Sabtu, 26 September 2015

ushul fiqih : Sadd Adz-Dzariah



B. Sadd Adz-Dzariah
1.  Pengertian  Sadd Adz-Dzari’ah
             Secara bahasa dzari’ah adalah wasilah (jalan),yang menyampaikan tujuan.Yang dimaksud dengan dzari’ah disini ialah jalan untuk sampai kepada yang haram atau kepada yang halal.Maka jalan yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya haram dan jalan yang menyampaikan kepada yang halal hukumnya pun halal dan apa yang menyampaikan kita pada yang wajib maka hukumnya pun wajib.[1]
            Sedangkan,pengertian  Adz-Dzari’ah menurut Imam Asy-Syatabi adalah :
ا لتو صل بما هو مصلحة ا لى مفسد ة
Artinya: melaksanakan suatu perkerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).[2]
Menurut menurut Imam Asy-Syatabi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan dilarang yaitu :
a.       Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
b.      Kemafsadatan lebih kuat daripada kemaslahatan.
c.       Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.
2. Macam-macam Dzari’ah
            a.  Dzari’ah dari segi kualitas kemafsadatannya
                 Menurut Imam Asy-Syatabi ,dari segi ini dzari’ah terbagi dalam empat macam[3] :
1.      Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti.Misalnya menggali sumur di depan rumah orang lain pada malam hari yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut.Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.
2.      Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan,misalnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
3.      Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan.Seperti menjual senjata pada musuh,yang kemungkinan digunakan untuk membunuh.
4.      Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan,tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan .Misalnya jual beli yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan membelinya.

b.  Dzari’ah dari segi dampak yang ditimbulkan
 Menurut Ibn Qayyim, dari segi dzari’ah ini terbagi dalam empat macam[4]:
1.         Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukan yang membawa pada kerusakan akal atau mabuk dan perbuatan zina yang me,bawa pada kerusakan tata keturunan.
2.         Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah,namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak,baik dengan sengaja (seperti nikah muhalil) dan tidak sengaja (seperti mencaci sembahan agama lain).
3.         Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah ,tidak ditujukan untuk kerusakan,namun bisa sampai pada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya.Seperti berhias perempuan yang baru ditinggal mati suaminya dalam masa iddah’.
4.         Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah,namum terkadang membawa pada kerusakan,sedangkan kerusakannyanya lebih kecil dibanding kebaikannya.Misalnya halam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.
                                    Terlepas dari permasalahan mana dzari’ah yang dilarang dan mana yang dibolehkan.Namun yang sangat prinsip adalah dzari’ah digunakan karena untuk memelihara tujuan syariat hukum yang menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan bagi kehidupan manusia.[5]
3. Pandangan Ulama tentang Sadd Adz-Dzari’ah
                        Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama tentang boleh tidaknya menggunakan sadd adz-dzari’ah.Oleh karena itu ,dasar pengambilannya hanya dengan ijtihad berdasarkan tidakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang menimbulkan kerusakan.Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudarat atau baik dan buruk.
                        Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum,pada dasarnya juga menerima metode sadd adz-dzari’ah itu meskipun ,berbeda dalam kadar penerimaannya.Kalangan ulama Malikiyah yang dikenal banyak menggunakan faktor maslahat dengan sendirinya juga banyak menggunakan metode sadd adz-dzari’ah.
C. Mazhab Sahabi
            1. Pengertian Mazhab Sahabi
                                    Mazhab Sahabi berarti pendapat para sahabat Rasullullah.Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama ,baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum,sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan terhadap hukum kasus yang dihadapi sahabat tersebut.[6]
                                    Imam Ibnu Qayyim berkata dalam kitabnya’ilmu Muwafiqqin’menyatakan 43 alasan yang mewajibkan mengikuti pendapat sahabat,akhirnya beliau berkata : fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk[7] :
a.       Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi.
b.      Fatwa yang didengar dari orang yang mendengarnya dari Nabi.
c.       Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Qur’an yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita.
d.      Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
e.       Fatwa yang didasarkan pada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya,kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya.Ini adalah hujjah yang wajib diikuti.
f.       Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya,maka hal ini tidak jadi hujjah.


2.  Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
            Setalah Rasulullah wafat,tampilan para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat islam dan membentuk hukum.Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah dan telah memahami Al-Quran serta hukum-hukumnya.
Dari mereka pula lah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam.Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in telang memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa meraka.Diantara mereka ada yang mengodifikasikan nya bersama sunah-sunah Rasul,sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash.Bahkan,seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada mereka sebelum kembali kepada qiyas,kecuali kalua hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama orang islam.
            3. Kehujjahan Mazhab Sahabi
Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat islam ,sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebgaiamana berdosanya meninggalkan perintah Nabi.Pembicaraan mengenai mazhab sahabi itu menyangkut kepada bebrapa segi pembahasan yaitu:
a.    Pembahasn dari kehujjahannya terhadap sesama sahabat lain,dan kehujjahannya terhadap generasi berikutnya  atau oarang yang selain sahabat.
b.    Pembahasan dari segi bentuk mazhab sahabi,dapat dibedakan anatara kemungkinannya berasala dariijtihad dari sahabat tersebut atau melalui cara lain.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan pendapatsahabat bagi orang lainyang selain sahabat seperti tabi’in (generasi sesudah sahabat),tabi’ tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan generasi berikutnya,diantara lain:
1.      Pendapat para ulama terdiri dari ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah,Imam Syafi’i dalam satu qaul-nya,Ahmad dalam satu riwayatnya, dan al-Karakhi dari ulama Malikiyah.Mereka mengatakan bahwa pendapat sahabat yang berasal dari ijtihadnya tidaklah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya.
2.      Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari: Malik ibn Anas,al-Razi,al-Barza’i dari sahabat Abu Hanifah,al-Syafi’i dalam salah satu qaulnya(qaul qadim),dan ahmad dalam salah satu riwayatnya.Mereka berpendapat bahwapendapat sahabat itu menjadi hujjah secara mutlak.
3.      Pendapat kalangan ulama yang tidak bersikap secara  mutlak (pasti) dalam menerima atau menolak pendapat sahabat.Disini berarti meberima dalam bentuk tertentu dan menolak yang lain-lainnya.


[1] Prof.H.A.Djazuli,Ilmu Fiqih, Jakarta:Kencana Grup,hlm 98
[2] Prof.DR.Rachmat Syafe’i,MA, Ilmu Ushul Fiqih ,Bandung:Pustaka Setia,hlm 132
[3] Ibid ,hlm 133
[4] Prof.DR.H.Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih,Jakarta:Kencana Grup,hlm 427-428
[5] Drs.Safiudin Shidik,M.Ag, Ushul Fiqih,Jakarta:Intimedia.hlm 78
[6] Prof.DR.H.Nasrun Haroen,M.A ,Ushul Fiqih I, Jakarta:Logos Wacana,hlm 155
[7] Prof.H.A.Djazuli,Ilmu Fiqih, Jakarta:Kencana Grup,hlm 97-98

belajar dan pembelajaran : Taksonomi Pembelajaran



BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pengertian Taksonomi Pembelajaran
Kata taksonomi diambil dari bahasa Yunani yaitu “tassein” yang berarti untuk mengklasifikasi dan “nomos” yang berarti aturan. Taksonomi dapat diartikan sebagai klasifikasi berhirarki dari sesuatu, atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Semua hal yang bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian, sampai pada kemampuan berfikir dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi.

Taksonomi di dasarkan pada asumsi, bahwa program pendidikan dapat di pandang sebagai suatu usaha mengubah tingkah laku siswa dengan menggunakan beberapa mata pelajaran. Bila kita uraikan tingkah laku dan mata pelajaran, kita membuat suatu tujuan pendidikan . Sebagai contoh: siswa akan dapat mengingat kembali tokoh-tokoh sejarah Islam. Siswa dapat mengenal kembali bentuk dan pola di dalam karya-karya sejarah Islam. Hal ini sesuai dengan pendapat Bunyamin S. Bloom yaitu:
2.    Taksonomi Belajar Menurut Bloom
Proses belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah, menghasilkan tiga pembentukan kemampuan yang dikenal sebagai taksonomi Bloom, yaitu kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.[1]





a.       Ranah Kognitif[2]
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak), Bunyamin S. Bloom menggolongkan tingkatan pada ranah kognitif dari pengetahuan sederhana atau penyadaran terhadap fakta-fakta sebagai tingkatan yang paling rendah kepenilaian (evaluasi) yang lebih kompleks dan abstrak sebagai tingkatan yang paling tinggi.
Dalam konteks pendidikan, Bloom mengungkapkan tiga kawasan (domain) perilaku individu beserta sub kawasan dari masing-masing kawasan, yakni :
1.      Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian:
a.       Bagian pertama berupa  Pengetahuan:
 Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb. Sebagai contoh, ketika diminta menjelaskan manajemen kualitas, orang yg berada di level ini bisa menguraikan dengan baik definisi dari kualitas, karakteristik produk yang berkualitas, standar kualitas minimum untuk produk.
b.      Bagian kedua berupa Kemampuan dan bagian Keterampilan Intelektual
1)    Pemahaman (comprehension)
Pada tahap ini seseorang sudah memahami sesuatu seperti sebuah gambaran, diagram, grafik, laporan, peraturan dan lain- lain. Misalkan ketika melihat grafik statistik penyakit phobia di Indonesia seseorang sudah bisa menterjemahkan kepada pemahamannya.
2)    Aplikasi (Application)
Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, ketika diberi informasi tentang penyebab meningkatnya reject di produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish bone diagram.
3)    Analisis (Analysis)
Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit. Sebagai contoh, di level ini seseorang akan mampu memilah-milah penyebab meningkatnya reject, membanding-bandingkan tingkat keparahan dari setiap penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab ke dalam tingkat keparahan yg ditimbulkan.
4)    Sintesis (Synthesis)
Satu tingkat di atas analisis, seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas produk.
5)    Evaluasi (Evaluation)
Dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dsb dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yang sesuai untuk dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat, nilai ekonomis, dsb.

b.      Ranah Afektif
Taksonomi untuk daerah afektif mula-mula dikembangkan oleh David R. Krathwolhl dan kawan kawan (1974) dalam buku yang berjudul Taxonomi of Educational Objective : Afective Domain. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai.Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang memiliki kognitif tingkat tinggi.
Ciri-ciri belajar afektif akan nampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku: seperti perhatiannya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam. Kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan Agama Islam dan lain sebagainya. Ranah afektif ini oleh Krathwolhl dan kawan-kawan di taksonomi menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang yaitu:
1)   Reciving atau Attending (menerima atau memperhatikan) adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain.
2)   Responding (menanggapi) mengandung arti adanya partisipasi aktif. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara.
3)   Valuing (menilai atau menghargai).Menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek. Sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasa akan membawa kerugian atau penyesalan. Dalam kaitan proses belajar mengajar, peserta didik di sini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan, tetapi mereka telah berkemampuan menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Nilai itu telah mulai dicamkan (interralized) dalam dirinya.
4)   Organization (mengatur atau mengorganisasikan) artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan nilai ke dalam suatu sistem organisasi termasuk di dalamnya hubungan dengan satu nilai dengan nilai lain. Pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.
5)   Characterization by a Value or Value Complex (karakterisasi dengan satu nilai) yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalam suatu hierarkhi nilai. Nilai telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkatan afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana, ia telah memiliki philosophy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk satu waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik “pola hidup”.Tingkah lakunya menetap konsisten dan dapat diramalkan.

c.       Ranah psikomotor[3]
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan ketrampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman tertentu .Anita Harrow mengelolah taksonomi ranah psikomotor menurut derajat koordinasi yang meliputi koordinasi ketidaksengajaan dan kemampuan dilatihkan.taksonomi ini dimulai dari gerak refleks yang sederhana pada tingkatan rendah ke gerakan saraf otot yang lebih kompleks pada tingkatan tertinggi.
a.    Gerakan refleks, merupakan tindakan yang ditunjukan tanpa belajar dalam menanggapi stimulus.
b.    Gerakan dasar, merupakan pola gerakan yang diwarisi yang terbentuk berdasarkan campuran gerakan refleks dan gerakan yang lebih kompleks.
c.    Gerakan tanggap, merupakan penafsiran terhadap segala rangsang yang membuat seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Hasil belajarnya berupa kewaspadaan berdasarkan perhitungan dan kecermatan.
d.   Kegiatan fisik, merupakan kegiatan yang memerlukan kekuatan otot, kekuatan mental, ketahanan, kecerdasan, kegesitan dan kekuatan suara.
e.    Komunikasi tidak berwacana, merupakan komunikasi melalui gerakan tubuh. Gerakan tubuh ini merentang dari ekspresi mimik muka sampai dengan gerakan koreografi yang rumit.
Taksonomi telah diciptakan untuk membantu para guru dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan untuk berbagai tujuan. System Gallagher-Aschner untuk menganalisa dan mengendalikan perilaku soal jawab kelas memilki empat kategori pertanyaan [4]:
1)   Memori kognitif
2)   Konvergen
3)   Divergen
4)   Evaluatif
Taksonomi pertanyaan Norris Sanders memiliki tujuh tingkatan :
1)   Memori
2)   Penerjemahan
3)   Interpretasi
4)   Penerapan
5)   Analisa
6)   Sintesa
7)   Evaluasi
Tujan-tujuan taksonomi pendidikan dari Benjamin Bloom (1956) mungkin yang paling bnayak digunakan, karena memberikan kerangka kerja bagi penggolongan pertanyaan bagi jenis-jenis yang mendapatkan keahlian berpikir tingkatan yang lebih rendah dan jenis-jenis yang membutuhkan keahlian berpikir tingkatan yang lebih tinggi. Enam tingkatan soal jawab yang diperkenalkan oleh Bloom adalah ilmu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi.
Kemampuan yang dimiliki siswa di bidang psikomotorik, juga merupakan bagian dari keadaan awal di pihak siswa, yang dapat menghambat atau membantu  di semua proses belajar-mengajar atau paling sedikit dalam proses belajar mengajar yang harus menghasilkan ketrampilan motorik. Kemampuan-kemampuannya yang dimaksud, antara lain adalah kecakapan menulis, kecakapan berbicara dan artikulasi kata-kata; menggunakan alat-alat menggunting, memotong, membuat garis dan lingkaran serta menggambar. Diantara kemampuan itu, ada yang dibutuhkan dalam proses belajar tertentu, seperti koordinasi gerak-gerik dalam pelajaran ketrampilan dan pendidikan jasmani.
Belajar psikomotor, ciri khasnya terletak dalam belajar menghadapi dan mengenali obyek-obyek secara fisik, termasuk kejasmanian manusia sendiri. Misalnya, menggerakkan anggota-anggota badan sambil naik tangga atau berenang, memegang alat sambil menulis atau melukis, memberikan makan kepada dirinya sendiri sambil mengambil bahan makanan dan memindahkan ke mulut dengan mempergunakan alat-alat makan dan lain sebagainya.Dengan penjelasan tersebut, berlangsung suatu penanganan atau operasi secara fisik bukan hanya operasi secara mental, sebagaimana terjadi bila berfikir. Dalam belajar ini, baik aktivitas mengamati melalui alat-alat indra (sensorik) maupun bergerak dan menggerakkan (motorik) mempunyai peranan penting.
Keberhasilan pengembangan ranah kognitif juga akan berdampak positif terhadap perkembangan ranah psikomotor. Kecakapan psikomotor ialah segala amal jasmaniah yang konkrit dan mudah diamati baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang terbuka. Namun, disamping kecakapan psikomotor tidak terlepas dari kecakapan kognitif ia juga banyak terikat oleh kecakapan afektif. Jadi kecakapan psikomotor siswa merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mentalnya
Banyak contoh yang membuktikan bahwa kecakapan kognitif berpengaruh besar terhadap berkembangnya kecakapan psikomotor. Para siswa yang berprestasi baik (dalam arti yang luas dan ideal) dalam bidang pelajaran agama misalnya siswa akan lebih rajin beribadah sholat, puasa dan mengaji. Siswa juga tidak akan segan-segan memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan. Sebab, ia merasa memberi pertolongan adalah kebajikan (afektif), sedangkan perasaan yang berkaitan dengan kebajikan tersebut berasal dari pemahaman yang mendalam terhadap materi pelajaran agama yang ia terima dari gurunya (kognitif).
Gerakan-gerakan psikomotor siswa akan terus meningkat keanekaragaman, keseimbangan dan kekuatannya ketika ia menduduki tingkat SMP dan SMA. Namun, peningkatan kualitas bawaan siswa ini justru membawa konsekuensi tersendiri, yakni perlunya pengadaan guru yang lebih piawai dan terampil. Kepiawaian guru dalam hal ini bukan hanya menyangkut cara melatih ketrampilan para siswa, melainkan juga kepawaian yang berhubungan dengan penyampaian ilmu tentang mengapa dan bagaimana ketrampilan tersebut dilakukan.

3.    Faktor-Faktor Mempengaruhi Karakteristik Kognitif Siswa.
a.       Persepsi
Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya.Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, perasa dan pencium.


b.      Perhatian
Perhatian adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan pemilihan rasangan yang datang dari lingkungannya. Jika seseorang sedang berjalan di jalan besar, ia sadar akan adanya lalu lintas disekelilingnya, akan kendaraan-kendaraan dan orang-orang yang lewat, akan toko-toko yang ada di tepi jalan. Dalam keadaan seperti ini kita tidak mengatakan bahwa ia menaruh perhatiannnya tertarik akan hal-hal yang disekelilingnya. Tetapi jika kita melihat ia bertemu dengan seseorang yang dikenalnya dan kemudian bercakap-cakap denganya, maka kita dapat mengatakan bahwa seorang tersebut dalam keadaan memperhatikan.
c.       Mendengarkan
Mendengar adalah respons yang terjadi karena adanya rasangan gelombang suara.Peristiwa mendengar adalah sepenuhnya peristiwa jasmaniah. Diterimanya gelombang suara oleh indra pendengar tidak berarti adanya persepsi sadar akan apa yang didengar. Karena kenyataan inilah maka kita sering mendengar orang mengatakan siswa itu mendengar pelajaran yang kita sampaikan tetapi mereka tidak mengerti pelajaran yang kita sampaikan.Untuk mendengarkan, siswa harus mendengar, tetapi untuk mendengar orang tidak perlu mendengarkan.Mendengarkan tergantung pada perhatian.
d.      Ingatan
Ingatan adalah penarikan kembali informasi yang pernah diperoleh sebelumnya. Informasi yang diterima dapat disimpan untuk :beberapa saat saja dan beberapa waktu.
Belajar kognitif. Ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan menggunakan tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan suatu yang bersifat mental.semakin banyak pikiran dan gagasan dimiliki siswa, semakin kaya dan luas alam pikiran kognitif siswa. Di samping itu semakin besar kemampuan berbahasa untuk mengungkapkan gagasan dan pikiran, semakin meningkat kemahiran untuk menggunakan kemampuan kognitif secara efektif dan efisien.Kemampuan berbahasa harus dikembangkan melalui belajar.
Dua macam kecakapan kognitif siswa yang amat perlu dikembangkan segera khususnya oleh guru, yakni :
a.       Strategi belajar memahami isi materi pelajaran
b.      Strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.
Perkembangan kognitif seseorang menurut Piaget mengikuti tahap-tahap sebagai berikut :
1)        Tahap pertama: masa sensi motor (0.0-2.5 tahun)
Masa ketika bayi mempergunakan sistem pengindraan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya. Bayi memberikan reaksi motorik atas rangsangan-rangsangan yang diterimanya dalam bentuk refleks: misalnya refleks mencari puting susu ibu, refleks menangis, dan lain-lain). Refleks-refleks ini kemudian berkembang lagi menjadi gerakan-gerakan lebih canggih, misalnya berjalan.
2)        Tahap kedua : masa pra operasional (2.0-7.0 tahun).
Ciri khas masa ini adalah kemampuan anak menggunakan simbol yang mewakili sesuatu konsep. Misalnya kata “ pisau plastik”. Kata “pisau” atau tulisan “pisau” sebenarnya mewakili makna benda yang sesungguhnya. Kemampuan simbolik ini memungkinkan anak melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hal-hal yang telah lewat; misalnya seorang anak yang pernah melihat dokter berpraktek, akan (dapat) bermain “dokter-dokteran”.
3)   Tahap ketiga : masa konkret prerasional (7.0-11.0 tahun)
Pada tahap ini anak sudah dapat melakukan berbagai macam tugas yang konkrit. Anak mulai mengembangkan tiga macam operasi berfikir, yaitu:
a)      Identifikasi  :  mengenali sesuatu.
b)      Negasi          :  mengingkari sesuatu, dan
c)      Reproksi       :  mencari hubungan timbal balik antara beberapa hal.

4)   Tahap keempat : masa operasional : (11thndewasa)
Pada tahap ini anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaan yang merupakan hasil dari berfikir logis, mampu berfikir abstrak, dan memecahkan persoalan yang bersifat hipotesis.
4.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhui Karakteristik Afektif Siswa

a.    Motivasi dan kebutuhan
Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, seringkali pengajar harus berhadapan dengan siswa-siswi yang prestasi akademisnya tidak sesuai dengan harapan pengajar. Bila hal ini terjadi dan ternyata kemampuan kognitif siswa cukup baik, pengajar cenderung untuk mengatakan bahwa siswa tidak bermotivasi dan menganggap hal ini sebagai kondisi yang menetap.
b.  Minat
Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungannya tersebut, semakin besar minatnya.
Mengembangkan minat terhadap sesuatu pada dasarnya adalah membantu siswa melihat bagaimana hubungan antara materi yang diharapkan untuk dipelajarinya dengan dirinya sendiri sebagai individu. Proses ini menunjukan pada siswa bagaimana pengetahuan atau kecakapan tertentu mempengaruhui dirinya, melayani tujuan-tujuannya, memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. 
c. Konsep diri 
Konsep diri adalah persepsi keseluruhan yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri. Menurut Burns konsep diri adalah: Konsep ini merupakan suatu kepercayaan mengenai keadaan diri sendiri yang relatif sulit di ubah. Konsep ini tumbuh dari interaksi seseorang dengan orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya, biasanya orang tua, guru dan teman-teman.

Keberhasilan pengembangan ranah afektif tidak hanya menumbuhkan kecakapan kognitif, tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah afektif. Sebagai contoh, seorang guru agama yang piawai dalam mengembangkan kecakapan kognitif, akan berdampak positif terhadap ranah afektif siswa. Fungsi dari afektif itu mencakup:
1)   Temprament. Pada setiap orang, alam perasaan memiliki sifat-sifat umum tertentu. Ada orang yang pada umumnya cenderung berperasaan sedih, dan pesimis, adapula yang biasanya berpersaan gembira dan optimis.
2)   Perasaan, yang dimaksudkan di sini adalah perasaan momentan dan intensional. “Momentan”yakni perasaan yang timbul pada saat tertentu sedangkan intensional adalah reaksi perasaan diberikan terhadap sesuatu, seseorang atau situasi tertentu.Apabila situasi berubah, maka pearsaan berganti pula. Misalnya bila guru sedang memarahi siswa dalam kelas, mereka merasa takut, tetapi beberapa waktu kemudian perasaan itu hilang dan perasaan menjadi lega, apabila guru menceritakan sesuatu lelucon untuk meringankan suasana yang sangat tegang.
3)   Sikap, orang yang bersikap tertentu, cenderung menerima atau menolak suatu obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek sebagai hal yang berguna atau berharga baginya. Dengan demikian siswa yang memandang belajar di sekolah pada umumnya, atau bidang study tertentu, sebagai sesuatu yang bermanfaat baginya akan memiliki sikap positif, sebaliknya sesuatu yang tidak dianggap bermanfaat akan memiliki sikap yang negatif. Penilaian spontan melalui perasaan, berperan sebagai aspek positif dalam pembentukan sikap.
4)   Minat, adalah sebagai kecenderungan subyek yang menentap, untuk merasa tertarik pada bidang study atau pokok bahasan tertentu dan merasa senang mempelajari materi. Dalam hal ini pemahaman yang mendalam terhadap arti penting materi pelajaran agama yang disajikan guru serta preferensi kognitif yang mementingkan aplikasi prinsip-prinsip tadi akan meningkatkan kecakapan ranah afektif siswa. Peningkatan kecakapan ini, antara lain berupa kesadaran beragama yang mantap.


5.      Jenis Belajar Menurut Robert M.Gagne
Pembelajaran menurut Gagne adalah seperangkat proses yang bersifat internal bagi setiap individu sebagai hasil transformasi rangsangan yang berasal dari persitiwa eksternal di lingkungan individu yang bersangkutan (kondisi).  Agar kondisi eksternal itu lebih bermakna sebaiknya diorganisasikan dalam urutan persitiwa pembelajaran (metode atau perlakuan).  Selain itu, dalam usaha mengatur kondisi eksternal diperlukan berbagai rangsangan yang dapat diterima oleh panca indra, yang dikenal dengan nama media dan sumber belajar.
Pembelajaran menurut Gagne hendaknya mampu menimbulkan persitiwa belajar dan proses kognitif. Peristiwa belajar (instructional events) adalah persitiwa dengan urutan sebagai berikut : menimbulkan minat dan memusatkan perhatian agar peserta didik siap menerima pelajaran, menyampaikan tujuan pembelajaran agar peserta didik tahu apa yang diharapkan dala pembelajaran itu, mengingat kembali konsep/prinsip yang telah dipelajari sebelumnya yang merupakan prasyarat, menyampaikan materi pembelajaran, memberikan bimbingan atau pedoman untuk belajar, membangkitkan timbulnya unjuk kerja peserta didik, memberikan umpan balik tentang kebenaran pelaksanaan tugas, mengukur/evaluasi belajar, dan memperkuat referensi dan transfer belajar.
Manusia memilki beragam potensi, karakter, dan kebutuhan dalam belajar. Karena itu banyak tipre-tipe belajar yang dilakukan manusia. Gagne mencatat ada delapan tipe belajar :
1.      Belajar isyarat (signal learning)
Menurut Gagne, ternyata tidak semua reaksi sepontan manusia terhadap stimulus sebenarnya tidak menimbulkan respon. Dalam konteks inilah signal learning terjadi. Contohnya yaitu seorang guru yang memberikan isyarat kepada muridnya yang gaduh dengan bahasa tubuh tangan diangkat kemudian diturunkan.
2.      Belajar stimulus respon
Belajar tipe ini memberikan respon yang tepat terhadap stimulus yang diberikan. Reaksi yang tepat diberikan penguatan (reinforcement) sehingga terbentuk perilaku tertentu (shaping). Contohnya yaitu seorang guru memberikan suatu bentuk pertanyaan atau gambaran tentang sesuatu yang kemudian ditanggapi oleh muridnya. Guru member pertanyaan kemudian murid menjawab.
3.      Belajar merantaikan (chaining)
Tipe ini merupakan belajar dengan membuat gerakan-gerakan motorik sehingga akhirnya membentuk rangkaian gerak dalam urutan tertentu. Contohnya yaitu pengajaran tari atau senam yang dari awal membutuhkan proses-proses dan tahapan untuk mencapai tujuannya.
4.      Belajar asosiasi verbal (verbal Association)
Tipe ini merupakan belajar menghubungkan suatu kata dengan suatu obyek yang berupa benda, orang atau kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang tepat. Contohnya yaitu Membuat langkah kerja dari suatu praktek dengan bntuan alat atau objek tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu.
5.      Belajar membedakan (discrimination)
Tipe belajar ini memberikan reaksi yang berbeda–beda pada stimulus yang mempunyai kesamaan. Contohnya yaitu seorang guru memberikan sebuah bentuk pertanyaan dalam berupa kata-kata atau benda yang mempunyai jawaban yang mempunyai banyak versi tetapi masih dalam satu bagian dalam jawaban yang benar. Guru memberikan sebuah bentuk (kubus) siswa menerka ada yang bilang berbentuk kotak, seperti kotak kardus, kubus, dsb.
6.      Belajar konsep (concept learning)
Belajar mengklsifikasikan stimulus, atau menempatkan obyek-obyek dalam kelompok tertentu yang membentuk suatu konsep. (konsep : satuan arti yang mewakili kesamaan ciri). Contohnya yaitu memahami sebuah prosedur dalam suatu praktek atau juga teori. Memahami prosedur praktek uji bahan sebelum praktek, atau konsep dalam kuliah mekanika teknik.
7.      Belajar dalil (rule learning)
Tipe ini meruoakan tipe belajar untuk menghasilkan aturan atau kaidah yang terdiri dari penggabungan beberapa konsep. Hubungan antara konsep biasanya dituangkan dalam bentuk kalimat. Contohnya yaitu seorang guru memberikan hukuman kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas yang merupakan kewajiban siswa, dalam hal itu hukuman diberikan supaya siswa tidak mengulangi kesalahannya.
8.      Belajar memecahkan masalah (problem solving)
Tipe ini merupakan tipe belajar yang menggabungkan beberapa kaidah untuk memecahkan masalah, sehingga terbentuk kaedah yang lebih tinggi (higher order rule). Contohnya  yaitu seorang guru memberikan kasus atau permasalahan kepada siswa-siswanya untuk memancing otak mereka mencari jawaban atau penyelesaian dari masalah tersebut.
Selain delapan jenis belajar, Gagne juga membuat semacam sistematika jenis belajar. Menurutnya sistematika tersebut mengelompokkan hasil-hasil belajar yang mempunyai ciri-ciri sama dalam satu katagori. Kelima hal tersebut adalah :
a.  Keterampilan intelektual : kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungannya dengan menggunakan symbol huruf, angka, kata atau gambar.
b.     Informasi verbal : seseorang belajar menyatakan atau menceritakan suatu fakta atau suatu peristiwa secara lisan atau tertulis, termasuk dengan cara menggambar.
c.  Strategi kognitif : kemampuan seseorang untuk mengatur proses belajarnya sendiri, mengingat dan berfikir.
4.      Keterampilan motorik : seseorang belajar melakukan gerakan secara teratur dalam urutan tertentu (organized motor act). Ciri khasnya adalah otomatisme yaitu gerakan berlangsung secara teratur dan berjalan dengan lancar dan luwes.
5.      Sikap keadaan mental yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan pilihan-pilihan dalam bertindak.[5]



6.        Jenis Belajar Perspektif UNESCO
Menurut UNESCO belajar tidak hanya memperoleh pengetahuan tapi juga menguasai teknik pengetahuan tersebut. Hal tersebut berpotensi besar untuk mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi. Secara implisit, learning to know bermakna belajar sepanjang hayat (Life long education). Asas belajar sepanjang hayat bertitik tolak atas keyakinan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup, baik di dalam maupun di luar sekolah. Sehubungan dengan asas pendidikan seumur hidup berlangsung seumur hidup, maka peranan subjek manusia untuk mendidik dan mengembangkan diri sendiri secara wajar merupakan kewajiban kodrati manusia
UNESCO telah mengeluarkan kategori jenis belajar yang dikenal sebagai empat pilar dalam kegiatan belajar ( A. Suhaenah Suparno, 2000 ) :
1.      Learning to know
Pada Learning to know ini terkandung makna bagaimana belajar, dalam hal ini ada tiga aspek : apa yang dipelajari, bagaimana caranya dan siapa yang belajar.
2.      Learning to do
Hal ini dikaitkan dengan dunia kerja, membantu seseorang mampu mempersiapkan diri untuk bekerja atau mencari nafkah. Jadi dalam hal ini menekankan perkembangan ketrampilan untuk yang berhubungan dengan dunia kerja.
3.      Learning to live together
Belajar ini ditekankan seseorang/pihak yang belajar mampu hidup bersama, dengan memahami orang lain, sejarahnya, budayanya, dan mampu berinteraksi dengan orang lain secara harmonis.
4.      Learning to be
Belajar ini ditekankan pada pengembangan potensi insani secara maksimal. Setiap individu didorong untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri. Dengan learning to be seseorang akan mengenal jati diri, memahami kemampuan dan kelemahanya dengan kompetensi-kompetensinya akan membangun pribadi secara utuh.




[1]Ulfia Rahmi. 2011, Taksonomi Tujuan Pembelajaran, Sumber: http://tepenr06.wordpress.com/2011/09/13/taksonomi-tujuan-pembelajaran/ diunduh pada tanggal 4 Mei 2015

[2]Rokhim, 2013, Taksonomi Pembelajaran, Sumber:http://www.rokhim.net/2013/04/taksonomi-pembelajaran.html  diunduh pada tanggal  4 Mei 2015

[3]Hamsa, Ali, 2012, Revisi Taksonomi Bloom.Sumber : http://alief-hamsa.blogspot.com/2012/11/revisi-taksonomi-bloom.html diunduh pada tanggal  4 Mei 2015.

[4] Gene E. Hall, Linda F. Quinn, dan Donna M. Gollnick, diterjemahkan oleh Soraya Ramli, “Mengajar dengan Senang”, (Jakarta: PT Indeks, 2008), hlm. 370-371
[5] Miarso, Yusufhadi, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta:Penerbit Prenada Media, https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8771659206951728493#editor/target=post;postID=52371616049016061962004:hal245-246