa atsar bahwa beliau-beliau itu menerima
hadist-hadist dengan riwayat seseorang saja dan tidak memerlukan seorang saksi
dan tidak melakukan sumpah.[10]
E.
Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Zaman Sahabat
Pada masa sahabat, hokum kebolehan menulis hadist terjadi secara
berangsur-angsur (at-tadarujj). Pada
saat wahyu turun, umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghafal dan menulis
Al-Qur’an. Sunnah hanya disimpan dalam dada mereka, disampaikan dari lisan ke
lisan dan dipraktikkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka
lihat dan mereka dengar dari Nabi Muhammad saw. Kemudian setelah Al-Qur’an
terpelihara denganbaik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan sunnah,
dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al-Qur’an, para ulama sepakat bolehnya
penulisan dan pengkodifikasian sunnah.[11]
Ada 6 orang diantara sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadist,
yaitu sebagai berikut:
1.
Abu Hurairah, 5.374 hadis.
2.
Abdullah bin Umar, 2.635 hadis.
3.
Anas bin Malik, 2.286 hadis.
4.
Aisyah Ummi Al-Mukminin, 2.210 hadis.
5.
Abdullah bin Abbas, 1.660 hadis.
6.
Jabir bi Abdullah, 1.540 hadis.
Pada masa ini terjadinya
pergolakan politik, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin. Sehingga
terjadinya perpecahan antar umat Islam yang dimana juga akibat dari itu ialah
munculnya hadis-hadis palsu, untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing
kelompok dan menjatuhkan posisi lawan-lawannya.[12]
Pada masa ini, didapatkan
catatan atau penulisan hadis sebelum pengkodifikasian secara resmi berdasarkan
instruksi seorang khalifah. Di antara dokumentasi penting adalah sebagai
berikut:
1.
Ash-Shahifah Ash-Shadiqah, tulisan Abdullah bin Amr bin Al-Ash. Tulisan ini berbentuk
lembaran-lembaran yang memuat lebih kurang 1000 hadis.
2.
Ash-Shahifah Jabir bin ‘Abd Allah Al-Anshari, yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat.
F. Proses
Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Zaman Tabi’in
Pada tahun 17 H tentara Islam mengalahkan Syiria dan
Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia.
Pada tahun 56 H tentara Islam sampai di Samarkand. Pada tahun 93 H tentara
Islam menaklukan Spanyol. Kota-kota itu kemudian menjadi “perguruan” tempat
mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’indalam bidang hadis.[14]
Dalam fase ini, hadist mulai disebarkan dan mulailah
perhatian diberikan terhadapnya dengan sempurna. Para tabi’inmulai memberikan perhatian yang sempurna kepada para
sahabat, para tabi’inberusaha
menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang jauh dan memindahkannya hafalan
mereka sebelum mereka meninggal.
Dalam fase ini, terkenal beberapa orang sahabat dengan julukan
“bendaharawan hadist”, yakni orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadist.
Mereka memperoleh riwayat-riwayatnya yang banyak itu karena:
Pertama, yang paling awal masuk Islam, seperti Khulafa’Rasyidin dan Abdullah bin
Mas’ud.
Kedua, terus menerus mendampingi Nabi saw. dan kuat hafalan, seperti Abu Hurairah.
Ketiga, menerima riwayat dari sebagian sahabat selain mendengar dari Nabi saw. dan
panjang pula umurnya, seperti Anas ibn Malik.
Keempat, lama menyertai Nabi saw. dan mengetahui keadaan-keadaan Nabi saw. karena bergaul
erat dengan Nabi saw. seperti istrinya, Aisyah.
Kelima, berusaha untuk mencatatnya, seperti Abdullah ibn Amr.
Para ahli sejarah dan ulama berpendapat bahwa Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri
orang pertama yang mengkodifikasikan hadis pada awal tahun 100 H di bawah
khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Kemudian aktivitas peghimpun dan pengodifikasian hadis tersebar di berbagai
negeri Islam pada abad ke 2 H, di antaranya Abdullah bin Abdul Aziz bin Juraij
di Mekkah, Ibnu Ishak di Mekkah, Abdurahman Abu Amr Al-Auza’I di Syiria, Sufyan
Ats-Tsauri di Kufah, Imam Malik bin Anas di Madinah, Ar-Rabi’ bin Shabih di
Basrah.
Pada masa ini hadis sudah dihimpun perbab. Materi hadisnya dihimpun dari
yang ditulis oleh para sahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan
secara lisan, baik dari sahabat maupun tabi’in.
Di antara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah sebagai berikut:
1.
Al-Muwaththa’, yang ditulis oleh
Imam Malik.
2.
Al-Mushannaf, oleh Abdul Razzaq
bin Hammam.
3.
As-Sunnah, oleh Abd bin Manshur.
4.
Al-Mushannaf, dihimpun oleh Abu
Bakar bin Syaybah.
5.
Musnad As-Syafi’i.[15]
G.
Proses Penerimaan dan Penyebaran Hadist pada Zaman Tabi’ Tabi’in
Periode tabi’ tabi’inartinya
periode pengikuttabi’inyaitu pada
abad ke-3H. pada periode ini disebut Masa Kejayaan Sunnah (Min ‘Ushur Al-Izdihar) atau Masa Keemasan Sunnah (Min Al-‘Ushur Adz-Dzahabiyah), karena pada masa ini kegiatan rihlahmencari ilmu dan sunnah serta
pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Maka lahirlah buku
induk Hadis Enam (Ummahat Kutub As-Sittah),
yaitu buku hadis Sunan Al’ Jami
Ash-Shahih yang dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadis Musnad.
Ummahat
Kutub As-Sittah:
1.
Al- Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari.
2.
Al-Jami’ Ash-Shahih Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyayri.
3.
Sunan An-Nasa’I.
4.
Sunan Abu Dawud.
5.
Jami’ At-Tirmdzi.
6.
Sunan Ibnu Majah Al-Qazwini.
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, sebab pada masa
ini ulama hadis telah berhasil memisahkan dan menyaring hadis-hadis, sehingga
dapat dipisahkan antara hadis yang shahih dan hadis yang tidak shahih. Dan yang
pertama kali membukukan hadis shahih adalah Al-Bukhari. Oleh karena itu, pada
periode ini juga disebut masa Kodifikasi dan Filterisasi (Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih).
Perkembangan pembukuan hadis pada periode tabi’in ada 3 bentuk, yaitu:
1.
Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan
masalah atau topiknya, tidak perbab seperti fiqh dan kualitas hadisnya ada yang
shahih, hasan dan dha’if.
2.
Al-Jami’, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi sembilan masalah, yaitu aqa’id, hukum, perbudakan, adab makan
minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifat-sifat akhlak, fitnah, dan sejarah.
3.
Sunan, teknik penghimpun hadis secara bab seperti fiqh, setiap bab memuat beberapa
hadis dalam satu topik.[16]
H.
Ketentuan-Ketentuan Periwayatan Hadis
Syarat Penerimaan dan Penyampaian Hadis telah ditetapkan oleh para ahli
hadis semata-mata bertujuan untuk memelihara hadis dari tindak pemalsuan.
Menurut para ulama, secara umum, terdapat perbedaan antara syarat-syarat
penerimaan dan syarat-syarat periwayatan hadis. Mereka pada umumnya
memperbolehkan penerimaan hadis dilakukan oleh orang kafir dan anak-anak,
asalkan ketika meriawatkannya ia telah masuk Islam dan mukallaf.
Sedangkan syarat-syarat yang telah ditetapkan untuk periwayatan hadis
adalah sebagai berikut:
1.
Islam
2.
Baligh
3.
Berakal
4.
Tidak fasik
5.
Terhindar dari tingkah laku yang mengurangi dan menghilangkan kehormatan
6.
Mampu menyampaikan hadis yang telah dihapalnya
7.
Jika periwayat itu memiliki catatan maka catatannya ini dapat dipercaya
8.
Sangat mengetahui hal-hal yang merusak maksud hadis yang diriwayatkannya
secara makna.[17]
Tampak bahwa syarat-syarat yang ditetapkan ulama terhadap periwayat yang
melakukan kegiatan periwayatan hadis lebih ketat daripada persyaratan ketika
menerima hadis. Namun demikian, menurut Syuhudi Ismail, orang yang menerima
hadis paling tidak harus memenuhi dua syarat, yaitu: (1) sehat akal pikirannya,
dan (2) secara fisik dan mental orang tersebut mampu memahami dengan baik
riwayat hadis yang diterimanya.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari penjelasan makalah di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwasanya: Transmisi adalah penyampaian atau
peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadist bisa di artikan yaitu proses
peralihan atau perpindahan serta suatu hadist dari sanad ke sanad sampai ke
perawi.
Proses transmisi hadist pada masa nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini
terjadi karena 2 hal yaitu:
a.
Cara penyampaian hadist oleh rasulullah secara langsung.
b.
Minat yang besar dari para sahabat.
Metode atau cara penerimaan hadis menurut Muhammad Ajaj Khatib, ada
delapan, yaitu:
a.
As sima’ (mendengar)
b.
Al qira’ah ‘ala asy syaikh (membaca di hadapan guru)
c.
Al ijazah (sertifikasi atau rekomendasi)
d.
Al munawalah
e.
Al mukatabah
f.
I’lam ‘ala Asy Syaikh
g.
Al wasiyah
h.
Al wijadah (penemuan).
Periode Rasul saw merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hadist. Periode ini terhitung cukup singkat jika dibandingkan
dengan masa-masa berikutnya. Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun
13 sebelum hijriah bertepatan dengan
610M sampai dengan tahun 11H bertepatan dengan tahun 632M. Masa ini
merupakan kurun waktu turun wahyu (‘ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai masa
pertumbuhan hadist.
Ada beberapa teknik atau cara Rasul saw menyampaikan hadist kepada para
sahabat, yaitu:
a.
Melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi.
b.
Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’
dan futuh Makkah.
c.
Perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musyahadah),
seperti yang berkaitan dengan praktek ibadah dan muamalah.
d.
Melalui pertanyaan mengenai kondisi yang dialami sahabat, seperti
pertanyaan Ali ra mengenai masalah madzi.
e.
Korespondensi dengan beberapa Raja dan Amir.
Periode kedua sejarah perkembangan hadist adalah masa Sahabat, khususnya
masa Khulafa’ al-rasyidin (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Utsman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Masa ini terhitung sejak tahun 11 H – 40 H,
yang disebut juga dengan masa sahabat besar.
Pada masa sahabat besar ini, perhatian masih terfokus kepada pemeliharaan
dan penyebaran al-Qur’an. Dengan demikian, maka periwayatan hadist belum begitu
berkembang, bahkan mereka berusaha membatasi periwayatan hadist. Oleh karena
itu, masa ini disebut juga oleh para
ulama masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketat periwayatan
(al-tatsabut wa al-tahdid min al-riwayah).
Dalam fase ini, hadist mulai disebarkan dan mulailah perhatian diberikan
terhadapnya dengan sempurna. Para tabi’in mulai memberikan perhatian yang
sempurna kepada para sahabat, para tabi’in berusaha menjumpai para sahabat ke
tempat-tempat yang jauh dan memindahkannya hafalan mereka sebelum mereka
meninggal.
Periode tabi’ tabi’in artinya periode pengikut tabi’in yaitu pada abad
ke-3H. pada periode ini disebut Masa Kejayaan Sunnah (Min ‘Ushur Al-Izdihar)
atau Masa Keemasan Sunnah (Min Al-‘Ushur Adz-Dzahabiyah).
2. Saran
Sebagaimana yang kami sadari bahwa
makalah yang kami susun ini masih sangatlah jauh dari kata sempurna serta masih
perlu diperbaiki kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan kami berharap
kepada para pembaca agar dapat memberikan kritik maupun saran yang membangun
sehingga kami bias menjadi lebih baik lagi kedepannya nanti.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Din, Jalal, ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr
al-Suyuthiy. Tadrib al-Rawiyfiy Syarh
Taqrib al-Nawawiy. Jilid II.
Alfatih, M, Suryadilaga, dkk. 2010.Ulumul Hadis. Yogyakarta: Perum POLRI
Gowok.
Ath-Thahan, Mahmud.Tasyri’
Mushthalah al-Hadist. Beirut: Dar ats- Tsaqafah al-Islamiyah.
Azami, M. 2005.Memahami
Ilmu Hadist. Jakarta: Lentera.
Iskandar, Sofwan. 2012. Ilmu Hadis (Untuk Madrasah Aliyah Kelas XI). Jakarta: CV Arya Duta.
Majid, Abdul Khon. 2012.Ulumul Hadist. Jakarta: Amzah. cet. I.
Muhammad, Teungku, Hasbi al-Siddiqie. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Semarang:
Pustaka Rizki Putra. cet. II.
Ranuwijaya, Utang. 2008.Ilmu Hadist. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Suparta, Munzier. 2008.Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suparta, Munzier dan Utang Ranuwijaya.Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
[1]Jalal
al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthiy, Tadrib al-Rawiyfiy Syarh
Taqrib al-Nawawiy jilid II, h 225
[2]Sofwan
Iskandar, Ilmu Hadis (Untuk Madrasah
Aliyah Kelas XI), (Jakarta: CV Arya Duta, 2012), hal. 11
[4]Munzier Suparja, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadist,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm.59
[7]Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadist, (Jakarta: Amzah, 2012), cet. I, hal. 123
[8]Mahmud Ath-Thahan, Tasyri’
Mushthalah al-Hadist, (Beirut: Dar ats- Tsaqafah al-Islamiyah), hal. 164
[10]Teungku Muhammad Hasbi al-Siddiqie, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadist, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), cet. II, hal. 42
[11]Abdul
Majid Khon, Ibid, hal. 54
[12]Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 88
[14]Teungku
Muhammad Hasbi, Ibid, hal. 45
[15]Abdul
Majid Khon, Ibid, hal. 60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar