PERBANDINGAN MAZHAB
(Memahami Pokok-Pokok Pikiran dan Metode Istinbath
Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perbandingan Mazhab
Dosen Pengampu: Aminudin
Yakub, MA
DisusunOleh :
Trisna Hargi Ramadianti 11140110000069
Afwan Malik Al Mumtaz 11140110000082
Ahmad Fairuz 111401100000
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi salah satu persyaratan mata kuliah Penelitian
Tindakan Kelas. Dengan judul “Memahami Pokok-Pokok Pikiran dan Metode
Istinbath Imam Abu Hanifah dan Imam Malik”
Dalam menulis makalah ini penulis
banyak mendapatkan kesulitan-kesulitan. Namunatas usaha dan doa kesulitan dapat
diatasi. Dengan selesainya
makalah ini penulis mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Aminudin Yakub, MA
selaku dosen matakuliah Perbandingan
Mazhab dan teman-teman angakatan yang telah
memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Akhirnya
penulis berharap, semoga makalah ini ada manfaatnya terutama bagi pengembangan
wawasan penulis dan
semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah-Nya Amin.
Tangerang,
20 Maret 2017
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang...............................................................................................................1
B.
Rumusan Masalah..........................................................................................................1
C.
Tujuan
...........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Sejarah Lahir dan
Berkembangnya Mazhab Hanafi...................................................2-4
B.
Pokok-Pokok Pikiran
dan Metode Istinbath Imam Abu Hanifah..............................4-6
C.
Sejarah Lahir dan
Berkembangnya Mazhab Maliki...................................................6-8
D.
Pokok-Pokok Pikiran
dan Metode Istinbath Imam Malik........................................8-13
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.............................................................................................................14-15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Belakangan
ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling
tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu
dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang
tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat
agama yang sedang mengalami modernisasi. perkembangan fiqih secara
sungguh-sungguh telah melahirkan pemikiran Islam bagi karakterisitik
perkembangan Islam itu sendiri.
Sudah
di maklumi bahwa ilmu fiqh adalah bagian dari ilmu syari’at, karena syari’at
ialah ketepatan-ketepatn Allah SWT yang diberikan kepada Rasulullah mengenai
tiga aspek yaitu akhlak, akidah dan fiqh. Dalam ilmu fiqh, ternyata para ahli
hukum Islam berbeda-beda pendapatnya, sehingga dalam ilmu fiqh terdapat
bermacam-macam mazhab.
Kehadiran
fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara amat dominan
abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa
ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan
fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan
kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Pada
makalah ini, akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan
sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih,dikhusus pada dua mazhab yaitu Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki Hambali serta beberapa hal
lain yang berhubungan dengan mazhab tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah
Lahir dan Berkembangnya Mazhab Hanafi dan Mazhan Maliki?
2.
Apa saja yang
menjadi Pokok-Pokok Pikiran dan Metode Istinbath Imam Abu Hanifah maupun Imam
Malik?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui macam-macam madzhab
2. Untuk mengetahui pendiri dari madzhab Hanafi dan
Maliki
3. Untuk mengetahui metode dalam menetapkan hukum menurut
madzhab Hanafi dan Maliki
4. Untuk mengetahui macam-macam kitab dari madzhab Hanafi
dan Maliki
1
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Lahir dan
Berkembangnya Mazhab Hanafi
1.
Biografi Imam Abu Hanifah
Imam Abu HAnifah, pendiri mazhab Hanafi,
adalah abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih
memiliki pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra.
Imam Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi
keturunannya. Tak heran, jika kemudian dari keturunan Tsabit ini muncul seorang
ulama besar seperti Abu Hanifah.[1]
Dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H/699
M, pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik, Abu Hanifah selanjutnya
menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih
kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur’an. Selain
memperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqh. Dalam hal
ini kalangan sahabat Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin
Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka, beliau juga
mendalami ilmu hadits. [2]
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah
dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud,
sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau
tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah
menolak tawaran sebagai hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur.
Konon, karena penolakannya itu beliau kemudian dipenjarakan hingga akhir
hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150
H/767 M, pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan di pekuburan Khizra. Pada tahun
450 h/1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya
tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-murid
Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarrak, Waki’ bin
Jarah Ibn Hasan Al-Syiabani, dan lain-lain. Sedang di antara kitab-kitab Imam
Abu Hainifah adalah: Al-Musuan (kitab hadits, dikumpulkan oleh
3
muridnya), Al-Makharij (buku ini
dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf), dan fiqh
Akbar (kitab fiqh yang lengkap).[3]
2.
Permulaan tersyiarnya Mazhab Hanafi[4]
Sepanjang riwayat, para sahabat Imam Hanafi yang membukukan mazhab beliau
ada 40 orang diantara mereka adalah Imam Abu Yusuf dan Imam Zafar.Permulaan
orang yang menulis kitabnya adalah Asad bin Amr.
Kemudian pada masa Harun Arrasyid menjabat selaku khalifah bagi dunia
Islam, beliau menyerahkan urusan kehakiman bagi pemerintahannya kepada Imam Abu
Yusuf, bekas murid Imam Hanafi yang terkenal, sesudah tahun 170 H. Dengan
demikian, maka segenap urusan kehakiman dalam kekhalifahan Ar Rasyid ada
ditangan kekuasaannya.Oleh sebab itu, beliau tidak asal menyerahkan urusan
kehakiman yang resmi disetiap kota (Irak,Khurasan,Yaman) sampai ke batas
Afrika, melainkan kepada orang yang ditunjuk.Beliau tidak menyerahkan jabatan
itu, melainkan kepada sahabatnya yang sependirian dengan mazhabnya (mazhab
Hanafi).
Berdasarkan tindakan Imam Abu Yusuf tersebut, maka segenap Qadhi dan Hakim
di daerah dan kota kala itu umumnya terdiri dari ulama-ulama yang bermazhab
Hanafi.Dengan demikian, banyak orang yang gemar memperlajari kitab-kitab yang
beraliran Mazhab Hanafi, karena ingin mendapatkan kedudukan pangkat.
3.
Sistematika sumber hukum mazhab Hanafi
Abu Bakar Muhammad Ali Thaib Al-Baghdadi
dalam kitabnya, Al-Baghdadi menjelaskan bahwa dasar-dasar
pemikiran fiqih Abu Hanifah sebagai berikut: “aku (Abu Hanifah) mengambil kitab
Allah. Bila tidak ditemukan didalamnya, aku ambil dari sunnah Rasul, jika aku
tidak menemukan pada kitab dan sunnahnya, aku ambil pendapat-pendapat sahabat.
Aku ambil perkataan yang aku kehendaki dan aku tinggalkan pendapat-pendapat
yang tidak aku kehendaki. Dan aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada
pendapat orang lain selain mereka. Adapun apabila telah sampai urusan itu atau
telah datang kepada Ibrahim, As-Syaibani, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Atha, Sa’id,
dan abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi mereka orang-orang yang telah
berijtihad”.[5]
4
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan
bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi adalah:
a) Kitab Allah (al-Quran)
b) Sunnah Rasulullah yang sahih serta telah
mahsyur diantara para ulama yang ahlu.
c)
Fatwa-fatwa dari sahabat.
d) Al-Qiyas
e) Al-Istihsan
4.
Pola pikir yang
mempengaruhi Imam Hanafi
Secara geografis Imam Hanafi lahir di
Kuffah (Iraq) yang penduduknya merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal
kebudayaan dan peradaban. Fuqaha daerah ini sering dihadapkan pada persoalan
hidup yang beragam. Untuk mengatasinya, mereka terpaksa memakai ijtihad dan
akal. Keadaan ini berbeda dengan hijaz. Masyarakat daerah ini masih dalam
suasana kehidupan sederhana seperti keadaan pada masa Nabi. Untuk mengatasinya,
para fuqahah hijaz cukup mengandalkan al-Quran, Sunnah, dan Ijma’ para sahabat.
Oleh karena itu mereka tidak merasa perlu untuk berijtihad seperti fuqaha Iraq.
