BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Al-kindi, alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’kub iibn Ishaq ibn Sabbah
ibn Imran ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi, lahir di Kufah, yang
sekarang bernama Iraq, tahun 801 M, pada masa khalifah Harun Al-Rasyid(786-809
M) dari Dinasti Bani Abbas(750-1258 M).[1] Nama Al-Kindi sendiri dinisbatkan kepada
marga atau suku leluhurnya,salah satu suku besar sebelum islam. Menurut Faud
Ahwani, Al-Kindi lahir dari keluarga bangsawan, terpelajar dan kaya. Ismail Al-Ash’ats
ibn Qais, buyutnya, telah memeluk Islam pada masa Nabi dan menjadi sahabat Rasul. Mereka kemudian
pindah ke Kufah. Di Kufah, ayah Al-Kindi, Ishaq ibn Shabbah, menjabat sebagai
gubernur, pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi(785-876 M), dan
Harun Al-Rasyid (786-909 M), masa kekuasaan Bani Abbas (750-1258 M).
Pendidikan Al-Kindi dimulai di Kufah. Saat itu ia mempelajari Al-Quran,
tata bahasa Arab, kesastraan, ilmu hitung, fiqih, dan teologi. Di samping
Basrah, Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam yang
cenderung pada stadi keilmuan rasional (aqliyah). [2]Tampaknya
kondisi dan situasi inilah yang kemudian menggiring Al-Kindi untuk memilih dan
mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya.
Al-kindi kemudian pindah ke Baghdad. Di ibu kota pemerintahan Bani Abbas
ini, Al-kindi mencurahkan perhatiannya untuk mnerjemahkan dan mengkaji filsafat
serta pekikiran-pemikiran rasional lainnya yang marak saat itu. Memurut
Al-Qifthi (1171-1248 M), Al-Kindi banyak menerjemahkan buku filsafat,
menjelaskan hal-hal yang pelik, dan meringkaskan teori-teorionya secara
canggih. Hal itu dapat dilakukan karena
Al-Kindi diyakini menguasai secara baik bahasa Yunani dan Syiria, bahsa
induk karya-karya filsafat saat itu. Berkat kemampuannya Al-Kindi mampu
memperbaiki hasil-hasil terjemahan orang lain, misalnya hasil terjemahan Ibn
Na’ima Al-Himsi, seorang penerjemah
Kristen, atas buku Enneads karya Plotinus (204-270 M); buku Enneads
inilah yang dikalangan pemikir Arab kemudian disalah pahami sebagai buku theologi
karya Aristoteles (348-322 SM).[3]
Berkat kelebihan dan reputasinya dalam filsafat dan keilmuan, Al-Kindi
kemudian bertemu dan berteman baik dengan Khalifah Al-Makmun (813-833M),
seorang Khalifah dari Bani Abbas yang sangat gandrung dalam pemikiran rasional
dan filsafat. Bukan hanya itu saja, ia juga diangkat sebagai penasihat dan guru
istana pada masa Khalifah Al-Mu’tashim (833-842 M) dan Al-Watsiq (842-847 M).
Posisi dan jabatan tersebut bahkan masih di jabatnya pada awal kekuasaan
Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M), kemudian ia dipecat karena hasutan
orang-orang tertentu yang tidak suka dan iri atas prestasi-prestasi akademik
yang dicapainya.
Al-Kindi meninggal di Baghdad, tahun 873 M, menurut Atiyeh, Al-Kindi
meninggal dalam kesendirian dan kesunyian, hanya ditemani oleh beberapa orang
terdekatnya. Ini adalah ciri khas kematian orang besar yang sudah tidak lagi
disukai, tetapi juga sekaligus kematian seseorang filusuf besar yang menyukai
kesunyian.[4]
Al-Kindi meninggalkan banyak karya tulis. Setidaknya ada 270 buah karya
tulis yang teridentifikasi, yang dapat diklasifikasi dalam 17 kelompok: 1)
filsafat, 2) logika, 3) ilmu hitung, 4) globular, 5) musik, 6) astronomi, 7)
geomatri, 8) sperikal, 9) medis, 10) astrologi, 11) dialegtika, 12) psikologi,
13) politik, 14) meteorologi, 15) besaran, 16) ramalan, 17) logam dan kimia.
Cakupnya karya-karya tersebut menunjukan luasnya wawasan dan pengetahuan
AL-Kindi. Beberapa karyanya telah diterjemahkan oleh Gerrad (1114-1187 M),
tokoh dari Cremona, Italia kedalam bahasa latin dan memberi pengaruh besaar
pada pemikiran Eropa abad-abad pertengahan. Karena itu, Gerolamo Cardano
(1501-1576 M), serang matematika asal Italia, menilai Al-Kindi sebagai salah
satu dari 12 pemikir besar dunia yang dikenal di Eropa saat itu.
B. Menyelaraskan
Agama dan Filsafat
Al-Kindi hidup pada masa filsafat belum dikenal secara baik dalam tradisi
pemikiran islam, tepatnya masa transisi dari teologi tradisional kepada
filsafat. Al-Kindilah orang Arab pertama yang memperkenalkan filsafat ke dalam
pemikiran Arab sehingga diberi gelar “ Filsuf Bangsa Arab”. Menurut Atiyeh,
dalam kondisi seperti ini setidaknya ada dua kesulitan yang dihadapi Al-Kindi. Pertama,
kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasan filosofis ke dalam bahasa Arab.
Kedua, adanya serangan yang dilancarkan oleh kalangan tertentu terhadap
filsafat; filsafat dan filusuf dituduh sebagai pembuat bid’ah dan kekufuran.[5]
Ia juga menselaraskan antara filsafat dan agama yang
didasarkan pada 3 alasan: [6]
1. Agama merupakan
bagian dari filsafat.
2. Wahyu yang
diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
3. Menuntut ilmu,
secara logika diperintahkan dalam agama.
Untuk mengatasi kesulitan pertama, Al-Kindi melakukan beberapa hal,
diantaranya:
a. Menerjemahkan
secara langsung sesuai gramatika istilah-istilah Yunani ke dalam bahasa Arab.
b. Mengambil alih
istilah-istilah Yunani kemudian menjelaskannya dengan menggunakan kata-kata
bahasa Arab murni.
c. Menciptakan
istilah-istilah baru dengan cara mengambil kata ganti dan menambahkan akhiran iyah
di belakangnya, untuk menjelaskan
kata-kata yang sulitdinyatakan dalam bahasa Arab.
d. Memberikan makna baru pada istilah-istilah
lama yang sudah dikenal.[7]
Untuk mengatasi masalah yang kedua, Al-Kindi menyelesaikannya dengan cara
menyelaraskan antara agama dan filsafat, namun ada beberapa tahapan yang
dilakukan oleh Al-Kindi untuk menyelaraskannya. Pertama, membuat
kisah-kisah yang menunjukan bahwa bangsa Arab dan Yunani adalah saudaras
sehingga tidak patut untuk bermusuhan. Kedua, menyatakan bahwa kebenaran
adalah kebenaran yang datang dari mana saja dan umat islam tidak perlu sungkan
untuk mengakui dan mengambilnya. Ketiga, menyatakan bahwa filsafat
adalah suatu kebutuhan, sebagai sarana dan proses berpikir, bukan sesuatu yang
aneh atau kemewahan. Keempat, menyatkan bahwa meski metode agama dan
filsafat berbeda tetapi tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah sama, baik
dalam tujuan praktis maupun teoretisnya. Tujuan praktis agama dan filsafat
adalah mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi,
sedangkan tujuan teoretisnya adalah mengenal dan mencapai kebenaran tertingggi,
Tuhan. Kelima, memfilsafatkan ajaran dan pemahaman agama sehingga
selaras dengan pemikiran filosofis. Al-Kindi melakukan upaya ini dengan cara
memberikan makna alegoris (takwil) terhadap teks-teks atau nash yang
secara tekstual dinilai tidak selaras dengan pemikran rasional-filosofis.
Misalnya, ketika dia diminta oleh Ahmad, putra Khalifah Al-Muktashim (833-842
M), untuk menjelaskan makna ayat” Bintang-bintang dan pepohonan sujud
kepada-Nya”, QS(Al-Rahman [55]:6. Kata”sujud” mengandung beberapa arti, yaitu
sujud dalam shalat, ketaatan, dan mengikuti aturan secara ikhlas. Makna yang
terakhir inilah yang digunakan Al-Kindi untuk menjelaskan ayat di atas sehingga
sujud bintang-bintang dan pepohonan adalah dengan cara mematuhi perintah Tuhan,
bukan sujud seperti dalam shalat.[8]
Menurut al-Kindi, apapun yang disampaikan Rasul dan Tuhan adalah benar
adanya dan dapat diterima oleh nalar sehingga tidak ada pertentangan di antara
keduanya. Pertentangan yang muncul antara kata-kata al-Quran dengan pemahaman
filosofis adalah akibat dari adanya kesalahpahaman kita sendiri dalam memahami
makna al-Quran.[9]
Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat sesuatu , dan ini mengandung
teologi (al-rububiyah), ilmu tauhid, etika dan eluruh ilmu pengetahuan yang
bermanfaat. Kebanyakan definisi filsafat al-kindi dikumpulkan dari karya-karya
Aristoteles dan kesukaannya pada Aristoteles tidak bisa diabaikan. Bahkan
ketika ia meringkas dari sumber-sumber yang lain yang secara keliru, ia
menisbahkan pula kepada Aristoteles.Subjek dan susunannya Pertama sesuai benar
dengan Neopolitik. Pada definisi pertama, Tuhan disebut “Sebab Pertama” mirip
dengan “Agen Pertamanya” Plotinus, suatu ungkapan yang juga digunakan Al-kindi
atau dengan istilahnya “Yang Esa adalah sebab dari segala sebab”.
Definisi-definisi berikutnya dalam risalah Al-kindi dikemukakan susunannya yang
membedakan antara alam atau dan alam bawah.Yang pertama ditandai dengan
definisi-definisi akal, alam, dan jiwa diikuti dengan definisi-definisi yang
menandai alam bawah, dimulai dengan defini badan (jism), penciptaan (ibda’),
materi (haluya) dan bentuk (shurah).[10]
C. Unsur-unsur
filsafat pemikiran Al-Kindi
1. Aliran
Pythagoras tentang metematika sebagai jalan filsafat.
2. Pikiran-pikiran
Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika meskipun al-kindi tidak sependapat dengan
Aristoteles tentang qadimnya alam.
3. Pikiran-pikiran
Plato dalam hal kejiwaan.
4. Pikiran-pikiran
Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
5. Wahyu dan iman
(ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan
sifat-sifatnya.
6. Aliran
Muktazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat
Al-Quran
Al-Kindi mengemukakan tiga jalan untuk membuktikan adanya
Tuhan:
1. Tidak mungkin
ada benda yang adadengan sendirinya, jadi wajib ada yang menciptakannya dari
ketiadaan dan pencipta itulah Tuhan.
2. Dalam alam tidak
mungkin ada keragaman tanpa keseragaman atau keseragaman tanpa keragaman.Tergabungnya
keragaman dan keseragaman bersama-sama, bukanlah karena kebetulan, tetapi
karena itulah sebab.Sebab itulah Tuhan.
3. Kerapihan alam
tak mungkin terjadi tanpa adanya yang merapihkan (mengaturkan)Nya. Yang
merapihkan atau yang mengatur alam nyata itulah Tuhan.
D. Pemikiran
Al-Kindi
Menurut sejarah di bebrapa buku, seperti Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh
Falasifah Islam, Tarikh Fikr Al-Farabi dan lainnya menyatakan bahwa Al-kindi
adalah seorang filosof islam yang pertama dari bangsa Arab yang berusaha
memdukan antara ajaran filsafatYunani dengan ajaran Islam. Atas perpaduan
antara ajaran filsafat Yunani dengan ajaran Islam, maka ini terbukti bahwa
mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan agama yang dimiliki umat
islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh berpegang pada dasar-dasar Islam.Selama
eksisnya dalam mempelajari filsafat, Al-kindi memberikan definisi-definisi
singkat itu sendiri.
Menurutnya filsafat adalah upaya manusia meneladani
perbuatan-perbuatanTuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia,
pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari kebijaksanaan,
hingga kesemuanya dititikberatkanpada nilai tingkah laku manusia.Menurutnya
lagi filosog adalah “orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup
menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Filosof yang sejati adalah
filosof yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan mengamalkan kebijaksanaan itu.[11]
Sebagai seorang muslim, Al-Kindi berusaha mengegas agar
filsafat bisa dipelajari dan berpadu dalam Islam, namun arah tujuan dari semua
itu tidak untuk kebenaran yang hakiki. Unyuk itu Al-Kindiyang terkenal sebagai
Filosof Islam pertama kali di dunia membuat suatu usaha demi sebuah
pencerahan.Salah satunya adalah Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia
Islam dengan cara mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun
darimana sumbernya.Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran
dari mana saja sumbernya.Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu
yang lebih tinggi nilainyaselain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah
meremehkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya.[12]
Kemudian ia mengarahkan Filsafat muslim ke arah
kesesuaian antara filsafat dan agama melalui perpaduan antara akal dan agama.
Kalau di gariskan maka, filsafat berlandaskan akal sedangkan agamaberlandaskan
wahyu. Logika (mantiq) merupakan metode filsafat sedangkan iman merupakan
kepercayaan pada hakikat yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai,ama wahyu Allah
kepada Nabi-Nya. Apa yang telah dinyatakan dalam Al-Quran merupakan satu ilmu
yang mesti dipelajari melalui akal dan keimanan. Sebagai contoh firman Allah
Q.S. Al-Baqarah ayat 164.
Dari
dasar pemikiran Al-kindi akhirnya timbullah pemikiran filsafatnya antara lain :
1.
Filsafat ketuhanan
Filsafat ketuhanan Al-kindi merupakan awal lahirnyna
perbincangan Ketuhanan, namun penafsiran Al-kindi mengenai Tuhan sangat berbeda
dengan pemikiran Aristoteles, Plato dan Plotinus. Mengenai hakikat ketuhanan ia
mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang Esa, tidak ada suatu benda apapun yang
menyerupai akan Tuhan dan Tuhan tidaklah melahirkan ataupun dilahirkan, akan
tetapi Tuhan akan selalu hidup dan tidak akan pernah mati.
Agar manusia khususnya umat Islam tidak berselisih pahan
tentang keberadaan Allah SWT. tentang keberadaan alam, ataupun keberadaan
manusia itu sendiri, maka sebagai sorang filosof , Al-kindi membagi pengetahuan
menjadi dua bagian yakni : Pertama, pengetahuan ilahi.Pengetahuan ini
diambil langsung dari yang tercantum dalam Al-Quran yaitu pengetahuan yang
langsung diperoleh dari Nabi dan Tuhan.Sedangkan dasar dari pengetahuan ini
adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan
manusiawi atau falsafat,dasarnya ialah pemikiran.
Filsafat baginya ialah pengetahuan tentang yang benar,
disinilah terlihat persamaan filsafat dan agama. Tujuan agama adalah
menerangkan apa yang benar dan menerangkan apa yang baik;filsafat itu pulalah
tujuannya. Agama disamping wahyu, mempergunakan akal dan filsafat juga
mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat
dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama inilah dasarnya, dan filsafat
palingtinggi adalah filsafat tentang Tuhan.
Argumen-argumen yang dibawa Al-Quran lebih meyakinkan
daripada argumen-argumen yang ditimbulkan falsafat.Tetapi falsafat Al-Quran tidak
bertentangan dengan kebenaran yang dibawa falsafat.Mempelajari filsafat dan
berfalsafat tidak dilarang, karena teologi adalah bagian dari filsafat dan umat
islam diwajibkan belajar teologi.[13]
Al-Kindi mengajukan beberapa argumen untuk membuktikan
adanya tuhan, baik filosofis maupun teologis. Pertama, berdasarkan prinsip
hukum sebab akibat. Semesta ini adalah terbatas dan tercipta dari ketiadaan.
Menurut prinsip sebab akiibat, setiap yang tercipta berarti ada yang mencipta,
dan sang pencipta semesta yang dimaksud adalah Tuhan. Kedua, berdasarkan prinsip bahwa segala
sesuatu tidak dapat menjadi sebab dirinya sendiri, karena agar dapat menjadi
sebab bagi dirinya, sesuatu itu harus ada sebelumnya. Ketiga, berdasarkan
analogi antara alam semesta dan manusia. Menurut argumen ini, persis
sebagaimana tubuh manusia yang bergerak dan berfungsi secara tertib dan mulus
yang menunjukan adanya sang pengtur yang cerdas dan tidak kelihatan, yaiut
jiwa, demikian juga dengan alam. Perjalanan alam yang teretur, tertib, dan
selaras menunjukan adanya sang pengatur yang sangat cerdas dan tidak kelihatan,
yaitu Tuhan. Keempat, didasarkan atas dasar teologis, yitu dalil al-‘inayah.
Dalil ini menyatakan bahwa semua gejala alam yang tertib, teratur dan
menakjubkan ini tidak mungkin terjadi secara kebetilan, tetapi karena adanya
tujuan dan maksud tertentu, sekaligus menunjukan adanya Zat Yang Maha Mengatur
yang merupakan pembangkit dari semua yang pertama, dan yang menjadi sebab dari
semua sebab. Argumen terakhir ini, oleh sebagian filusuf, di anggap sebagai
dalil paling efektif untuk membuktikan adanya tuhan. Dalam tradisi filsafat
islam, dalil ini juga digunakan Ibnu Rusyd (1126-1198 M).[14]
2.
Filsafat alam
Mengenai alam, Al-kindi berbeda pendapat juga dengan para
filosof seperti Aristoteles, Plato dan lainnya yang sebelum dia mengatakan
“alam ini kekal”, sedangkan Al-kindi mengatakan “alam ini tidak kekal”. Dalam
hal ini ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang
ketakterhinggaan secara matematik. Dengan ketentuan ini, setiap benda yang
terdiri atas materi dan bentuk yang tak terbatas ruang dan bergerak di dalam
waktu adalah terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia.Karena
terbatas, ia tidak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.[15]
Menurut Atiyeh (1923-2008 M), para filusuf Yunani secara
keseluruhan; mulai Plato (428-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) sampai Plotinus
(204-270 SM), berpandangan bahwa semesta tercipta dari yang ada. Sebab, bagi
mereka, apa yang disebut sebagai mencipta adalah membuat sesuatu yang baru
berdasarkan apa yang ada sebelumnya, baik lewat gerakan atau emanasi.
Artinya,dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta dalam makna yang
sesungguhnya, dari tiada menjadi ada, melainkan hanya sebagai penggerak atau
pewujud realitas, dan alam potensialitas kepada alam aktualitas. Konsekuensinya
alam menjadi qodim, tidak terbatas dan abadi; suatu teori yang tidak bisa
diterima oleh teolog Muslim manapun.
Al-Kindi juga menolak teori tersebut dan memunculkan
gagasan bahwa alam tercipta dari yang tiada, sebagaimana yang diyakini teolog
Islam. Menurutnya, semesta ini terbatas, tidak abadi, dan tercipta dari yang
tiada. Ada dua prinsip Aristoteles yang digunakan oleh Al-Kindi. Pertama,
bahwa sesuatu yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang
berwujud dalam bentuk yang aktual. Kedua, bahwa materi, waktu, dan gerak muncul
secara serentak, bersamaan, berdasarkan dua prinsip ini, Al-Kindi kemudian
membuktikan kebenaran pandangannya, pertama, jika kita menyatakan bahwa semesta
ini tidak terbatas, kita juga harus menyatakan bahwa wujud aktual dari semesta
ini juga tidak terbatas. Namun, ini bertentangan dengan prinsip pertama
Aristoteles yang menyatakan bahwa wujud aktual adalah terbatas. Kedua,
jika wujud semesta yang diasumsikan tidak terbatas ini kita ambil sebagiannya,
sisanya dapat berupa wujud tidak terbatas sebagaimana keseluruhannya, atau
menjadi wujud terbatas. Namun, jika dikatakan tidak terbatas, berarti ada dua
hal yang sama-sama tidak terbatas, dan itu mengimplikasikan bahwa keseluruhan adalah sama dengan
bagiannya dan itu tidak masuk akal; jika dikatakan menjadi wujud terbatas, hal
itu bertentangan dengan pernyataan bahwa yang tidak terbatas tidak mungkin
melahirkan yang terbatas. Ketiga, jika sebagiannya yang diambil tadi kita dikembalikan
lagi, hasilnya adalah seagaimana yang ada sebelumnya. Namun, ini
mengimplikasikan ada sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) yang lebih besar
dari seuatu yang tidak terbatas lainnya (bagian; sesuatu yang tidak masuk akal.حو
Berdasarkan kontradiksi-kontradiksi logis tersebut,
menurut Al-Kindi, semesta yang ada dalam aktualitas ini tidak dapat lain
kecuali harus bersifat terbatas; dan karena terbatas maka semesta ini berarti
tidak abadi, tidak qadim dan tercipta dari yang tiada.
Menurut Al-kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya
baru ,sebagai bukti dari barunya alam ia
mengemukakan bebrapa argumen antara lain : [16]
a.
Semua benda yang homogen yang tiada padanya lebih besar
ketimbang yang lain, adalah sama besar.
b.
Jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama
besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan potensialitas.
c.
Benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak
mempunyai batas.
d.
Jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan
homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama
besar.
e.
Jika sebuah benda dikurangi maka besar sisanya lebih
kecil daripada benda semula.
f.
Jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu
dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti
semula.
g.
Tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak
mempunyai batas.Kedelapan, jika benda yang homogen yang semuanya mempunyai
batas ditambah bersama, maka jumlahnya juga akan terbatas.
3.
Filsafat Jiwa
Jiwa dipandang intisari dari manusia dan filosof-filosof islam banyak
memperbincangkan hal ini, apalagi karena ayat-ayat Al-Quran atau Hadis Nabi
tidak menjelaskan hakikat roh itu. Roh adalah urusan Tuhan dan bukan urusan
manusia. Tetapi sungguhpun demikian filosof Islam membahas soal ini berdasar
pada falsafat tentang roh yang mereka jumpai pada falsafaat Yunani.
Menurut Al-Kindi roh tidak tersusun tetapi mempunyai arti penting,
sempurna dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi tuhan. Hubungan dengan
tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Dengan perantaran rohlah
manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Roh bersifat kekal dan tidak
hancur dengan hancurnya badan. Ia tidak hancur karena subtansinya dari Tuhan.
Ia adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan. Selama dalam badan, roh tidak
memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya
setelah bercerai dengan badan, roh memperoleh kesenangan sebenarnya dalam
bentuk pengetahuan yang sempurna.[17]
Menurut Al-Kindi jiwa mempunyai tiga daya yaitu:
1.
Daya bernafsu
2.
Daya pemarah, dan
3.
Daya berpikir
Daya berpikir disebut akal, akal juga dibagi menjadi tiga macam:
1.
Akal yang bersifat potensial
2.
Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi
actual,dan
3.
Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensial tak
biasa mempunyai sifat actual jika tidak ada kekuatan yang menggerakannya dari
luar. Dan oleh karena itu bagi Al-Kindi ada satulagi macam akal yang mempunyai wujud diluar roh
manusia, dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal ini karena
selamanya dalam aktualitas ialah yang membuat akal yang bersifat potensial
dalam roh manusia menjadi actual.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-kindi, alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’kub iibn Ishaq ibn Sabbah
ibn Imran ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi, lahir di Kufah, yang
sekarang bernama Iraq, tahun 801 M, pada masa khalifah Harun Al-Rasyid(786-809
M) dari Dinasti Bani Abbas(750-1258 M).
Pendidikan Al-Kindi dimulai di Kufah. Saat itu ia mempelajari Al-Quran,
tata bahasa Arab, kesastraan, ilmu hitung, fiqih, dan teologi. Di samping
Basrah, Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam yang
cenderung pada stadi keilmuan rasional (aqliyah).
Menurut sejarah di bebrapa buku, seperti Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh
Falasifah Islam, Tarikh Fikr Al-Farabi dan lainnya menyatakan bahwa Al-kindi
adalah seorang filosof islam yang pertama dari bangsa Arab yang berusaha
memdukan antara ajaran filsafatYunani dengan ajaran Islam. Atas perpaduan
antara ajaran filsafat Yunani dengan ajaran Islam, maka ini terbukti bahwa
mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan agama yang dimiliki umat
islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh berpegang pada dasar-dasar Islam.
Dari dasar pemikiran Al-kindi akhirnya timbullah pemikiran filsafatnya
antara lain :
1.
Filsafat Ketuhanan
2.
Filsafat Alam
3.
Filsafat Jiwa
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
el-Ahwani, Fuad “Al-kindi” dalam MM. Syarif, Para Filosof Muslim, terj. A
Muslim (Bandung: Mizan, 1996)
H.Titus, Harold The Living Issue Of Phylosophy, diterjemahkan oleh
H.M. Rasyidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan
Bintang), Hal.254
N. Atiyeh, George Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno
(Bandung : Pustaka, 1993)
Al-Kindi,”al-Falsafah al-Ula”, dalam Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasail
al-Kindi al-Falsafiyah (Mesir:al-I’timad, 1950)
Soleh, Khudori Filsafat Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013)
Abu Ridah, Rasai’il al-kindi Al-Falsafiyah, (Kairo : t.t, 1950)
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia)
Salam Abdus, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, (Bandung :
Salman ITP, 1983)
Nasution, Harun Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX
,(Jakarta: Bulan Bintang ,1973)
Soleh, Khudori Titik Temu Agama dan Filsafat (Malang : UIN Pres,
2011).
[1] Fuad el-Ahwani,
“Al-kindi” dalam MM. Syarif, Para Filosof Muslim, terj. A Muslim (Bandung: Mizan,
1996), hlm. 11
[3] Georg N. Atiyeh, Al-Kindi
Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno (Bandung : Pustaka, 1993),
hlm. 6.
[8] Al-Kindi,”al-Falsafah
al-Ula”, dalam Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasail al-Kindi al-Falsafiyah
(Mesir:al-I’timad, 1950), hlm.244.
[13] Harun Nasution, Filsafat
dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX ,(Jakarta: Bulan Bintang ,1973),
Hal.15
[15]M. M. Syarif, History of Muslim Philosophy, Hal.24
[16] George N. Atiyeh, Al
Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj.Kasidjo Djojo Suwarno, (Bandung : Salman,
1983), Hal. 50-51
[17] Op. cit. Harun Nasution. Hlm.9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar