Selasa, 28 Maret 2017

PERBANDINGAN MAZHAB (Memahami Pokok-Pokok Pikiran dan Metode Istinbath Imam Abu Hanifah dan Imam Malik)

PERBANDINGAN MAZHAB
(Memahami Pokok-Pokok Pikiran dan Metode Istinbath
 Imam Abu Hanifah dan Imam Malik)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Mazhab
 Dosen Pengampu: Aminudin Yakub, MA






DisusunOleh :
Trisna Hargi Ramadianti         11140110000069
Afwan Malik Al Mumtaz       11140110000082
Ahmad Fairuz                         111401100000

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi salah satu persyaratan mata kuliah Penelitian Tindakan Kelas. Dengan judul “Memahami Pokok-Pokok Pikiran dan Metode Istinbath Imam Abu Hanifah dan Imam Malik”
Dalam menulis makalah ini penulis banyak mendapatkan kesulitan-kesulitan. Namunatas usaha dan doa kesulitan dapat diatasi. Dengan selesainya makalah ini penulis mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Aminudin Yakub, MA selaku dosen matakuliah Perbandingan Mazhab dan teman-teman angakatan yang telah memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini ada manfaatnya terutama bagi pengembangan wawasan penulis dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah-Nya Amin.


Tangerang, 20 Maret 2017













DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...............................................................................................................1
B.     Rumusan Masalah..........................................................................................................1
C.     Tujuan ...........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A.    Sejarah Lahir dan Berkembangnya Mazhab Hanafi...................................................2-4
B.     Pokok-Pokok Pikiran dan Metode Istinbath Imam Abu Hanifah..............................4-6
C.     Sejarah Lahir dan Berkembangnya Mazhab Maliki...................................................6-8
D.    Pokok-Pokok Pikiran dan Metode Istinbath Imam Malik........................................8-13
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.............................................................................................................14-15
DAFTAR PUSTAKA











BAB I
 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi. perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah melahirkan pemikiran Islam bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Sudah di maklumi bahwa ilmu fiqh adalah bagian dari ilmu syari’at, karena syari’at ialah ketepatan-ketepatn Allah SWT yang diberikan kepada Rasulullah mengenai tiga aspek yaitu akhlak, akidah dan fiqh. Dalam ilmu fiqh, ternyata para ahli hukum Islam berbeda-beda pendapatnya, sehingga dalam ilmu fiqh terdapat bermacam-macam mazhab.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara amat dominan abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih,dikhusus pada dua mazhab yaitu Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki Hambali serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan mazhab tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Sejarah Lahir dan Berkembangnya Mazhab Hanafi dan Mazhan Maliki?
2.    Apa saja yang menjadi Pokok-Pokok Pikiran dan Metode Istinbath Imam Abu Hanifah maupun Imam Malik?
C.     Tujuan
1.    Untuk mengetahui macam-macam madzhab
2.    Untuk mengetahui pendiri dari madzhab Hanafi dan Maliki
3.    Untuk mengetahui metode dalam menetapkan hukum menurut madzhab Hanafi dan Maliki
4.    Untuk mengetahui macam-macam kitab dari madzhab Hanafi dan Maliki