Sebaliknya Imam Abu Hanifah menghadapi
persoalan kemasyarakatan di Iraq, yaitu daerah yang sarat dengan budaya dan
peradaban, tetapi jauh dari pusat informasi hadist Nabi. Jadi “terpaksa” atau
“selalu” menggunakan akal atau rasionya.
Dapat penulis simpulkan bahwasannya imam
hanafi dalam memutuskan hukum lebih dominan menggunakan ijtihad dan akal yang
berbeda dengan Imam-Imam Ahlul Hadis, yang adakalanya tidak menerima ijtihad.
Inidikarnakan masyarakat di iraq telah mengenal kemajuan peradaban dan jauh
dari jauh kota sumber hadis.
B.
Pokok-Pokok Pikiran
dan Metode Istinbath Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah memang belum menjelaskan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad
secara terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah
tercermin dalam pernyataannya, “Saya kembalikan segala persoalan kepada
Kitabullah, apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah, saya
merujuk pada Sunnah Nabi dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dari
Kitabullah dan Sunnah Nabi, maka saya akan mengambil pendapat dari Sahabat Nabi
dan
5
tidak
beralih fatwa dari mereka.Apabila masalahnya sudah sampai kepada Ibrahim,
Sya’bi, Hasan, Ibnu Sirin, Atha’ dan Sa’id bin Musayyib (semuanya tabi’in),
maka saya berhak pula berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”[7]
Metode yang digunakan Abu Hanifah dalam menetapkan hukum (istinbath)
berdasarkan pada tujuh hal pokok:
1.
Al-Qur’an
sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2.
Sunah Rasul
sebagai penjelasan terhadap hal-hal global yang ada dalam
al-Qur’an.
3.
Fatwa
sahabat (aqwal al-sahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya
ayat dan mengetahui asbab al-nuzul al-Qur’an serta asbab alwurud hadis
dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabi‘in tidak memiliki
kedudukan sebagaimana fatwa sahabat.
4.
Kias
(analogi) yang digunakan apabila tidak ada nas sarih dalam al-Qur’an, hadis
maupun aqwal al-ashabah.
5.
Istihsan
yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum
lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya kias atau kias
tersebut berlawanan dengan nas.
6.
Ijmak yaitu
kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu
masa tertentu.
7.
‘Urf yaitu
adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang
tidak ada nasnya dalam al-Qur’an, sunah dan belum ada praktiknya
pada masa sahabat. Hal ini dilakukan karena banyaknya budaya
yang ada di sekitar Imam Abu Hanifa hidup.
Tujuh dalil syariah yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah merupakan
suatu hal yang wajar sebab Imam Abu Hanifah hidup jauh dari sumber
ajaran Islam yaitu Mekkah dan Madinah, sehingga sumber hukum yang
digunakan ialah ada lima macam al-Qur’an, sunah, perkataan sahabat, ijmak
dan urf.
Pada
dasarnya yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan para imam yang
lain terletak pada kegemarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan
moral dan kemashlahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu
hukum.Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan dan
maslahah mursalah.
6
Di bawah ini akan
dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah, diantaranya :
1.
Bahwa perempuan boleh
jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani perkara perdata, bukan
perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana.
Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan adalah qiyas dengan menjadikan
kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan sebagai far’.
2.
Abu hanifah dan ulama
kufah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan dua rakaat sebagai mana sholat
’id tidak dilakukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.
C.
Sejarah Lahir dan
Berkembangnya Mazhab Maliki
1.
Biografi Imam Malik
Imam Malik adalah
Imam ang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam.Ia dilahirkan tiga
belas tahun sesudah kelahiran Abu Hanifah. Imam Malik ialah seorang Imam dari
kota Madinah dan imam bagi penduduk Hijaz.IA salah seorang ahli fiqih yang
terakhir bagi kota Madinah dan juga terakhir bagi fuqoha Madinah, beliau
berumur hampir sembilan puluh tahun.[8]
Imam Malik
dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz, lebih tepatnya di suatu tempat
yang bernama Zulmarwah, di utara Madinah al-Munawarah, kemudian Imam Malik
tinggal di Al-Akik lalu pindah ke Madinah. Menurut riwayat yang Masyhur Imam
Malik lahir tahun 93 H (712 M).[9]
Silsilah keturunan
Imam Malik sebagai berikut: Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru bin
Ghaiman bin Huthail bin Amru bin Al-Haris, dan Imam Malik termasuk pendukung
suku (Bani) Tamim bin Murrah.
Datuknya yang kedua
“Abu Amir bin Amru” salah seorang sahabat Rasulullah SAW, yang ikut berperang
bersama Rasul, kecuali dalam perang badar. Sedangkan datuk Imam Malik yang
pertama yaitu Malik bin Amar dari golongan Tabi’in gelarnya ialah Abu Anas.
Sejarah Anas, bapaknya Imam Malik tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah.Ibu Imam
Malik bernama Al-Ghalit binti Syarik bin Abdul Rahman bin Syarik Al-Azdiyyah
dan
7
adapula yang mengatakan namanya Thalhah, tetapi dia lebih
dikenal dengan nama yang pertama.
Dengan riwayat ini
teranglah bahwa Imam Malik adalah seorang dari keturunan bangsa Arab dari dusun
Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar dari jajahan negeri Yaman.
Orang yang mula-mula mengembangkan fiqih Imam Maliki
ke negeri Mesir, yaitu Usman bin Al-Hakam al-Judzami, seorang sahabat Imam
Maliki dari bangsa Mesir dan Abdurrahim bin Khalid bin Yazid bin Yahya.Selain
sahabat terdapat juga tokoh-tokoh yang ikut menyebarkan Mazhab Maliki ke Mesir
mereka diantaranya: Abdurrahman bin Al-Qasim, Asyhab bin Abdul Aziz, Ibnu Abdil
Hakam, Harist bin Miskin.Dengan demikian, tersyiarnya dan berkembangnya mazhab
beliau di Mesir lebih besar pengaruhnya daripada pengaruh Mazhab Hanafi di
Mesir.
Sebagian besar penduduk di Mesir mengikuti mazhab Imam
Maliki karena kerajinan dan kesempurnaan pada sahabat Imam Malik disana.
Demikianlah hingga datang Imam Syafi’i di Mesir, yang mengembangkan mazhabnya
disana dan menambah khazanah bermazhab disana dengan mazhab Imam Maliki
3.
Sistematika sumber hukum mazhab Maliki
Sistematika
sumber hukum atau istinbath Imam Malik, pada dasarnya ia tidak menulis secara
sistematis. Akan tetapi para muridnya atau mazhabnya meyusun sistematika imam
Malik. Sebagaimana qadhi’iyyad dalam kitabnya Al-Mudharrak, sebagai
berikut: “sesungguhnya manhaj imam Dar-Alhijrah, pertama ia mengambil
kitabullah, jika tidak ditemukan dalam kitabullah nash-nya ia mengambil
As-sunnah (katagori As-Sunnah menurutnya hadits-hadits nabi dan fatwa-fatwa
sahabat, amal Ahli-Almadinah, al-qiyas, al-mashlahah al-mursalah, sadd
adz-dzara’i, al-‘urf, dan al-‘adat”. [11]
4.
Pola pikir yang
mempengaruhi Imam Malik
8
Berbeda
dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik lahir di Madinah yang di kenal sebagai
daerah Hadits dan tempat tinggal sahabat Nabi. Fuqaha di sini lebih mengerti hadits
daripada fuqaha lainnya. Madinah pun merupakan suatu tempat yang masih
bernuansa kampung dan sederhana, suatu kehidupan yang menjadikan Al-Quran dan
As-Sunnah serta Ijma’ sahabat sudah cukup untuk dijadikan sebagai dasar acuan
keputusan hukum. Di sini jelas, para fuqaha tidak perlu lagi ijtihad dan rasio
karena Madinah sebagai tempat asal dan dekat dengan Mekkah. Atas hal ini
wajarlah kalau Imam Malik lebih cenderung lebih menguasai hadits dan kurang
menggunakan rasio di banding Imam Abu Hanifah, karena faktor sosial dan budaya
masyarakat[12]
D.
Pokok-Pokok Pikiran
dan Metode Istinbath Imam Malik
Imam Malik belajar pada ulama-ulama
Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau
juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang
menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik
adalah imam negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.
Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok
yaitu [13]:
|
1
|
Nashul Kitab
|
10
|
Tanbihus Sunnah
|
|
2
|
Dzaahirul Kitab
|
11
|
Amalu Ahlil Madinah
|
|
3
|
Dalilul Kitab
|
12
|
Qaul Shahabi
|
|
4
|
Mafhum muwafaqah
|
13
|
Istihsan
|
|
5
|
Tanbihul Kitab, terhadap illat
|
14
|
Muraa’atul Khilaaf
|
|
6
|
Nash-nash Sunnah
|
15
|
Saddud Dzaraa’i.
|
|
7
|
Dzahirus Sunnah
|
16
|
Mafhum Sunnah
|
|
8
|
Ijma’
|
17
|
Dalilus Sunnah
|
|
9
|
Qiyas
|
|
|
9
Berikut ini akan diuraikan tentang dalil
dan istinbath hukum yang digunakan
Imam Malik:
1. Al-Kitab (Al-Quran)
Semua Ulama sepakat bahwa al-quran
merupakan hujjah bagi setiap muslim,
karena ia adalah wahyu dan kitab Allah yang sifat periwayatannya mutawatir.
القران ھو كلام لله تعالى المنزل على محمد صلى لله علیھ وسلم بالفظ العربى المنقول إلینا بالتوا ترالمكتوب
فى المصاحف المتعبد بتلا وتھ المبدوء بسورة الفاتحة المختوم بسورة الناس
Artinya
: Al-Quran ialah firman Allah swt yang diturunkan kepada Muhammad saw dengan bahasa arab
diriwayatkan kepada kita secara mutawatir termaktub didalam mushab
membacanya merupakan ibadah dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Nash.
Dalam memegang al-Quran ini meliputi
pengambilan hukum berdasarkan atas
zahir nash al-quran atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-aula dengan
memperhatikan ‘illatnya.[14]Imam
Malik meletakkan Al-Quran di atas semua dalil karena Al-Quran merupakan pokok
syari’at dan hujjah sebagaimana halnya imam mazhab lainnya.
Maka
dari itu, Imam Malik mengambil hukum dari:
a.
Mafhum Muwafaqah atau fatwa al-Kitab, yaitu hukum yang semakna dengan satu nash
(Al-Quran dan hadits) yang hukumnya sama dengan yang disebutkan oleh
nash itu sendiri secara tegas.
b.
Mafhum Mukhalafah, yaitu penetapan lawan hukum yang diambil dari dalil yang disebutkan
dalam nash.
c.
‘Illat-‘illat hukum, yaitu sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum.
Imam Malik menggunakan al-Qur’an sebagai
sumber pertama dalam menyelesaikan
suatu hukum
karena al-Qur’an itu baik lafal dan maknanya bersumber langsung dari
Allah, sedangkan Rasul itu hanya membaca dan menyampaikan saja.[15]
2. Sunnah
Menurut para ahli ushul fiqh sunnah
adalah semua yang berkaitan dengan masalah hukum yang dinisbahkan kepada
Rasulullah saw, baik perkataan, perbuatan,
maupun sikap
10
beliau
terhadap suatu peristiwa.[16]Dalam
berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang
dilakukannya dalam berpegang kepada al-Quran. Apabila
dalil
Syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut.
Apabila terdapat pertentangan antara ma’na zhahir alquran dengan ma’na yang
terkandung dalam sunnah, sekalipun zhahir (jelas), maka yang dipegang
adalah ma’na zhahir al-quran. Tetapi apabila ma’na yang dikandung oleh
al-sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl-Madinah, maka ia lebih mengutamakan
makna yang terkandung dalam sunnah daripada zhahir al- Quran (sunnah yang
dimaksut disini adalah sunnah al-Mutawatirah atau almasyurah).
Sunnah yang digunakan Imam Malik :
1. Sunnah
Mutawatir.
2. Sunnah
Masyhur, yaitu baik kemasyhurannya itu di tingkat tabi’in ataupun tabi’
at-tabi’in. tingkat kemasyhuran setelah generasi tersebut di atas tidak dapat
dipertimbangkan lagi.
3. Khabar
ahad, yang didahului atas praktek penduduk Madinah dan qiyas. Akan tetapi
kadang-kadang khabar ahad bisa tertolak oleh qiyas dan maslahat.
Imam
Malik menggunakan as-Sunnah setelah al-Qur’an, karena Sunnah itu berfungsi sebagai
penjelas atau mengkhususkan yang umum dari al-Qur’an, menambah hukum-hukum
yang ada dalam al-Qur’an dan memberi hokum tersendiri yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an.[17]
Maka
dari itu Imam Malik menjadikan as-Sunnah sebagai hukum atau dalil setelah
al-Qur’an.
3. Ijma’ alh-Madinah
Jumhur ulama berpendapat ijma’ merupakan
hujjah yang bersifat Qath’i(pasti), artinya merupakan dasar penetapan hukum
yang bersifat mengikat dan wajib
dipatuhi dan diamalkan. Itulah sebabnya jumhur ulama menempatkan ijma’sebagai
sumber dalil hukum yang ketiga setelah al-quran dan sunnah.
Menurut Ibn Taimiyah, yang dimaksut
Ijma’ ahl al-madinah tersebut adalah
ijma’ ahl al-madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi
saw. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali
bukan merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-madinah yang asalnya dari al-Naql,
sudah kesepakatan seluruh kaum Muslim sebagai hujjah.24
11
Imam Malik menjadikan hujjah amalan ahli
Madinah dengan argumentasi bahwa
amalan tersebut tidak mungkin ada kecuali bersumber dari Nabi saw. Yaitu apa yang telah
disepakati oleh orang-orang Islam, maka Imam Malik berpendapat bahwa mengamalkannya
adalah lebih kuat dengan dii’tibarkan sebagai amal dari Nabi yang demikian
dimaksud sebagai khabar.[18]Di
kalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-madinah lebih diutamakan daripada khabar ahad,
sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberian oleh jama’ah, sedangkan
khabar ahad hanya merupakan pemberian perorangan.26
4.
Qaul Ash-Shahabi
Sebagian ulama ushul fiqh menyebut
istilah Qaul Ash-Shahabi dengan istilah
mazhab as-Shahabi sebenarnya kedua istilah ini tidak sama persis sama maknanya. Yang dimaksud Qaul
Ash-Shahabi ialah pendapat hukum yang dikemukakan oleh seseorang atau beberapa
orang shahabat Rasulullah saw secara individu tentang sesuatu hukum syara’
yang tidak terdapat ketentuannya baik dalam Al-quran atau sunnah. Sejarah membuktikan
Qaul Shahabat merupakan hukum mengenai peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi
setelah wafatnya Rasulullah saw yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam
Al-Quran dan sunnah. Akan tetapi harus
dikatakan sebagaimana layaknya suatu komunitas masyarakat tidak semua shahabat ahli hukum
islam.
Para ulama mazhab yang empat sepakat
menjadikan Qaul Shahabat sebagai
rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam
masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul sahabat dipandang sebagai
Al-khabar At-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve)
yang bersumber dari Rasulullah saw.
Menurut Imam Malik, para shahabat besar
tersebut tidak akan memberifatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami oleh
Rasulullah SAW. Namun demikian,
beliau mensyaratkan bahwa
shahabat tersebut, tidak boleh bertentangan dengan hadis marfu’
yang dapat diamalkan dan fatwa shahabat yang demikian inilebih didahulukan daripada
qiyas. Juga adakalanya Imam Malik
menggunakan fatwa
tabi’in besar sebagai pegangan dalam menentukan hukum.
5.
Qiyas
Qiyas merupakan bentuk utama yang
dipakai oleh para mujtahid dalam upaya
mereka berijtihad menemukan hukum dari peristiwa-peristiwa yang hukumnya tidak
disebabkan oleh nash secara tegas. Dalam peristilahan ushul fiqh, qiyas
diartikan sebagai upaya
12
menghubungkan
(menyamakan) hukum dari suatu peristiwa yang belum ditentukan hukumnya
dalam nash dengan hukum dari suatu peristiwa lain yang hukumnya disebutkan
oleh nash. Penghubung (penyamaan) hukum tersebut didasarkan atas
kesamaan ‘illat antara dua peristiwa yang bersangkutan. Imam Malik mengambil
qiyas dalam pengertian umum yang merupakan penyamaan hukum
perkara, yakni hukum perkara yang tidak ditegaskan dengan hukum yang ditegaskan. Hal ini disebabkan
adanya persamaan sifat (‘illat hukum).[19]
6. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah adalah sebagai dalil
hukum yang mengandung bahwa al-Maslahah
menjadi landasan dan tolok ukur dalam penetapan hukum dengan kata lain hukum masalah
tertentu ditetapkan sedemikian rupa karena kemaslahatan
menghendaki agar hukum tersebut ditetapkan pada masalah tersebut. Jumhur ulama
berpendapat setiap hukum yang ditetapkan oleh nash atau ijma’ didasarkan atas
hukum dan bentuk meraih manfaat dan menghindarkan mafsadat.
Para ulama yang berpegang kepada
maslahah mursalah sebagai dasar hukum,
menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
1.
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama, bukan
sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
2.
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar maslahah
yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Artinya maslahah
tersebut harus merupakan maslahah bagi kebanyakan orang.
3.
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak bertentangan
dengan ketentuan nash atau ijma’.
7. Istihsan
Istihsan adalah memandang lebih kuat
ketetapan hukum yang berdasarkan maslahat
juz’iyah (sebagian) atas ketetapan hukum berdasarkan qiyas. Jika dalam qiyas ada keharusan
menyamakan satu hukum yang tidak tegas dengan hokum yang tertentu yang
tegas, maka maslahat
juz’iyah mengharuskan hukum lain dan ini yang diberlakukan. Akan tetapi dalam
mazhab Malik, istihsan itu sifatnya lebih umum yang mencakup
setiap maslahat, yaitu hukum
13
maslahat
yang tidak ada nash,
baik dalam tema itu dapat diterapkan qiyas ataupun tidak, sehingga pengertian istihsan itu
mencakup al-Maslahah al-Mursalah.[20]
8. Sadd Al-zara’i
Menurut istilah ushul fiqh, seperti
dikemukakan abdul karim zaidan, sad al-zari’ah berarti, menutup jalan yang
membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.35 Imam Malik menggunakan
Sad al-Zar’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua
jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya
haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju
kepada yang halal, halal pula hukumnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Awal tersebarnya Mazhab Hanafi
adalah ketika Harun Arrasyid menjabat selaku khalifah bagi dunia Islam, beliau
menyerahkan urusan kehakiman bagi pemerintahannya kepada Imam Abu Yusuf, bekas
murid Imam Hanafi yang terkenal.Dapat diketahui pula bahwa Imam Abu Yusuf
merupakan salah satu murid dari Abu Hanifah yang membukukan mazhab beliau.Oleh
sebab itu, beliau tidak asal menyerahkan urusan kehakiman yang resmi disetiap
kota (Irak,Khurasan,Yaman) sampai ke batas Afrika, melainkan kepada orang yang
ditunjuk.Beliau tidak menyerahkan jabatan itu, melainkan kepada sahabatnya yang
sependirian dengan mazhabnya (mazhab Hanafi).
Berdasarkan tindakan Imam Abu
Yusuf tersebut, maka segenap Qadhi dan Hakim di daerah dan kota kala itu
umumnya terdiri dari ulama-ulama yang bermazhab Hanafi.Dengan demikian, banyak
orang yang gemar memperlajari kitab-kitab yang beraliran Mazhab Hanafi, karena
ingin mendapatkan kedudukan pangkat.
Dasar-dasar Mazhab Hanafi adalah:
1.
Kitab Allah (al-Quran)
2.
Sunnah Rasulullah yang sahih serta telah mahsyur
diantara para ulama yang ahlu.
3.
Fatwa-fatwa dari sahabat.
4.
Al-Qiyas
5.
Al-Istihsan
6.
Al-‘Urf
Orang yang mula-mula mengembangkan fiqih Imam Maliki
ke negeri Mesir, yaitu Usman bin Al-Hakam al-Judzami, seorang sahabat Imam
Maliki dari bangsa Mesir dan Abdurrahim bin Khalid bin Yazid bin Yahya.Selain
sahabat terdapat juga tokoh-tokoh yang ikut menyebarkan Mazhab Maliki ke Mesir
mereka diantaranya: Abdurrahman bin Al-Qasim, Asyhab bin Abdul Aziz, Ibnu Abdil
Hakam, Harist bin Miskin.Dengan demikian, tersyiarnya dan berkembangnya mazhab
beliau di Mesir lebih besar pengaruhnya daripada pengaruh Mazhab Hanafi di
Mesir.
14
15
Sebagian besar penduduk di Mesir mengikuti mazhab Imam
Maliki karena kerajinan dan kesempurnaan pada sahabat Imam Malik disana.
Demikianlah hingga datang Imam Syafi’i di Mesir, yang mengembangkan mazhabnya
disana dan menambah khazanah bermazhab disana dengan mazhab Imam Maliki
Abu zahrah merumuskan secara
ringkas sistematika sumber hokum mazhab
maliki yang dijelaskan Qadi ‘Iyadh dalam kitab al-Mudharik dan penjelasan Rasyid dari
kalangan fukaha’ Malikiyyah
dalam kitab al-Bahjah, sebagai
berikut
1.
Al-Kitab (al-Quran)
2.
Al-Sunnah
3.
Ijma’ alh-Madinah
4.
Qaul Ash-Shahabi
5.
Al-qiyas
6.
Maslahah Mursalah
7.
Istihsan
8.
Sadd Al-zara’i
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. Hasan. 2002. Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT.
Grafindo Persada
Asy, Ahmad Syurbasi. 2001. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. Jakarta:Amzah
Abu,
Muhammad Zahrah. t,t. Tarikh
al-Mazahib al-Islamiyah. Beirut:
Dar al-fikr
Chalil,
Moenawar. 2016. Biografi 4 Serangkai Imam
Mazhab. Jakarta, Gema Insani
Dahlan,
Abdurrahman. 2010.Ushul
Fiqh. Jakarta: Amzah.
Djazuli, A. 2000. Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve
Hanafie, A. 2001. Ushul
Fiqih. Jakarta:Wijaya
Hoesen, Ibrahim. t,t. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Ihya Ulumaddin Indonesia
Jawad, Muhammad Mughniyah. 1999. Fiqh Lima
Mazhab. Jakarta : Pt. Lentera Basritama
Supriadi, Dedi. 2008. Perbandingan
Mazhab dengan Pendekatan Baru. Bandung : CV Pustaka Setia
Wahab, Abdul Khallaf. 1996. Kaidah-kaidah Hukum
Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
[5] Dedi Supriadi “Perbandingan Mazhab dengan
Pendekatan Baru”, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008), hal.157
[9] Munawar
Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam
Mazhab, (Jakarta:Bulan Bintang, 1986), Cet.ke 5, Hal.84
[11] Dedi Supriadi “Perbandingan Mazhab dengan
Pendekatan Baru”, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008), hal.167
[12] Dedi Supriadi “Perbandingan Mazhab dengan
Pendekatan Baru”, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008), hal.207
[15] Abdul
Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996), cet. Ke-6, hal. 22.
[18] Muhammad
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-fikr, t,t),
juz. II, hal.216-217.
[19] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve,1997), jilid 3, cet. Ke-4, hal.
142-143.