Sabtu, 18 Maret 2017

Makalah Filsafat Al-Kindi

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup
Al-kindi, alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’kub iibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imran ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi, lahir di Kufah, yang sekarang bernama Iraq, tahun 801 M, pada masa khalifah Harun Al-Rasyid(786-809 M) dari Dinasti Bani Abbas(750-1258 M).[1]  Nama Al-Kindi sendiri dinisbatkan kepada marga atau suku leluhurnya,salah satu suku besar sebelum islam. Menurut Faud Ahwani, Al-Kindi lahir dari keluarga bangsawan, terpelajar dan kaya. Ismail Al-Ash’ats ibn Qais, buyutnya, telah memeluk Islam pada masa Nabi  dan menjadi sahabat Rasul. Mereka kemudian pindah ke Kufah. Di Kufah, ayah Al-Kindi, Ishaq ibn Shabbah, menjabat sebagai gubernur, pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi(785-876 M), dan Harun Al-Rasyid (786-909 M), masa kekuasaan Bani Abbas (750-1258 M).
Pendidikan Al-Kindi dimulai di Kufah. Saat itu ia mempelajari Al-Quran, tata bahasa Arab, kesastraan, ilmu hitung, fiqih, dan teologi. Di samping Basrah, Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam yang cenderung pada  stadi keilmuan  rasional (aqliyah). [2]Tampaknya kondisi dan situasi inilah yang kemudian menggiring Al-Kindi untuk memilih dan mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya.
Al-kindi kemudian pindah ke Baghdad. Di ibu kota pemerintahan Bani Abbas ini, Al-kindi mencurahkan perhatiannya untuk mnerjemahkan dan mengkaji filsafat serta pekikiran-pemikiran rasional lainnya yang marak saat itu. Memurut Al-Qifthi (1171-1248 M), Al-Kindi banyak menerjemahkan buku filsafat, menjelaskan hal-hal yang pelik, dan meringkaskan teori-teorionya secara canggih. Hal itu dapat dilakukan karena  Al-Kindi diyakini menguasai secara baik bahasa Yunani dan Syiria, bahsa induk karya-karya filsafat saat itu. Berkat kemampuannya Al-Kindi mampu memperbaiki hasil-hasil terjemahan orang lain, misalnya hasil terjemahan Ibn Na’ima  Al-Himsi, seorang penerjemah Kristen, atas buku Enneads karya Plotinus (204-270 M); buku Enneads inilah yang dikalangan pemikir Arab kemudian disalah pahami sebagai buku theologi karya Aristoteles (348-322 SM).[3]
Berkat kelebihan dan reputasinya dalam filsafat dan keilmuan, Al-Kindi kemudian bertemu dan berteman baik dengan Khalifah Al-Makmun (813-833M), seorang Khalifah dari Bani Abbas yang sangat gandrung dalam pemikiran rasional dan filsafat. Bukan hanya itu saja, ia juga diangkat sebagai penasihat dan guru istana pada masa Khalifah Al-Mu’tashim (833-842 M) dan Al-Watsiq (842-847 M). Posisi dan jabatan tersebut bahkan masih di jabatnya pada awal kekuasaan Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M), kemudian ia dipecat karena hasutan orang-orang tertentu yang tidak suka dan iri atas prestasi-prestasi akademik yang dicapainya.
Al-Kindi meninggal di Baghdad, tahun 873 M, menurut Atiyeh, Al-Kindi meninggal dalam kesendirian dan kesunyian, hanya ditemani oleh beberapa orang terdekatnya. Ini adalah ciri khas kematian orang besar yang sudah tidak lagi disukai, tetapi juga sekaligus kematian seseorang filusuf besar yang menyukai kesunyian.[4]
Al-Kindi meninggalkan banyak karya tulis. Setidaknya ada 270 buah karya tulis yang teridentifikasi, yang dapat diklasifikasi dalam 17 kelompok: 1) filsafat, 2) logika, 3) ilmu hitung, 4) globular, 5) musik, 6) astronomi, 7) geomatri, 8) sperikal, 9) medis, 10) astrologi, 11) dialegtika, 12) psikologi, 13) politik, 14) meteorologi, 15) besaran, 16) ramalan, 17) logam dan kimia. Cakupnya karya-karya tersebut menunjukan luasnya wawasan dan pengetahuan AL-Kindi. Beberapa karyanya telah diterjemahkan oleh Gerrad (1114-1187 M), tokoh dari Cremona, Italia kedalam bahasa latin dan memberi pengaruh besaar pada pemikiran Eropa abad-abad pertengahan. Karena itu, Gerolamo Cardano (1501-1576 M), serang matematika asal Italia, menilai Al-Kindi sebagai salah satu dari 12 pemikir besar dunia yang dikenal di Eropa saat itu.
B.     Menyelaraskan Agama dan Filsafat
Al-Kindi hidup pada masa filsafat belum dikenal secara baik dalam tradisi pemikiran islam, tepatnya masa transisi dari teologi tradisional kepada filsafat. Al-Kindilah orang Arab pertama yang memperkenalkan filsafat ke dalam pemikiran Arab sehingga diberi gelar “ Filsuf Bangsa Arab”. Menurut Atiyeh, dalam kondisi seperti ini setidaknya ada dua kesulitan yang dihadapi Al-Kindi. Pertama, kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasan filosofis ke dalam bahasa Arab. Kedua, adanya serangan yang dilancarkan oleh kalangan tertentu terhadap filsafat; filsafat dan filusuf dituduh sebagai pembuat bid’ah dan kekufuran.[5]
Ia juga menselaraskan antara filsafat dan agama yang didasarkan pada 3 alasan: [6]
1.    Agama merupakan bagian dari filsafat.
2.    Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
3.    Menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama.

Untuk mengatasi kesulitan pertama, Al-Kindi melakukan beberapa hal, diantaranya:
a.    Menerjemahkan secara langsung sesuai gramatika istilah-istilah Yunani ke dalam bahasa Arab.
b.    Mengambil alih istilah-istilah Yunani kemudian menjelaskannya dengan menggunakan kata-kata bahasa Arab murni.
c.    Menciptakan istilah-istilah baru dengan cara mengambil kata ganti dan menambahkan akhiran iyah di  belakangnya, untuk menjelaskan kata-kata yang sulitdinyatakan dalam bahasa Arab.
d.    Memberikan makna baru pada istilah-istilah lama yang sudah dikenal.[7]

Untuk mengatasi masalah yang kedua, Al-Kindi menyelesaikannya dengan cara menyelaraskan antara agama dan filsafat, namun ada beberapa tahapan yang dilakukan oleh Al-Kindi untuk menyelaraskannya. Pertama, membuat kisah-kisah yang menunjukan bahwa bangsa Arab dan Yunani adalah saudaras sehingga tidak patut untuk bermusuhan. Kedua, menyatakan bahwa kebenaran adalah kebenaran yang datang dari mana saja dan umat islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan mengambilnya. Ketiga, menyatakan bahwa filsafat adalah suatu kebutuhan, sebagai sarana dan proses berpikir, bukan sesuatu yang aneh atau kemewahan. Keempat, menyatkan bahwa meski metode agama dan filsafat berbeda tetapi tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah sama, baik dalam tujuan praktis maupun teoretisnya. Tujuan praktis agama dan filsafat adalah mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi, sedangkan tujuan teoretisnya adalah mengenal dan mencapai kebenaran tertingggi, Tuhan. Kelima, memfilsafatkan ajaran dan pemahaman agama sehingga selaras dengan pemikiran filosofis. Al-Kindi melakukan upaya ini dengan cara memberikan makna alegoris (takwil) terhadap teks-teks atau nash yang secara tekstual dinilai tidak selaras dengan pemikran rasional-filosofis. Misalnya, ketika dia diminta oleh Ahmad, putra Khalifah Al-Muktashim (833-842 M), untuk menjelaskan makna ayat” Bintang-bintang dan pepohonan sujud kepada-Nya”, QS(Al-Rahman [55]:6. Kata”sujud” mengandung beberapa arti, yaitu sujud dalam shalat, ketaatan, dan mengikuti aturan secara ikhlas. Makna yang terakhir inilah yang digunakan Al-Kindi untuk menjelaskan ayat di atas sehingga sujud bintang-bintang dan pepohonan adalah dengan cara mematuhi perintah Tuhan, bukan sujud seperti dalam shalat.[8]  
Menurut al-Kindi, apapun yang disampaikan Rasul dan Tuhan adalah benar adanya dan dapat diterima oleh nalar sehingga tidak ada pertentangan di antara keduanya. Pertentangan yang muncul antara kata-kata al-Quran dengan pemahaman filosofis adalah akibat dari adanya kesalahpahaman kita sendiri dalam memahami makna al-Quran.[9]
Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat sesuatu , dan ini mengandung teologi (al-rububiyah), ilmu tauhid, etika dan eluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Kebanyakan definisi filsafat al-kindi dikumpulkan dari karya-karya Aristoteles dan kesukaannya pada Aristoteles tidak bisa diabaikan. Bahkan ketika ia meringkas dari sumber-sumber yang lain yang secara keliru, ia menisbahkan pula kepada Aristoteles.Subjek dan susunannya Pertama sesuai benar dengan Neopolitik. Pada definisi pertama, Tuhan disebut “Sebab Pertama” mirip dengan “Agen Pertamanya” Plotinus, suatu ungkapan yang juga digunakan Al-kindi atau dengan istilahnya “Yang Esa adalah sebab dari segala sebab”. Definisi-definisi berikutnya dalam risalah Al-kindi dikemukakan susunannya yang membedakan antara alam atau dan alam bawah.Yang pertama ditandai dengan definisi-definisi akal, alam, dan jiwa diikuti dengan definisi-definisi yang menandai alam bawah, dimulai dengan defini badan (jism), penciptaan (ibda’), materi (haluya) dan bentuk (shurah).[10]

C.    Unsur-unsur filsafat pemikiran Al-Kindi

1.    Aliran Pythagoras tentang metematika sebagai jalan filsafat.
2.    Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika  meskipun al-kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qadimnya alam.
3.    Pikiran-pikiran Plato dalam hal kejiwaan.
4.    Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
5.    Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifatnya.
6.    Aliran Muktazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Al-Quran
Al-Kindi mengemukakan tiga jalan untuk membuktikan adanya Tuhan:
1.    Tidak mungkin ada benda yang adadengan sendirinya, jadi wajib ada yang menciptakannya dari ketiadaan dan pencipta itulah Tuhan.
2.    Dalam alam tidak mungkin ada keragaman tanpa keseragaman atau keseragaman tanpa keragaman.Tergabungnya keragaman dan keseragaman bersama-sama, bukanlah karena kebetulan, tetapi karena itulah sebab.Sebab itulah Tuhan.
3.    Kerapihan alam tak mungkin terjadi tanpa adanya yang merapihkan (mengaturkan)Nya. Yang merapihkan atau yang mengatur alam nyata itulah Tuhan.

D.    Pemikiran Al-Kindi

Menurut sejarah di bebrapa buku, seperti Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh Falasifah Islam, Tarikh Fikr Al-Farabi dan lainnya menyatakan bahwa Al-kindi adalah seorang filosof islam yang pertama dari bangsa Arab yang berusaha memdukan antara ajaran filsafatYunani dengan ajaran Islam. Atas perpaduan antara ajaran filsafat Yunani dengan ajaran Islam, maka ini terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan agama yang dimiliki umat islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh berpegang pada dasar-dasar Islam.Selama eksisnya dalam mempelajari filsafat, Al-kindi memberikan definisi-definisi singkat itu sendiri.
Menurutnya filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatanTuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia, pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari kebijaksanaan, hingga kesemuanya dititikberatkanpada nilai tingkah laku manusia.Menurutnya lagi filosog adalah “orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Filosof yang sejati adalah filosof yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan mengamalkan kebijaksanaan itu.[11]    
Sebagai seorang muslim, Al-Kindi berusaha mengegas agar filsafat bisa dipelajari dan berpadu dalam Islam, namun arah tujuan dari semua itu tidak untuk kebenaran yang hakiki. Unyuk itu Al-Kindiyang terkenal sebagai Filosof Islam pertama kali di dunia membuat suatu usaha demi sebuah pencerahan.Salah satunya adalah Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun darimana sumbernya.Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya.Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainyaselain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya.[12]
Kemudian ia mengarahkan Filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama melalui perpaduan antara akal dan agama. Kalau di gariskan maka, filsafat berlandaskan akal sedangkan agamaberlandaskan wahyu. Logika (mantiq) merupakan metode filsafat sedangkan iman merupakan kepercayaan pada hakikat yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai,ama wahyu Allah kepada Nabi-Nya. Apa yang telah dinyatakan dalam Al-Quran merupakan satu ilmu yang mesti dipelajari melalui akal dan keimanan. Sebagai contoh firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 164.
Dari dasar pemikiran Al-kindi akhirnya timbullah pemikiran filsafatnya antara lain :
1.      Filsafat ketuhanan
Filsafat ketuhanan Al-kindi merupakan awal lahirnyna perbincangan Ketuhanan, namun penafsiran Al-kindi mengenai Tuhan sangat berbeda dengan pemikiran Aristoteles, Plato dan Plotinus. Mengenai hakikat ketuhanan ia mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang Esa, tidak ada suatu benda apapun yang menyerupai akan Tuhan dan Tuhan tidaklah melahirkan ataupun dilahirkan, akan tetapi Tuhan akan selalu hidup dan tidak akan pernah mati.
Agar manusia khususnya umat Islam tidak berselisih pahan tentang keberadaan Allah SWT. tentang keberadaan alam, ataupun keberadaan manusia itu sendiri, maka sebagai sorang filosof , Al-kindi membagi pengetahuan menjadi dua bagian yakni : Pertama, pengetahuan ilahi.Pengetahuan ini diambil langsung dari yang tercantum dalam Al-Quran yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari Nabi dan Tuhan.Sedangkan dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan. Kedua,  pengetahuan manusiawi atau falsafat,dasarnya ialah pemikiran.
Filsafat baginya ialah pengetahuan tentang yang benar, disinilah terlihat persamaan filsafat dan agama. Tujuan agama adalah menerangkan apa yang benar dan menerangkan apa yang baik;filsafat itu pulalah tujuannya. Agama disamping wahyu, mempergunakan akal dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama inilah dasarnya, dan filsafat palingtinggi adalah filsafat tentang Tuhan.
Argumen-argumen yang dibawa Al-Quran lebih meyakinkan daripada argumen-argumen yang ditimbulkan falsafat.Tetapi falsafat Al-Quran tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa falsafat.Mempelajari filsafat dan berfalsafat tidak dilarang, karena teologi adalah bagian dari filsafat dan umat islam diwajibkan belajar teologi.[13]
Al-Kindi mengajukan beberapa argumen untuk membuktikan adanya tuhan, baik filosofis maupun teologis. Pertama, berdasarkan prinsip hukum sebab akibat. Semesta ini adalah terbatas dan tercipta dari ketiadaan. Menurut prinsip sebab akiibat, setiap yang tercipta berarti ada yang mencipta, dan sang pencipta semesta yang dimaksud adalah Tuhan.  Kedua, berdasarkan prinsip bahwa segala sesuatu tidak dapat menjadi sebab dirinya sendiri, karena agar dapat menjadi sebab bagi dirinya, sesuatu itu harus ada sebelumnya. Ketiga, berdasarkan analogi antara alam semesta dan manusia. Menurut argumen ini, persis sebagaimana tubuh manusia yang bergerak dan berfungsi secara tertib dan mulus yang menunjukan adanya sang pengtur yang cerdas dan tidak kelihatan, yaiut jiwa, demikian juga dengan alam. Perjalanan alam yang teretur, tertib, dan selaras menunjukan adanya sang pengatur yang sangat cerdas dan tidak kelihatan, yaitu Tuhan. Keempat, didasarkan atas dasar teologis, yitu dalil al-‘inayah. Dalil ini menyatakan bahwa semua gejala alam yang tertib, teratur dan menakjubkan ini tidak mungkin terjadi secara kebetilan, tetapi karena adanya tujuan dan maksud tertentu, sekaligus menunjukan adanya Zat Yang Maha Mengatur yang merupakan pembangkit dari semua yang pertama, dan yang menjadi sebab dari semua sebab. Argumen terakhir ini, oleh sebagian filusuf, di anggap sebagai dalil paling efektif untuk membuktikan adanya tuhan. Dalam tradisi filsafat islam, dalil ini juga digunakan Ibnu Rusyd (1126-1198 M).[14]
2.      Filsafat alam
Mengenai alam, Al-kindi berbeda pendapat juga dengan para filosof seperti Aristoteles, Plato dan lainnya yang sebelum dia mengatakan “alam ini kekal”, sedangkan Al-kindi mengatakan “alam ini tidak kekal”. Dalam hal ini ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Dengan ketentuan ini, setiap benda yang terdiri atas materi dan bentuk yang tak terbatas ruang dan bergerak di dalam waktu adalah terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia.Karena terbatas, ia tidak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.[15]
Menurut Atiyeh (1923-2008 M), para filusuf Yunani secara keseluruhan; mulai Plato (428-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) sampai Plotinus (204-270 SM), berpandangan bahwa semesta tercipta dari yang ada. Sebab, bagi mereka, apa yang disebut sebagai mencipta adalah membuat sesuatu yang baru berdasarkan apa yang ada sebelumnya, baik lewat gerakan atau emanasi. Artinya,dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta dalam makna yang sesungguhnya, dari tiada menjadi ada, melainkan hanya sebagai penggerak atau pewujud realitas, dan alam potensialitas kepada alam aktualitas. Konsekuensinya alam menjadi qodim, tidak terbatas dan abadi; suatu teori yang tidak bisa diterima  oleh teolog Muslim manapun.
Al-Kindi juga menolak teori tersebut dan memunculkan gagasan bahwa alam tercipta dari yang tiada, sebagaimana yang diyakini teolog Islam. Menurutnya, semesta ini terbatas, tidak abadi, dan tercipta dari yang tiada. Ada dua prinsip Aristoteles yang digunakan oleh Al-Kindi. Pertama, bahwa sesuatu yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam bentuk yang aktual. Kedua, bahwa materi, waktu, dan gerak muncul secara serentak, bersamaan, berdasarkan dua prinsip ini, Al-Kindi kemudian membuktikan kebenaran pandangannya, pertama, jika kita menyatakan bahwa semesta ini tidak terbatas, kita juga harus menyatakan bahwa wujud aktual dari semesta ini juga tidak terbatas. Namun, ini bertentangan dengan prinsip pertama Aristoteles yang menyatakan bahwa wujud aktual adalah terbatas. Kedua, jika wujud semesta yang diasumsikan tidak terbatas ini kita ambil sebagiannya, sisanya dapat berupa wujud tidak terbatas sebagaimana keseluruhannya, atau menjadi wujud terbatas. Namun, jika dikatakan tidak terbatas, berarti ada dua hal yang sama-sama tidak terbatas, dan itu mengimplikasikan  bahwa keseluruhan adalah sama dengan bagiannya dan itu tidak masuk akal; jika dikatakan menjadi wujud terbatas, hal itu bertentangan dengan pernyataan bahwa yang tidak terbatas tidak mungkin melahirkan yang terbatas. Ketiga, jika sebagiannya yang diambil tadi kita dikembalikan lagi, hasilnya adalah seagaimana yang ada sebelumnya. Namun, ini mengimplikasikan ada sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) yang lebih besar dari seuatu yang tidak terbatas lainnya (bagian; sesuatu yang tidak masuk akal.حو
Berdasarkan kontradiksi-kontradiksi logis tersebut, menurut Al-Kindi, semesta yang ada dalam aktualitas ini tidak dapat lain kecuali harus bersifat terbatas; dan karena terbatas maka semesta ini berarti tidak abadi, tidak qadim dan tercipta dari yang tiada.
Menurut Al-kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya baru ,sebagai  bukti dari barunya alam ia mengemukakan bebrapa argumen antara lain : [16]
a.       Semua benda yang homogen yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama besar.
b.      Jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan potensialitas.
c.       Benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas.
d.      Jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar.
e.       Jika sebuah benda dikurangi maka besar sisanya lebih kecil daripada benda semula.
f.       Jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula.
g.      Tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas.Kedelapan, jika benda yang homogen yang semuanya mempunyai batas ditambah bersama, maka jumlahnya juga akan terbatas.

3.      Filsafat Jiwa
Jiwa dipandang intisari dari manusia dan filosof-filosof islam banyak memperbincangkan hal ini, apalagi karena ayat-ayat Al-Quran atau Hadis Nabi tidak menjelaskan hakikat roh itu. Roh adalah urusan Tuhan dan bukan urusan manusia. Tetapi sungguhpun demikian filosof Islam membahas soal ini berdasar pada falsafat tentang roh yang mereka jumpai pada falsafaat Yunani.
Menurut Al-Kindi roh tidak tersusun tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi tuhan. Hubungan dengan tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Dengan perantaran rohlah manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Roh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Ia tidak hancur karena subtansinya dari Tuhan. Ia adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan. Selama dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan, roh memperoleh kesenangan sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna.[17]
Menurut Al-Kindi jiwa mempunyai tiga daya yaitu:
1.    Daya bernafsu
2.    Daya pemarah, dan
3.    Daya berpikir

Daya berpikir disebut akal, akal juga dibagi menjadi tiga macam:
1.    Akal yang bersifat potensial
2.    Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual,dan
3.    Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.                            
Akal yang bersifat potensial tak biasa mempunyai sifat actual jika tidak ada kekuatan yang menggerakannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi Al-Kindi ada satulagi  macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia, dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal ini karena selamanya dalam aktualitas ialah yang membuat akal yang bersifat potensial dalam roh manusia menjadi actual. 


















BAB III
          PENUTUP
A.    Kesimpulan

Al-kindi, alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’kub iibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imran ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi, lahir di Kufah, yang sekarang bernama Iraq, tahun 801 M, pada masa khalifah Harun Al-Rasyid(786-809 M) dari Dinasti Bani Abbas(750-1258 M).
Pendidikan Al-Kindi dimulai di Kufah. Saat itu ia mempelajari Al-Quran, tata bahasa Arab, kesastraan, ilmu hitung, fiqih, dan teologi. Di samping Basrah, Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam yang cenderung pada  stadi keilmuan  rasional (aqliyah).
Menurut sejarah di bebrapa buku, seperti Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh Falasifah Islam, Tarikh Fikr Al-Farabi dan lainnya menyatakan bahwa Al-kindi adalah seorang filosof islam yang pertama dari bangsa Arab yang berusaha memdukan antara ajaran filsafatYunani dengan ajaran Islam. Atas perpaduan antara ajaran filsafat Yunani dengan ajaran Islam, maka ini terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan agama yang dimiliki umat islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh berpegang pada dasar-dasar Islam.
Dari dasar pemikiran Al-kindi akhirnya timbullah pemikiran filsafatnya antara lain :
1.      Filsafat Ketuhanan
2.      Filsafat Alam
3.      Filsafat Jiwa
B.     Saran










DAFTAR PUSTAKA

el-Ahwani, Fuad “Al-kindi” dalam MM. Syarif, Para Filosof Muslim, terj. A Muslim (Bandung: Mizan, 1996)
H.Titus, Harold The Living Issue Of Phylosophy, diterjemahkan oleh H.M. Rasyidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang), Hal.254

N. Atiyeh, George Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno (Bandung : Pustaka, 1993)
Al-Kindi,”al-Falsafah al-Ula”, dalam Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasail al-Kindi al-Falsafiyah (Mesir:al-I’timad, 1950)
Soleh, Khudori Filsafat Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013)
Abu Ridah, Rasai’il al-kindi Al-Falsafiyah, (Kairo : t.t, 1950)
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia)
Salam Abdus, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, (Bandung : Salman ITP, 1983)
Nasution, Harun Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX ,(Jakarta: Bulan Bintang ,1973)
Soleh, Khudori Titik Temu Agama dan Filsafat (Malang : UIN Pres, 2011).



[1] Fuad el-Ahwani, “Al-kindi” dalam MM. Syarif, Para Filosof Muslim, terj. A Muslim (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 11
[2] Ibid.
[3] Georg N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno (Bandung : Pustaka, 1993), hlm. 6.
[4] Op.cit, Atiyeh, Al-Kindi......hlm.7.
[5] Op.cit, Atiyeh, Al-Kindi......hlm.10.
[6] M.M.Syarif, (edt), History of Muslim Philosophy, Hal. 211
[7] Op.cit, Atiyeh, Al-Kindi......hlm.12.
[8] Al-Kindi,”al-Falsafah al-Ula”, dalam Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasail al-Kindi al-Falsafiyah (Mesir:al-I’timad, 1950), hlm.244.
[9] Khudori Soleh, Filsafat Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm.96.
[10] Abu Ridah, Rasai’il al-kindi Al-Falsafiyah, (Kairo : t.t, 1950), Hal. 211
[11] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia), Hal. 104
[12] Abdus Salam, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, (Bandung : Salman ITP, 1983). Hal.11
[13] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX ,(Jakarta: Bulan Bintang ,1973), Hal.15
[14] Khudari Soleh, Titik Temu Agama dan Filsafat (Malang : UIN Pres, 2011).
[15]M. M. Syarif, History of Muslim Philosophy, Hal.24
[16] George N. Atiyeh, Al Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj.Kasidjo Djojo Suwarno, (Bandung : Salman, 1983), Hal. 50-51
[17] Op. cit. Harun Nasution. Hlm.9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar