BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Taksonomi
Pembelajaran
Kata taksonomi diambil dari bahasa Yunani yaitu
“tassein” yang berarti untuk mengklasifikasi dan “nomos” yang berarti aturan.
Taksonomi dapat diartikan sebagai klasifikasi berhirarki dari sesuatu, atau prinsip
yang mendasari klasifikasi. Semua hal yang bergerak, benda diam, tempat,
dan kejadian, sampai pada kemampuan berfikir dapat diklasifikasikan
menurut beberapa skema taksonomi.
Taksonomi
di dasarkan pada asumsi, bahwa program pendidikan dapat di pandang sebagai
suatu usaha mengubah tingkah laku siswa dengan menggunakan beberapa mata
pelajaran. Bila kita uraikan tingkah laku dan mata pelajaran, kita membuat
suatu tujuan pendidikan . Sebagai contoh: siswa akan dapat mengingat kembali
tokoh-tokoh sejarah Islam. Siswa dapat mengenal kembali bentuk dan pola di
dalam karya-karya sejarah Islam. Hal ini sesuai dengan pendapat Bunyamin S.
Bloom yaitu:
2.
Taksonomi Belajar Menurut Bloom
Proses belajar, baik di sekolah
maupun di luar sekolah, menghasilkan tiga pembentukan kemampuan yang dikenal
sebagai taksonomi Bloom, yaitu kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.[1]
a.
Ranah Kognitif[2]
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak), Bunyamin
S. Bloom menggolongkan tingkatan pada ranah kognitif dari pengetahuan sederhana
atau penyadaran terhadap fakta-fakta sebagai tingkatan yang paling rendah
kepenilaian (evaluasi) yang lebih kompleks dan abstrak sebagai tingkatan yang
paling tinggi.
Dalam konteks pendidikan, Bloom mengungkapkan tiga kawasan (domain)
perilaku individu beserta sub kawasan dari masing-masing kawasan, yakni :
1. Cognitive
Domain (Ranah
Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual,
seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri
dari dua bagian:
a. Bagian
pertama berupa Pengetahuan:
Berisikan kemampuan untuk mengenali dan
mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan,
metodologi, prinsip dasar, dsb. Sebagai contoh, ketika diminta menjelaskan
manajemen kualitas, orang yg berada di level ini bisa menguraikan dengan baik
definisi dari kualitas, karakteristik produk yang berkualitas, standar kualitas
minimum untuk produk.
b. Bagian kedua
berupa Kemampuan dan bagian Keterampilan Intelektual
1)
Pemahaman (comprehension)
Pada
tahap ini seseorang sudah memahami sesuatu seperti sebuah gambaran, diagram,
grafik, laporan, peraturan dan lain- lain. Misalkan ketika melihat grafik
statistik penyakit phobia di Indonesia seseorang sudah bisa menterjemahkan
kepada pemahamannya.
2)
Aplikasi (Application)
Di tingkat ini, seseorang memiliki
kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di
dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, ketika diberi informasi tentang penyebab
meningkatnya reject di produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan
mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish
bone diagram.
3)
Analisis (Analysis)
Di tingkat analisis, seseorang akan mampu
menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi
ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan
mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah
skenario yg rumit. Sebagai contoh, di level ini seseorang akan mampu
memilah-milah penyebab meningkatnya reject, membanding-bandingkan tingkat
keparahan dari setiap penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab ke dalam
tingkat keparahan yg ditimbulkan.
4)
Sintesis (Synthesis)
Satu tingkat di atas analisis,
seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari
sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau
informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini
seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat
reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya
kualitas produk.
5)
Evaluasi (Evaluation)
Dikenali dari kemampuan untuk
memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dsb dengan
menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai
efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer
kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yang sesuai untuk dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat,
nilai ekonomis, dsb.
b.
Ranah Afektif
Taksonomi untuk daerah afektif
mula-mula dikembangkan oleh David R. Krathwolhl dan kawan kawan (1974) dalam
buku yang berjudul Taxonomi of Educational Objective : Afective Domain. Ranah
afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai.Beberapa pakar
mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang
memiliki kognitif tingkat tinggi.
Ciri-ciri belajar afektif akan nampak pada peserta didik
dalam berbagai tingkah laku: seperti perhatiannya terhadap mata pelajaran
pendidikan agama Islam. Kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran di
sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran
agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru
pendidikan Agama Islam dan lain sebagainya. Ranah afektif ini oleh Krathwolhl
dan kawan-kawan di taksonomi menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang
yaitu:
1)
Reciving atau Attending
(menerima atau memperhatikan) adalah kepekaan seseorang dalam menerima
rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk
masalah, situasi, gejala dan lain-lain.
2)
Responding (menanggapi)
mengandung arti adanya partisipasi aktif. Jadi kemampuan menanggapi adalah
kemampuan seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena
tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara.
3)
Valuing (menilai atau
menghargai).Menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau penghargaan
terhadap suatu kegiatan atau obyek. Sehingga apabila kegiatan itu tidak
dikerjakan, dirasa akan membawa kerugian atau penyesalan. Dalam kaitan proses
belajar mengajar, peserta didik di sini tidak hanya mau menerima nilai yang
diajarkan, tetapi mereka telah berkemampuan menilai konsep atau fenomena, yaitu
baik atau buruk. Nilai itu telah mulai dicamkan (interralized) dalam dirinya.
4)
Organization (mengatur atau
mengorganisasikan) artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk
nilai baru yang lebih universal yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau
mengorganisasikan merupakan pengembangan nilai ke dalam suatu sistem organisasi
termasuk di dalamnya hubungan dengan satu nilai dengan nilai lain. Pemantapan
dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.
5)
Characterization by a Value
or Value Complex (karakterisasi dengan satu nilai) yakni keterpaduan semua
sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian
dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat
tertinggi dalam suatu hierarkhi nilai. Nilai telah tertanam secara konsisten
pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkatan
afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar
bijaksana, ia telah memiliki philosophy of life yang mapan. Jadi pada
jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah
lakunya untuk satu waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik
“pola hidup”.Tingkah lakunya menetap konsisten dan dapat diramalkan.
c.
Ranah psikomotor[3]
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan
ketrampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima
pengalaman tertentu .Anita Harrow mengelolah taksonomi ranah psikomotor menurut
derajat koordinasi yang meliputi koordinasi ketidaksengajaan dan kemampuan
dilatihkan.taksonomi ini dimulai dari gerak refleks yang sederhana pada
tingkatan rendah ke gerakan saraf otot yang lebih kompleks pada tingkatan
tertinggi.
a.
Gerakan refleks, merupakan
tindakan yang ditunjukan tanpa belajar dalam menanggapi stimulus.
b.
Gerakan dasar, merupakan
pola gerakan yang diwarisi yang terbentuk berdasarkan campuran gerakan refleks
dan gerakan yang lebih kompleks.
c.
Gerakan tanggap, merupakan
penafsiran terhadap segala rangsang yang membuat seseorang mampu menyesuaikan
diri terhadap lingkungan. Hasil belajarnya berupa kewaspadaan berdasarkan
perhitungan dan kecermatan.
d.
Kegiatan fisik, merupakan
kegiatan yang memerlukan kekuatan otot, kekuatan mental, ketahanan, kecerdasan,
kegesitan dan kekuatan suara.
e.
Komunikasi tidak berwacana,
merupakan komunikasi melalui gerakan tubuh. Gerakan tubuh ini merentang dari
ekspresi mimik muka sampai dengan gerakan koreografi yang rumit.
Taksonomi telah diciptakan untuk membantu para guru dalam mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan untuk berbagai tujuan. System Gallagher-Aschner untuk
menganalisa dan mengendalikan perilaku soal jawab kelas memilki empat kategori
pertanyaan [4]:
1)
Memori kognitif
2)
Konvergen
3)
Divergen
4)
Evaluatif
Taksonomi pertanyaan Norris Sanders memiliki tujuh
tingkatan :
1)
Memori
2)
Penerjemahan
3)
Interpretasi
4)
Penerapan
5)
Analisa
6)
Sintesa
7)
Evaluasi
Tujan-tujuan taksonomi pendidikan dari Benjamin Bloom (1956) mungkin yang
paling bnayak digunakan, karena memberikan kerangka kerja bagi penggolongan pertanyaan
bagi jenis-jenis yang mendapatkan keahlian berpikir tingkatan yang lebih rendah
dan jenis-jenis yang membutuhkan keahlian berpikir tingkatan yang lebih tinggi.
Enam tingkatan soal jawab yang diperkenalkan oleh Bloom adalah ilmu
pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi.
Kemampuan yang dimiliki siswa di bidang psikomotorik, juga merupakan bagian
dari keadaan awal di pihak siswa, yang dapat menghambat atau membantu di semua proses belajar-mengajar atau paling
sedikit dalam proses belajar mengajar yang harus menghasilkan ketrampilan
motorik. Kemampuan-kemampuannya yang dimaksud, antara lain adalah kecakapan
menulis, kecakapan berbicara dan artikulasi kata-kata; menggunakan alat-alat
menggunting, memotong, membuat garis dan lingkaran serta menggambar. Diantara
kemampuan itu, ada yang dibutuhkan dalam proses belajar tertentu, seperti
koordinasi gerak-gerik dalam pelajaran ketrampilan dan pendidikan jasmani.
Belajar
psikomotor, ciri khasnya terletak dalam belajar menghadapi dan mengenali
obyek-obyek secara fisik, termasuk kejasmanian manusia sendiri. Misalnya,
menggerakkan anggota-anggota badan sambil naik tangga atau berenang, memegang
alat sambil menulis atau melukis, memberikan makan kepada dirinya sendiri
sambil mengambil bahan makanan dan memindahkan ke mulut dengan mempergunakan
alat-alat makan dan lain sebagainya.Dengan penjelasan tersebut, berlangsung
suatu penanganan atau operasi secara fisik bukan hanya operasi secara mental,
sebagaimana terjadi bila berfikir. Dalam belajar ini, baik aktivitas mengamati
melalui alat-alat indra (sensorik) maupun bergerak dan menggerakkan (motorik)
mempunyai peranan penting.
Keberhasilan
pengembangan ranah kognitif juga akan berdampak positif terhadap perkembangan
ranah psikomotor. Kecakapan psikomotor ialah segala amal jasmaniah yang konkrit
dan mudah diamati baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang
terbuka. Namun, disamping kecakapan psikomotor tidak terlepas dari kecakapan
kognitif ia juga banyak terikat oleh kecakapan afektif. Jadi kecakapan
psikomotor siswa merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta
sikap mentalnya
Banyak
contoh yang membuktikan bahwa kecakapan kognitif berpengaruh besar terhadap
berkembangnya kecakapan psikomotor. Para siswa yang berprestasi baik (dalam
arti yang luas dan ideal) dalam bidang pelajaran agama misalnya siswa akan
lebih rajin beribadah sholat, puasa dan mengaji. Siswa juga tidak akan
segan-segan memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan. Sebab, ia merasa
memberi pertolongan adalah kebajikan (afektif), sedangkan perasaan yang
berkaitan dengan kebajikan tersebut berasal dari pemahaman yang mendalam
terhadap materi pelajaran agama yang ia terima dari gurunya (kognitif).
Gerakan-gerakan
psikomotor siswa akan terus meningkat keanekaragaman, keseimbangan dan
kekuatannya ketika ia menduduki tingkat SMP dan SMA. Namun, peningkatan
kualitas bawaan siswa ini justru membawa konsekuensi tersendiri, yakni perlunya
pengadaan guru yang lebih piawai dan terampil. Kepiawaian guru dalam hal ini
bukan hanya menyangkut cara melatih ketrampilan para siswa, melainkan juga
kepawaian yang berhubungan dengan penyampaian ilmu tentang mengapa dan
bagaimana ketrampilan tersebut dilakukan.
3.
Faktor-Faktor Mempengaruhi
Karakteristik Kognitif Siswa.
a.
Persepsi
Persepsi adalah proses yang
menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui
persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan
lingkungannya.Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihat, pendengar,
peraba, perasa dan pencium.
b.
Perhatian
Perhatian adalah kegiatan
yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan pemilihan rasangan yang
datang dari lingkungannya. Jika seseorang sedang berjalan di jalan besar, ia
sadar akan adanya lalu lintas disekelilingnya, akan kendaraan-kendaraan dan
orang-orang yang lewat, akan toko-toko yang ada di tepi jalan. Dalam keadaan
seperti ini kita tidak mengatakan bahwa ia menaruh perhatiannnya tertarik akan
hal-hal yang disekelilingnya. Tetapi jika kita melihat ia bertemu dengan
seseorang yang dikenalnya dan kemudian bercakap-cakap denganya, maka kita dapat
mengatakan bahwa seorang tersebut dalam keadaan memperhatikan.
c.
Mendengarkan
Mendengar adalah respons
yang terjadi karena adanya rasangan gelombang suara.Peristiwa mendengar adalah
sepenuhnya peristiwa jasmaniah. Diterimanya gelombang suara oleh indra
pendengar tidak berarti adanya persepsi sadar akan apa yang didengar. Karena
kenyataan inilah maka kita sering mendengar orang mengatakan siswa itu
mendengar pelajaran yang kita sampaikan tetapi mereka tidak mengerti pelajaran
yang kita sampaikan.Untuk mendengarkan, siswa harus mendengar, tetapi untuk
mendengar orang tidak perlu mendengarkan.Mendengarkan tergantung pada
perhatian.
d.
Ingatan
Ingatan adalah penarikan
kembali informasi yang pernah diperoleh sebelumnya. Informasi yang diterima
dapat disimpan untuk :beberapa saat saja dan beberapa waktu.
Belajar kognitif. Ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan
menggunakan tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan suatu yang
bersifat mental.semakin banyak pikiran dan gagasan dimiliki siswa, semakin kaya
dan luas alam pikiran kognitif siswa. Di samping itu semakin besar kemampuan
berbahasa untuk mengungkapkan gagasan dan pikiran, semakin meningkat kemahiran
untuk menggunakan kemampuan kognitif secara efektif dan efisien.Kemampuan
berbahasa harus dikembangkan melalui belajar.
Dua
macam kecakapan kognitif siswa yang amat perlu dikembangkan segera khususnya
oleh guru, yakni :
a. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran
b. Strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasinya serta
menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.
Perkembangan
kognitif seseorang menurut Piaget mengikuti tahap-tahap sebagai berikut :
1)
Tahap pertama: masa sensi
motor (0.0-2.5 tahun)
Masa
ketika bayi mempergunakan sistem pengindraan dan aktivitas motorik untuk
mengenal lingkungannya. Bayi memberikan reaksi motorik atas
rangsangan-rangsangan yang diterimanya dalam bentuk refleks: misalnya refleks
mencari puting susu ibu, refleks menangis, dan lain-lain). Refleks-refleks ini
kemudian berkembang lagi menjadi gerakan-gerakan lebih canggih, misalnya
berjalan.
2)
Tahap kedua : masa pra
operasional (2.0-7.0 tahun).
Ciri
khas masa ini adalah kemampuan anak menggunakan simbol yang mewakili sesuatu
konsep. Misalnya kata “ pisau plastik”. Kata “pisau” atau tulisan “pisau”
sebenarnya mewakili makna benda yang sesungguhnya. Kemampuan simbolik ini
memungkinkan anak melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hal-hal
yang telah lewat; misalnya seorang anak yang pernah melihat dokter berpraktek,
akan (dapat) bermain “dokter-dokteran”.
3)
Tahap ketiga : masa konkret
prerasional (7.0-11.0 tahun)
Pada
tahap ini anak sudah dapat melakukan berbagai macam tugas yang konkrit. Anak
mulai mengembangkan tiga macam operasi berfikir, yaitu:
a) Identifikasi : mengenali sesuatu.
b) Negasi :
mengingkari sesuatu, dan
c) Reproksi : mencari hubungan timbal balik antara beberapa
hal.
4)
Tahap keempat : masa
operasional : (11thndewasa)
Pada tahap ini anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam
pekerjaan yang merupakan hasil dari berfikir logis, mampu berfikir abstrak, dan
memecahkan persoalan yang bersifat hipotesis.
4.
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhui Karakteristik Afektif Siswa
a.
Motivasi dan kebutuhan
Dalam
menjalankan tugasnya sehari-hari, seringkali pengajar harus berhadapan dengan
siswa-siswi yang prestasi akademisnya tidak sesuai dengan harapan pengajar.
Bila hal ini terjadi dan ternyata kemampuan kognitif siswa cukup baik, pengajar
cenderung untuk mengatakan bahwa siswa tidak bermotivasi dan menganggap hal ini
sebagai kondisi yang menetap.
b. Minat
Minat
adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau
aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan
suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat
atau dekat hubungannya tersebut, semakin besar minatnya.
Mengembangkan minat terhadap sesuatu pada dasarnya
adalah membantu siswa melihat bagaimana hubungan antara materi yang diharapkan
untuk dipelajarinya dengan dirinya sendiri sebagai individu. Proses ini
menunjukan pada siswa bagaimana pengetahuan atau kecakapan tertentu
mempengaruhui dirinya, melayani tujuan-tujuannya, memuaskan kebutuhan-kebutuhannya.
c. Konsep diri
Konsep
diri adalah persepsi keseluruhan yang dimiliki seseorang mengenai dirinya
sendiri. Menurut Burns konsep diri adalah: Konsep ini merupakan suatu
kepercayaan mengenai keadaan diri sendiri yang relatif sulit di ubah. Konsep
ini tumbuh dari interaksi seseorang dengan orang-orang lain yang berpengaruh
dalam kehidupannya, biasanya orang tua, guru dan teman-teman.
Keberhasilan pengembangan ranah afektif tidak hanya menumbuhkan kecakapan
kognitif, tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah afektif. Sebagai contoh,
seorang guru agama yang piawai dalam mengembangkan kecakapan kognitif, akan
berdampak positif terhadap ranah afektif siswa. Fungsi dari afektif itu mencakup:
1)
Temprament. Pada setiap
orang, alam perasaan memiliki sifat-sifat umum tertentu. Ada orang yang pada
umumnya cenderung berperasaan sedih, dan pesimis, adapula yang biasanya
berpersaan gembira dan optimis.
2)
Perasaan, yang dimaksudkan
di sini adalah perasaan momentan dan intensional. “Momentan”yakni perasaan yang
timbul pada saat tertentu sedangkan intensional adalah reaksi perasaan
diberikan terhadap sesuatu, seseorang atau situasi tertentu.Apabila situasi
berubah, maka pearsaan berganti pula. Misalnya bila guru sedang memarahi siswa
dalam kelas, mereka merasa takut, tetapi beberapa waktu kemudian perasaan itu
hilang dan perasaan menjadi lega, apabila guru menceritakan sesuatu lelucon
untuk meringankan suasana yang sangat tegang.
3)
Sikap, orang yang bersikap
tertentu, cenderung menerima atau menolak suatu obyek berdasarkan penilaian
terhadap obyek sebagai hal yang berguna atau berharga baginya. Dengan demikian
siswa yang memandang belajar di sekolah pada umumnya, atau bidang study
tertentu, sebagai sesuatu yang bermanfaat baginya akan memiliki sikap positif,
sebaliknya sesuatu yang tidak dianggap bermanfaat akan memiliki sikap yang
negatif. Penilaian spontan melalui perasaan, berperan sebagai aspek positif
dalam pembentukan sikap.
4)
Minat, adalah sebagai
kecenderungan subyek yang menentap, untuk merasa tertarik pada bidang study
atau pokok bahasan tertentu dan merasa senang mempelajari materi. Dalam hal ini
pemahaman yang mendalam terhadap arti penting materi pelajaran agama yang
disajikan guru serta preferensi kognitif yang mementingkan aplikasi
prinsip-prinsip tadi akan meningkatkan kecakapan ranah afektif siswa.
Peningkatan kecakapan ini, antara lain berupa kesadaran beragama yang mantap.
5.
Jenis Belajar Menurut Robert M.Gagne
Pembelajaran menurut Gagne adalah seperangkat
proses yang bersifat internal bagi setiap individu sebagai hasil transformasi
rangsangan yang berasal dari persitiwa eksternal di lingkungan individu yang
bersangkutan (kondisi). Agar kondisi eksternal itu lebih bermakna
sebaiknya diorganisasikan dalam urutan persitiwa pembelajaran (metode atau perlakuan). Selain
itu, dalam usaha mengatur kondisi eksternal diperlukan berbagai rangsangan yang
dapat diterima oleh panca indra, yang dikenal dengan nama media dan sumber
belajar.
Pembelajaran menurut Gagne hendaknya mampu menimbulkan
persitiwa belajar dan proses kognitif. Peristiwa belajar (instructional events)
adalah persitiwa dengan urutan sebagai berikut : menimbulkan minat dan
memusatkan perhatian agar peserta didik siap menerima pelajaran, menyampaikan
tujuan pembelajaran agar peserta didik tahu apa yang diharapkan dala
pembelajaran itu, mengingat kembali konsep/prinsip yang telah dipelajari
sebelumnya yang merupakan prasyarat, menyampaikan materi pembelajaran,
memberikan bimbingan atau pedoman untuk belajar, membangkitkan timbulnya unjuk
kerja peserta didik, memberikan umpan balik tentang kebenaran pelaksanaan
tugas, mengukur/evaluasi belajar, dan memperkuat referensi dan transfer
belajar.
Manusia memilki beragam potensi, karakter, dan kebutuhan dalam belajar.
Karena itu banyak tipre-tipe belajar yang dilakukan manusia. Gagne mencatat ada
delapan tipe belajar :
1. Belajar isyarat (signal learning)
Menurut Gagne, ternyata tidak semua reaksi sepontan manusia terhadap
stimulus sebenarnya tidak menimbulkan respon. Dalam konteks inilah signal
learning terjadi. Contohnya yaitu seorang guru yang memberikan isyarat kepada
muridnya yang gaduh dengan bahasa tubuh tangan diangkat kemudian diturunkan.
2. Belajar stimulus respon
Belajar tipe ini memberikan respon yang tepat terhadap stimulus yang
diberikan. Reaksi yang tepat diberikan penguatan (reinforcement) sehingga
terbentuk perilaku tertentu (shaping). Contohnya yaitu seorang guru memberikan
suatu bentuk pertanyaan atau gambaran tentang sesuatu yang kemudian ditanggapi
oleh muridnya. Guru member pertanyaan kemudian murid menjawab.
3. Belajar merantaikan (chaining)
Tipe ini merupakan belajar dengan membuat gerakan-gerakan motorik sehingga
akhirnya membentuk rangkaian gerak dalam urutan tertentu. Contohnya yaitu
pengajaran tari atau senam yang dari awal membutuhkan proses-proses dan tahapan
untuk mencapai tujuannya.
4. Belajar asosiasi verbal (verbal Association)
Tipe ini merupakan belajar menghubungkan suatu kata dengan suatu obyek yang
berupa benda, orang atau kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan
yang tepat. Contohnya yaitu Membuat langkah kerja dari suatu praktek dengan
bntuan alat atau objek tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu.
5. Belajar membedakan (discrimination)
Tipe belajar ini memberikan reaksi yang berbeda–beda pada stimulus yang
mempunyai kesamaan. Contohnya yaitu seorang guru memberikan sebuah bentuk
pertanyaan dalam berupa kata-kata atau benda yang mempunyai jawaban yang
mempunyai banyak versi tetapi masih dalam satu bagian dalam jawaban yang benar.
Guru memberikan sebuah bentuk (kubus) siswa menerka ada yang bilang berbentuk
kotak, seperti kotak kardus, kubus, dsb.
6. Belajar konsep (concept learning)
Belajar mengklsifikasikan stimulus, atau menempatkan obyek-obyek dalam
kelompok tertentu yang membentuk suatu konsep. (konsep : satuan arti yang
mewakili kesamaan ciri). Contohnya yaitu memahami sebuah prosedur dalam suatu
praktek atau juga teori. Memahami prosedur praktek uji bahan sebelum praktek,
atau konsep dalam kuliah mekanika teknik.
7. Belajar dalil (rule learning)
Tipe ini meruoakan tipe belajar untuk menghasilkan aturan atau kaidah yang
terdiri dari penggabungan beberapa konsep. Hubungan antara konsep biasanya
dituangkan dalam bentuk kalimat. Contohnya yaitu seorang guru memberikan hukuman
kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas yang merupakan kewajiban siswa, dalam
hal itu hukuman diberikan supaya siswa tidak mengulangi kesalahannya.
8. Belajar memecahkan masalah (problem solving)
Tipe ini merupakan tipe belajar yang menggabungkan beberapa kaidah untuk
memecahkan masalah, sehingga terbentuk kaedah yang lebih tinggi (higher order
rule). Contohnya yaitu seorang guru memberikan kasus atau
permasalahan kepada siswa-siswanya untuk memancing otak mereka mencari jawaban
atau penyelesaian dari masalah tersebut.
Selain delapan jenis belajar, Gagne juga membuat
semacam sistematika jenis belajar. Menurutnya sistematika tersebut
mengelompokkan hasil-hasil belajar yang mempunyai ciri-ciri sama dalam satu
katagori. Kelima hal tersebut adalah :
a. Keterampilan intelektual : kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan
lingkungannya dengan menggunakan symbol huruf, angka, kata atau gambar.
b. Informasi verbal : seseorang belajar menyatakan atau
menceritakan suatu fakta atau suatu peristiwa secara lisan atau tertulis, termasuk dengan cara
menggambar.
c. Strategi kognitif : kemampuan seseorang untuk mengatur proses belajarnya
sendiri, mengingat dan berfikir.
4. Keterampilan motorik : seseorang belajar melakukan
gerakan secara teratur dalam urutan tertentu (organized motor act). Ciri
khasnya adalah otomatisme yaitu gerakan berlangsung secara teratur dan berjalan
dengan lancar dan luwes.
5. Sikap keadaan mental yang mempengaruhi seseorang untuk
melakukan pilihan-pilihan dalam bertindak.[5]
6.
Jenis Belajar Perspektif UNESCO
Menurut UNESCO belajar tidak hanya memperoleh
pengetahuan tapi juga menguasai teknik pengetahuan tersebut. Hal
tersebut berpotensi besar untuk mencetak generasi muda yang memiliki
kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi. Secara implisit, learning to know bermakna belajar sepanjang hayat (Life
long education). Asas belajar sepanjang hayat bertitik tolak atas keyakinan
bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup, baik
di dalam maupun di luar sekolah. Sehubungan dengan asas pendidikan
seumur hidup berlangsung seumur hidup, maka peranan subjek manusia untuk
mendidik dan mengembangkan diri sendiri secara wajar merupakan kewajiban
kodrati manusia
UNESCO telah mengeluarkan kategori jenis belajar yang dikenal sebagai empat
pilar dalam kegiatan belajar ( A. Suhaenah Suparno, 2000 ) :
1. Learning to know
Pada Learning to know ini terkandung makna bagaimana belajar, dalam hal ini
ada tiga aspek : apa yang dipelajari, bagaimana caranya dan siapa yang belajar.
2. Learning to do
Hal ini dikaitkan dengan dunia kerja, membantu seseorang mampu
mempersiapkan diri untuk bekerja atau mencari nafkah. Jadi dalam hal ini
menekankan perkembangan ketrampilan untuk yang berhubungan dengan dunia kerja.
3. Learning to live together
Belajar ini ditekankan seseorang/pihak yang belajar mampu hidup bersama,
dengan memahami orang lain, sejarahnya, budayanya, dan mampu berinteraksi
dengan orang lain secara harmonis.
4. Learning to be
Belajar ini ditekankan pada pengembangan potensi insani secara maksimal.
Setiap individu didorong untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri. Dengan
learning to be seseorang akan mengenal jati diri, memahami kemampuan dan
kelemahanya dengan kompetensi-kompetensinya akan membangun pribadi secara utuh.
[1]Ulfia Rahmi. 2011, Taksonomi
Tujuan Pembelajaran, Sumber:
http://tepenr06.wordpress.com/2011/09/13/taksonomi-tujuan-pembelajaran/ diunduh
pada tanggal 4 Mei 2015
[2]Rokhim, 2013, Taksonomi
Pembelajaran,
Sumber:http://www.rokhim.net/2013/04/taksonomi-pembelajaran.html diunduh pada tanggal 4 Mei 2015
[3]Hamsa, Ali, 2012, Revisi
Taksonomi Bloom.Sumber :
http://alief-hamsa.blogspot.com/2012/11/revisi-taksonomi-bloom.html diunduh
pada tanggal 4 Mei 2015.
[4] Gene E. Hall, Linda F.
Quinn, dan Donna M. Gollnick, diterjemahkan oleh Soraya Ramli, “Mengajar
dengan Senang”, (Jakarta: PT Indeks, 2008), hlm. 370-371
[5] Miarso, Yusufhadi, Menyemai
Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta:Penerbit Prenada Media,
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8771659206951728493#editor/target=post;postID=52371616049016061962004:hal245-246
Tidak ada komentar:
Posting Komentar