1
BAB II
 PEMBAHASAN

A.  Sejarah Lahir dan Berkembangnya Mazhab Hanafi
1.    Biografi Imam Abu Hanifah
Imam Abu HAnifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih memiliki pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya. Tak heran, jika kemudian dari keturunan Tsabit ini muncul seorang ulama besar seperti Abu Hanifah.[1]
Dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik, Abu Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur’an. Selain memperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqh. Dalam hal ini kalangan sahabat Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka, beliau juga mendalami ilmu hadits. [2]
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur. Konon, karena penolakannya itu beliau kemudian dipenjarakan hingga akhir hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M, pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan di pekuburan Khizra. Pada tahun 450 h/1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarrak, Waki’ bin Jarah Ibn Hasan Al-Syiabani, dan lain-lain. Sedang di antara kitab-kitab Imam Abu Hainifah adalah: Al-Musuan (kitab hadits, dikumpulkan oleh
3
muridnya), Al-Makharij (buku ini dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf), dan fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).[3]
2.        Permulaan tersyiarnya Mazhab Hanafi[4]
Sepanjang riwayat, para sahabat Imam Hanafi yang membukukan mazhab beliau ada 40 orang diantara mereka adalah Imam Abu Yusuf dan Imam Zafar.Permulaan orang yang menulis kitabnya adalah Asad bin Amr.
Kemudian pada masa Harun Arrasyid menjabat selaku khalifah bagi dunia Islam, beliau menyerahkan urusan kehakiman bagi pemerintahannya kepada Imam Abu Yusuf, bekas murid Imam Hanafi yang terkenal, sesudah tahun 170 H. Dengan demikian, maka segenap urusan kehakiman dalam kekhalifahan Ar Rasyid ada ditangan kekuasaannya.Oleh sebab itu, beliau tidak asal menyerahkan urusan kehakiman yang resmi disetiap kota (Irak,Khurasan,Yaman) sampai ke batas Afrika, melainkan kepada orang yang ditunjuk.Beliau tidak menyerahkan jabatan itu, melainkan kepada sahabatnya yang sependirian dengan mazhabnya (mazhab Hanafi).
Berdasarkan tindakan Imam Abu Yusuf tersebut, maka segenap Qadhi dan Hakim di daerah dan kota kala itu umumnya terdiri dari ulama-ulama yang bermazhab Hanafi.Dengan demikian, banyak orang yang gemar memperlajari kitab-kitab yang beraliran Mazhab Hanafi, karena ingin mendapatkan kedudukan pangkat.
3.        Sistematika sumber hukum mazhab Hanafi
Abu Bakar Muhammad Ali Thaib Al-Baghdadi dalam kitabnya, Al-Baghdadi menjelaskan bahwa dasar-dasar pemikiran fiqih Abu Hanifah sebagai berikut: “aku (Abu Hanifah) mengambil kitab Allah. Bila tidak ditemukan didalamnya, aku ambil dari sunnah Rasul, jika aku tidak menemukan pada kitab dan sunnahnya, aku ambil pendapat-pendapat sahabat. Aku ambil perkataan yang aku kehendaki dan aku tinggalkan pendapat-pendapat yang tidak aku kehendaki. Dan aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat orang lain selain mereka. Adapun apabila telah sampai urusan itu atau telah datang kepada Ibrahim, As-Syaibani, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Atha, Sa’id, dan abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi mereka orang-orang yang telah berijtihad”.[5]
4
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi adalah:
a)       Kitab Allah (al-Quran)
b)       Sunnah Rasulullah yang sahih serta telah mahsyur diantara para ulama yang ahlu.
c)        Fatwa-fatwa dari sahabat.
d)       Al-Qiyas
e)       Al-Istihsan
f)         Al-‘Urf[6]

4.        Pola pikir yang mempengaruhi Imam Hanafi
Secara geografis Imam Hanafi lahir di Kuffah (Iraq) yang penduduknya merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqaha daerah ini sering dihadapkan pada persoalan hidup yang beragam. Untuk mengatasinya, mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan hijaz. Masyarakat daerah ini masih dalam suasana kehidupan sederhana seperti keadaan pada masa Nabi. Untuk mengatasinya, para fuqahah hijaz cukup mengandalkan al-Quran, Sunnah, dan Ijma’ para sahabat. Oleh karena itu mereka tidak merasa perlu untuk berijtihad seperti fuqaha Iraq.
Sebaliknya Imam Abu Hanifah menghadapi persoalan kemasyarakatan di Iraq, yaitu daerah yang sarat dengan budaya dan peradaban, tetapi jauh dari pusat informasi hadist Nabi. Jadi “terpaksa” atau “selalu” menggunakan akal atau rasionya.
Dapat penulis simpulkan bahwasannya imam hanafi dalam memutuskan hukum lebih dominan menggunakan ijtihad dan akal yang berbeda dengan Imam-Imam Ahlul Hadis, yang adakalanya tidak menerima ijtihad. Inidikarnakan masyarakat di iraq telah mengenal kemajuan peradaban dan jauh dari jauh kota sumber hadis.

B.  Pokok-Pokok Pikiran dan Metode Istinbath Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah memang belum menjelaskan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya, “Saya kembalikan segala persoalan kepada Kitabullah, apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dari Kitabullah dan Sunnah Nabi, maka saya akan mengambil pendapat dari Sahabat Nabi dan
5
tidak beralih fatwa dari mereka.Apabila masalahnya sudah sampai kepada Ibrahim, Sya’bi, Hasan, Ibnu Sirin, Atha’ dan Sa’id bin Musayyib (semuanya tabi’in), maka saya berhak pula berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”[7]

Metode yang digunakan Abu Hanifah dalam menetapkan hukum (istinbath) berdasarkan pada tujuh hal pokok:
1.        Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2.        Sunah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal-hal global yang ada dalam al-Qur’an.
3.        Fatwa sahabat (aqwal al-sahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbab al-nuzul al-Qur’an serta asbab alwurud hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabi‘in tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat.
4.        Kias (analogi) yang digunakan apabila tidak ada nas sarih dalam al-Qur’an, hadis maupun aqwal al-ashabah.
5.        Istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya kias atau kias tersebut berlawanan dengan nas.
6.        Ijmak yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.
7.        ‘Urf yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nasnya dalam al-Qur’an, sunah dan belum ada praktiknya pada masa sahabat. Hal ini dilakukan karena banyaknya budaya yang ada di sekitar Imam Abu Hanifa hidup.
Tujuh dalil syariah yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah merupakan suatu hal yang wajar sebab Imam Abu Hanifah hidup jauh dari sumber ajaran Islam yaitu Mekkah dan Madinah, sehingga sumber hukum yang digunakan ialah ada lima macam al-Qur’an, sunah, perkataan sahabat, ijmak dan urf.
            Pada dasarnya yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan para imam yang lain terletak pada kegemarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemashlahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum.Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan dan maslahah mursalah.
6
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah, diantaranya :
1.    Bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan sebagai far’.
2.    Abu hanifah dan ulama kufah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan dua rakaat sebagai mana sholat ’id tidak dilakukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.

C.  Sejarah Lahir dan Berkembangnya Mazhab Maliki
1.        Biografi Imam Malik
Imam Malik adalah Imam ang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam.Ia dilahirkan tiga belas tahun sesudah kelahiran Abu Hanifah. Imam Malik ialah seorang Imam dari kota Madinah dan imam bagi penduduk Hijaz.IA salah seorang ahli fiqih yang terakhir bagi kota Madinah dan juga terakhir bagi fuqoha Madinah, beliau berumur hampir sembilan puluh tahun.[8]
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz, lebih tepatnya di suatu tempat yang bernama Zulmarwah, di utara Madinah al-Munawarah, kemudian Imam Malik tinggal di Al-Akik lalu pindah ke Madinah. Menurut riwayat yang Masyhur Imam Malik lahir tahun 93 H (712 M).[9]
Silsilah keturunan Imam Malik sebagai berikut: Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru bin Ghaiman bin Huthail bin Amru bin Al-Haris, dan Imam Malik termasuk pendukung suku (Bani) Tamim bin Murrah.
Datuknya yang kedua “Abu Amir bin Amru” salah seorang sahabat Rasulullah SAW, yang ikut berperang bersama Rasul, kecuali dalam perang badar. Sedangkan datuk Imam Malik yang pertama yaitu Malik bin Amar dari golongan Tabi’in gelarnya ialah Abu Anas. Sejarah Anas, bapaknya Imam Malik tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah.Ibu Imam Malik bernama Al-Ghalit binti Syarik bin Abdul Rahman bin Syarik Al-Azdiyyah dan
7
adapula yang mengatakan namanya Thalhah, tetapi dia lebih dikenal dengan nama yang pertama.
Dengan riwayat ini teranglah bahwa Imam Malik adalah seorang dari keturunan bangsa Arab dari dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar dari jajahan negeri Yaman.
2.    Permulaan tersyiarnya Mazhan Maliki[10]
Orang yang mula-mula mengembangkan fiqih Imam Maliki ke negeri Mesir, yaitu Usman bin Al-Hakam al-Judzami, seorang sahabat Imam Maliki dari bangsa Mesir dan Abdurrahim bin Khalid bin Yazid bin Yahya.Selain sahabat terdapat juga tokoh-tokoh yang ikut menyebarkan Mazhab Maliki ke Mesir mereka diantaranya: Abdurrahman bin Al-Qasim, Asyhab bin Abdul Aziz, Ibnu Abdil Hakam, Harist bin Miskin.Dengan demikian, tersyiarnya dan berkembangnya mazhab beliau di Mesir lebih besar pengaruhnya daripada pengaruh Mazhab Hanafi di Mesir.
Sebagian besar penduduk di Mesir mengikuti mazhab Imam Maliki karena kerajinan dan kesempurnaan pada sahabat Imam Malik disana. Demikianlah hingga datang Imam Syafi’i di Mesir, yang mengembangkan mazhabnya disana dan menambah khazanah bermazhab disana dengan mazhab Imam Maliki
3.    Sistematika sumber hukum mazhab Maliki
Sistematika sumber hukum atau istinbath Imam Malik, pada dasarnya ia tidak menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya atau mazhabnya meyusun sistematika imam Malik. Sebagaimana qadhi’iyyad dalam kitabnya Al-Mudharrak, sebagai berikut: “sesungguhnya manhaj imam Dar-Alhijrah, pertama ia mengambil kitabullah, jika tidak ditemukan dalam kitabullah nash-nya ia mengambil As-sunnah (katagori As-Sunnah menurutnya hadits-hadits nabi dan fatwa-fatwa sahabat, amal Ahli-Almadinah, al-qiyas, al-mashlahah al-mursalah, sadd adz-dzara’i, al-‘urf, dan al-‘adat”. [11]
4.    Pola pikir yang mempengaruhi Imam Malik
8
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik lahir di Madinah yang di kenal sebagai daerah Hadits dan tempat tinggal sahabat Nabi. Fuqaha di sini lebih mengerti hadits daripada fuqaha lainnya. Madinah pun merupakan suatu tempat yang masih bernuansa kampung dan sederhana, suatu kehidupan yang menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijma’ sahabat sudah cukup untuk dijadikan sebagai dasar acuan keputusan hukum. Di sini jelas, para fuqaha tidak perlu lagi ijtihad dan rasio karena Madinah sebagai tempat asal dan dekat dengan Mekkah. Atas hal ini wajarlah kalau Imam Malik lebih cenderung lebih menguasai hadits dan kurang menggunakan rasio di banding Imam Abu Hanifah, karena faktor sosial dan budaya masyarakat[12]

D.  Pokok-Pokok Pikiran dan Metode Istinbath Imam Malik

Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits. Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok yaitu [13]:
1
Nashul Kitab
10
Tanbihus Sunnah
2
Dzaahirul Kitab
11
Amalu Ahlil Madinah
3
Dalilul Kitab
12
Qaul Shahabi
4
Mafhum muwafaqah
13
 Istihsan
5
Tanbihul Kitab, terhadap illat
14
Muraa’atul Khilaaf
6
Nash-nash Sunnah
15
Saddud Dzaraa’i.
7
Dzahirus Sunnah
16
Mafhum Sunnah
8
Ijma’
17
Dalilus Sunnah
9
Qiyas





9
Berikut ini akan diuraikan tentang dalil dan istinbath hukum yang digunakan Imam Malik:
1. Al-Kitab (Al-Quran)
Semua Ulama sepakat bahwa al-quran merupakan hujjah bagi setiap muslim, karena ia adalah wahyu dan kitab Allah yang sifat periwayatannya mutawatir.
القران ھو كلام لله تعالى المنزل على محمد صلى لله علیھ وسلم بالفظ العربى المنقول إلینا بالتوا ترالمكتوب
فى المصاحف المتعبد بتلا وتھ المبدوء بسورة الفاتحة المختوم بسورة الناس
Artinya : Al-Quran ialah firman Allah swt yang diturunkan kepada Muhammad saw dengan bahasa arab diriwayatkan kepada kita secara mutawatir termaktub didalam mushab membacanya merupakan ibadah dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nash.
Dalam memegang al-Quran ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash al-quran atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-aula dengan memperhatikan ‘illatnya.[14]Imam Malik meletakkan Al-Quran di atas semua dalil karena Al-Quran merupakan pokok syari’at dan hujjah sebagaimana halnya imam mazhab lainnya.
Maka dari itu, Imam Malik mengambil hukum dari:
a. Mafhum Muwafaqah atau fatwa al-Kitab, yaitu hukum yang semakna dengan satu nash (Al-Quran dan hadits) yang hukumnya sama dengan yang disebutkan oleh nash itu sendiri secara tegas.
b. Mafhum Mukhalafah, yaitu penetapan lawan hukum yang diambil dari dalil yang disebutkan dalam nash.
c. ‘Illat-‘illat hukum, yaitu sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum.
Imam Malik menggunakan al-Qur’an sebagai sumber pertama dalam menyelesaikan suatu hukum karena al-Qur’an itu baik lafal dan maknanya bersumber langsung dari Allah, sedangkan Rasul itu hanya membaca dan menyampaikan saja.[15]
2. Sunnah
Menurut para ahli ushul fiqh sunnah adalah semua yang berkaitan dengan masalah hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap

10
beliau terhadap suatu peristiwa.[16]Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-Quran. Apabila
dalil Syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara ma’na zhahir alquran dengan ma’na yang terkandung dalam sunnah, sekalipun zhahir (jelas), maka yang dipegang adalah ma’na zhahir al-quran. Tetapi apabila ma’na yang dikandung oleh al-sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zhahir al- Quran (sunnah yang dimaksut disini adalah sunnah al-Mutawatirah atau almasyurah). Sunnah yang digunakan Imam Malik :
    1.     Sunnah Mutawatir.
    2.     Sunnah Masyhur, yaitu baik kemasyhurannya itu di tingkat tabi’in ataupun tabi’ at-tabi’in. tingkat kemasyhuran setelah generasi tersebut di atas tidak dapat dipertimbangkan lagi.
    3.     Khabar ahad, yang didahului atas praktek penduduk Madinah dan qiyas. Akan tetapi kadang-kadang khabar ahad bisa tertolak oleh qiyas dan maslahat.
Imam Malik menggunakan as-Sunnah setelah al-Qur’an, karena Sunnah itu berfungsi sebagai penjelas atau mengkhususkan yang umum dari al-Qur’an, menambah hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an dan memberi hokum tersendiri yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.[17]
Maka dari itu Imam Malik menjadikan as-Sunnah sebagai hukum atau dalil setelah al-Qur’an.
3. Ijma’ alh-Madinah
Jumhur ulama berpendapat ijma’ merupakan hujjah yang bersifat Qath’i(pasti), artinya merupakan dasar penetapan hukum yang bersifat mengikat dan wajib dipatuhi dan diamalkan. Itulah sebabnya jumhur ulama menempatkan ijma’sebagai sumber dalil hukum yang ketiga setelah al-quran dan sunnah.
Menurut Ibn Taimiyah, yang dimaksut Ijma’ ahl al-madinah tersebut adalah ijma’ ahl al-madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi saw. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah kesepakatan seluruh kaum Muslim sebagai hujjah.24

11
Imam Malik menjadikan hujjah amalan ahli Madinah dengan argumentasi bahwa amalan tersebut tidak mungkin ada kecuali bersumber dari Nabi saw. Yaitu apa yang telah disepakati oleh orang-orang Islam, maka Imam Malik berpendapat bahwa mengamalkannya adalah lebih kuat dengan dii’tibarkan sebagai amal dari Nabi yang demikian dimaksud sebagai khabar.[18]Di kalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-madinah lebih diutamakan daripada khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberian oleh jama’ah, sedangkan khabar ahad hanya merupakan pemberian perorangan.26
    4.          Qaul Ash-Shahabi
Sebagian ulama ushul fiqh menyebut istilah Qaul Ash-Shahabi dengan istilah mazhab as-Shahabi sebenarnya kedua istilah ini tidak sama persis sama maknanya. Yang dimaksud Qaul Ash-Shahabi ialah pendapat hukum yang dikemukakan oleh seseorang atau beberapa orang shahabat Rasulullah saw secara individu tentang sesuatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuannya baik dalam Al-quran atau sunnah. Sejarah membuktikan Qaul Shahabat merupakan hukum mengenai peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Quran dan sunnah. Akan tetapi harus dikatakan sebagaimana layaknya suatu komunitas masyarakat tidak semua shahabat ahli hukum islam.
Para ulama mazhab yang empat sepakat menjadikan Qaul Shahabat sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul sahabat dipandang sebagai Al-khabar At-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah saw.
Menurut Imam Malik, para shahabat besar tersebut tidak akan memberifatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami oleh Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa shahabat tersebut, tidak boleh bertentangan dengan hadis marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa shahabat yang demikian inilebih didahulukan daripada qiyas. Juga  adakalanya Imam Malik menggunakan fatwa tabi’in besar sebagai pegangan dalam menentukan hukum.
    5.          Qiyas
Qiyas merupakan bentuk utama yang dipakai oleh para mujtahid dalam upaya mereka berijtihad menemukan hukum dari peristiwa-peristiwa yang hukumnya tidak disebabkan oleh nash secara tegas. Dalam peristilahan ushul fiqh, qiyas diartikan sebagai upaya
12
menghubungkan (menyamakan) hukum dari suatu peristiwa yang belum ditentukan hukumnya dalam nash dengan hukum dari suatu peristiwa lain yang hukumnya disebutkan oleh nash. Penghubung (penyamaan) hukum tersebut didasarkan atas kesamaan ‘illat antara dua peristiwa yang bersangkutan. Imam Malik mengambil qiyas dalam pengertian umum yang merupakan penyamaan hukum perkara, yakni hukum perkara yang tidak ditegaskan dengan hukum yang ditegaskan. Hal ini disebabkan adanya persamaan sifat (‘illat hukum).[19]
6. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah adalah sebagai dalil hukum yang mengandung bahwa al-Maslahah menjadi landasan dan tolok ukur dalam penetapan hukum dengan kata lain hukum masalah tertentu ditetapkan sedemikian rupa karena kemaslahatan menghendaki agar hukum tersebut ditetapkan pada masalah tersebut. Jumhur ulama berpendapat setiap hukum yang ditetapkan oleh nash atau ijma’ didasarkan atas hukum dan bentuk meraih manfaat dan menghindarkan mafsadat.
Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
1. Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
2. Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Artinya maslahah tersebut harus merupakan maslahah bagi kebanyakan orang.
3. Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma’.
7. Istihsan
Istihsan adalah memandang lebih kuat ketetapan hukum yang berdasarkan maslahat juz’iyah (sebagian) atas ketetapan hukum berdasarkan qiyas. Jika dalam qiyas ada keharusan menyamakan satu hukum yang tidak tegas dengan hokum yang tertentu yang tegas, maka maslahat juz’iyah mengharuskan hukum lain dan ini yang diberlakukan. Akan tetapi dalam mazhab Malik, istihsan itu sifatnya lebih umum yang mencakup setiap maslahat, yaitu hukum


13
maslahat yang tidak ada nash, baik dalam tema itu dapat diterapkan qiyas ataupun tidak, sehingga pengertian istihsan itu mencakup al-Maslahah al-Mursalah.[20]
8. Sadd Al-zara’i
Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan abdul karim zaidan, sad al-zari’ah berarti, menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.35 Imam Malik menggunakan Sad al-Zar’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Awal tersebarnya Mazhab Hanafi adalah ketika Harun Arrasyid menjabat selaku khalifah bagi dunia Islam, beliau menyerahkan urusan kehakiman bagi pemerintahannya kepada Imam Abu Yusuf, bekas murid Imam Hanafi yang terkenal.Dapat diketahui pula bahwa Imam Abu Yusuf merupakan salah satu murid dari Abu Hanifah yang membukukan mazhab beliau.Oleh sebab itu, beliau tidak asal menyerahkan urusan kehakiman yang resmi disetiap kota (Irak,Khurasan,Yaman) sampai ke batas Afrika, melainkan kepada orang yang ditunjuk.Beliau tidak menyerahkan jabatan itu, melainkan kepada sahabatnya yang sependirian dengan mazhabnya (mazhab Hanafi).
Berdasarkan tindakan Imam Abu Yusuf tersebut, maka segenap Qadhi dan Hakim di daerah dan kota kala itu umumnya terdiri dari ulama-ulama yang bermazhab Hanafi.Dengan demikian, banyak orang yang gemar memperlajari kitab-kitab yang beraliran Mazhab Hanafi, karena ingin mendapatkan kedudukan pangkat.
Dasar-dasar Mazhab Hanafi adalah:
1.        Kitab Allah (al-Quran)
2.        Sunnah Rasulullah yang sahih serta telah mahsyur diantara para ulama yang ahlu.
3.        Fatwa-fatwa dari sahabat.
4.        Al-Qiyas
5.        Al-Istihsan
6.        Al-‘Urf

Orang yang mula-mula mengembangkan fiqih Imam Maliki ke negeri Mesir, yaitu Usman bin Al-Hakam al-Judzami, seorang sahabat Imam Maliki dari bangsa Mesir dan Abdurrahim bin Khalid bin Yazid bin Yahya.Selain sahabat terdapat juga tokoh-tokoh yang ikut menyebarkan Mazhab Maliki ke Mesir mereka diantaranya: Abdurrahman bin Al-Qasim, Asyhab bin Abdul Aziz, Ibnu Abdil Hakam, Harist bin Miskin.Dengan demikian, tersyiarnya dan berkembangnya mazhab beliau di Mesir lebih besar pengaruhnya daripada pengaruh Mazhab Hanafi di Mesir.
14
15
Sebagian besar penduduk di Mesir mengikuti mazhab Imam Maliki karena kerajinan dan kesempurnaan pada sahabat Imam Malik disana. Demikianlah hingga datang Imam Syafi’i di Mesir, yang mengembangkan mazhabnya disana dan menambah khazanah bermazhab disana dengan mazhab Imam Maliki
Abu zahrah merumuskan secara ringkas sistematika sumber hokum mazhab maliki yang dijelaskan Qadi ‘Iyadh dalam kitab al-Mudharik dan penjelasan Rasyid dari kalangan fukaha’ Malikiyyah dalam kitab al-Bahjah, sebagai berikut
1.         Al-Kitab (al-Quran)
2.         Al-Sunnah
3.         Ijma’ alh-Madinah
4.         Qaul Ash-Shahabi
5.         Al-qiyas
6.         Maslahah Mursalah
7.         Istihsan
8.         Sadd Al-zara’i
















DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. Hasan. 2002. Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT. Grafindo Persada
Asy, Ahmad Syurbasi. 2001. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. Jakarta:Amzah
Abu, Muhammad Zahrah. t,t. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah. Beirut: Dar al-fikr
Chalil, Moenawar. 2016. Biografi 4 Serangkai Imam Mazhab. Jakarta, Gema Insani
Dahlan, Abdurrahman. 2010.Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Djazuli, A. 2000. Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997.  Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve
Hanafie, A. 2001. Ushul Fiqih. Jakarta:Wijaya
Hoesen, Ibrahim. t,t. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Ihya Ulumaddin Indonesia
Jawad, Muhammad Mughniyah. 1999. Fiqh Lima Mazhab.  Jakarta : Pt. Lentera Basritama
Supriadi, Dedi. 2008. Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru. Bandung : CV Pustaka Setia
Wahab, Abdul Khallaf. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada




[1] M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002), hal.184

[2] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”, (Jakarta : Pt. Lentera Basritama, 1999), hal.25

2
[3] Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Lima Mazhab”, (Jakarta : Pt. Lentera Basritama, 1999), hal.26

[4] Moenawar Chalil, Biografi 4 Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta, Gema Insani, 2016), Hal.77-78

[5] Dedi Supriadi “Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru”, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008), hal.157
[6] M. Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”,( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002), hal.188
[7] A. Hanafie, Ushul Fiqih, (Jakarta:Wijaya, 2001), hal.151
[8] Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta:Amzah, 2001), hal.71

[9] Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta:Bulan Bintang, 1986), Cet.ke 5, Hal.84
[10] Moenawar Chalil, Biografi 4 Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta, Gema Insani, 2016), Hal.158-159

[11] Dedi Supriadi “Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru”, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008), hal.167
[12] Dedi Supriadi “Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru”, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008), hal.207

[13] Ibrahim Hoesen, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Ihya Ulumaddin Indonesia), hal.18

[14] Abdurrahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), cet. I, hal. 117.

[15] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996), cet. Ke-6, hal. 22.

[16] Abdurrahman Dahlan, op. cit, hal. 131
[17] A. Djazuli, Nurul Aeni, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), cet. I, hal.89.

[18] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-fikr, t,t), juz. II, hal.216-217.

[19] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), jilid 3, cet. Ke-4, hal. 142-143.

[20] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit, hal. 143.